| 10
Semua siswa berkumpul di dalam kelas dengan tertip dan rapi. Keheningan yang tercipta membuat jantung berdebar dengan kencang, bagaikan dua pasang lelaki dan perempuan yang sedang jatuh cinta. Pagi hari ini semua guru pengajar sibuk merekap nilai yang diambil dari keseharian semua murid dan akan menyetorkan nilai tersebut kepada semua wali kelas. Kemudian para wali kelas akan mendatangi kelasnya untuk menyampaikan hasil rekapan nilai harian kepada anak didiknya.
“Aduh jantung aku dag dig dug banget ini.” Belin menyentuh jantungnya dengan tangan kiri. “Bukan kamu aja kali yang dag dig dug, aku dan temen-temen yang lainnya juga gitu.” Sahut Lala sambil sesekali melirik ke kanan dan ke kiri. “Semoga nilainya bagus ya, biar nggak dimarahin orang tua.” Ucap Belin. “Yaelah, masih musim ya orang tua marahin anaknya karna nilainya jelek?” tanya Lala. “Aku selalu dimarahin kalo nilaiku jelek.” Jawab Belin pelan. “Padahal seharusnya itu orang tua nggak boleh marahin anaknya karena nilainya jelek loh, karena setiap anak itu memiliki kemampuan dan porsi yang berbeda. Seharusnya dikasih suport bukannya dimarahin.” Ucap Lala. “Emmb, ucapan kamu udah kayak orang yang siap jadi emak deh.” Ejek Belin. “Kalo nggak percaya ya nggak papa, nanti dampaknya kepada mental anak, Bel.” Lala menjelaskan dengan sabar. “Iya juga sih La, kadang tiap habis dimarahi itu aku kayak trauma kalo hadepin ujian lagi, takut ~dan terjadi lagi~ kata mas aril, Noah.” Belin cekikikan usai menyanyikan salah satu lirik lagu Noah. “Kamu ini kebiasaan cengengesan.” Sahut Lala kesal.
“Wali kelas kita kok belum dateng sih, rekapnya masih lama ya? Bikin penasaran aja.” Belin kembali menanyakan hal tersebut. “Sabar mbak, muridnya bukan cuma kamu.” Sindir Lala. “Oiya betul banget kamu, La.” Lanjut Belin. “Oiya, kalo seumpama nilai kamu jelek, kamu dimarahin sama orang tua nggak? Eh, maaf, maksud aku tante Susi.” Tanya Belin. “Enggak kok, aku nggak pernah dimarahin kalo nilai aku jelek.” Jawab Lala. “Enak ya kamu, dan beruntung banget punya tante yang sabar dan penyanyang seperti tante Susi.” Ucap Belin.
Lala hanya tersenyum kecut saat Belin mengatakan kalimat tersebut. “Andai kamu tahu yang sesungguhnya Bel. Jangankan nilai aku jelek terus dimarahin sebagai wujud perhatiannya, aku nggak sekolah pun tante Susi nggak peduli.” Batin Lala.
~Clek~
Wali kelas Lala memasuki kelas dengan misterius tanpa tanda-tanda adanya hentakan kaki saat berjalan. Hal tersebut sukses membuat semua muridnya kaget akan kehadirannya.
“Assalamualaikum anak-anak, selamat pagi, dan salam sejahtera bagi umat.” Wali kelas memberi salam kepada muridnya. “Waalaikumsalam warrohmatullahi wabarokatuh, selamat pagi.” Balas murid serentak. “Apa kabar kalian hari ini?” tanya wali kelas dengan santai. “Alhamdulillah baik, Pak.” Jawab siswa serentak. “Ok, kalian pasti seneng ya karena hari ini jam pelajaran pertama dan kedua akan terganggu dengan adanya rekap nilai.” Canda wali kelas tersebut. “Hehee iya lumayan seneng, Pak.” Sahut salah satu siswa laki-laki. “Seneng sih seneng, tapi dag dig dugnya itu loh.” Ucap Belin meringis.
“Baik, sesuai pengumuman tiga hari yang lalu, bahwa hari ini semua wali kelas akan menyampaikan hasil setor nilai keseharian kalian selama kurang dari tiga bulan. Dan hasilnya seperti ini.” Wali kelas tersebut menghela nafas. “Seperti apa, Pak?” tanya Lala kepada wali kelas. “Jelek-jelek ya, Pak?” Sahut Belin. “Iya Pak bagaimana?” tanya murid serentak. “Mungkin ini yang dapat kalian berikan kepada Bapak, selaku wali kelas kalian.” Jawab wali kelas pelan.
Semua siswa terdiam melihat ekspresi datar yang terpancar pada raut wajah wali kelasnya. “Tuh kan, La.. nilai kita pasti anjlok dan jelek-jelek semua ini.” Bisik Belin kepada teman satu bangkunya. “Hssssst jangan berisik, kondisi lagi tegang.” Ucap Lala sambil memberi aba-aba diam kepada Belin. “Lihat deh bagaimana ekspresi wali kelas kita.” Bisik Belin. “Udah-udah kamu diam aja dulu.” Lala merasa terusik.
“Bapak benar-benar tidak tahu harus memberi nasihat seperti apa kepada kalian semua.” Ucap guru tersebut datar. “Kalian ingat-ingat kesahalan apa yang sudah kalian lakukan selama ini.” Perintah wali kelas dengan tegas. “Disini ada yang sering terlambat datang ke sekolah?” teriak wali kelas. Seketika itu Lala merasa bahwa dirinya merupakan siswa yang sering terlambat sekolah. “Saya, Pak.” Jawab Lala jujur sambil mengangkat tangan kanannya. “Gila, gantle banget kamu La.” Bisik Belin heran atas keberanian sahabatnya itu. “Ada lagi selain Lala?” tanya wali kelas tersebut. “Kalau tidak ada yang berani jujur, silahkan maju ke depan bagi siswa yang namanya saya sebutkan.” Ucap wali kelas sembari melihat selembaran kertas didalam map merah muda.
“Ahmad, Bella, Wiliam, Ayu, Rifky, Andika, Naufal, Belin, Arif dan Syafrilla. Silahkan maju ke depan.” Perintah wali kelas dengan tegas. “Baik, Pak.” Jawab siswa tersebut serentak. Kemudian mereka berjalan menaiki panggung kelas dan berhenti dengan sikap siap dan tegap. “Ada yang mau menemani mereka di depan?” tanya wali kelas dengan menunjuk sepuluh anak tersebut. “Tidak, Pak.” Sahut siswa lain serentak.
Gertakan wali kelas tersebut membuat jantung sepuluh siswa yang berdiri di atas panggung kelas semakin berdetak dengan kencang, tangan dan kaki mereka mulai melemas dan suhu badannya menurun. “Buset, baru kali ini jantung aku rasanya mau copot saat maju di depan.” Batin Lala. “Kalian sudah tahu belum kenapa saya suruh maju di depan?” tanya wali kelas yang ditujukan kepada sepuluh siswa. “Tahu, Pak.” Jawab Lala dengan tegas. “Apa?” sahut wali kelas kepada Lala. “Saya banyak melakukan kesalahan, Pak.” Ucap Lala tegas. “Yang lainnya kenpa diam saja? Yang laki-laki mana suaranya, masak kalah sama perempuan!” Ucap wali kelas. “Jangan cengengesan, kalian sudah besar, sebentar lagi mau lulus.” Tegur wali kelas tersebut. “Maafkan saya Pak atas kesalahan saya sebelumnya, saya berjanji setelah ini tidak akan mengulangi kesalahan yang sudah saya buat.” Ucap Wiliam dengan tegas. “Bagus!” sahut wali kelas dengan tegas.
“Tolong dengarkan saya baik-baik dan tingkatkan konsentrasi kalian semua, terutama bagi siswa yang berada di depan ini.” Wali kelas tersebut berdiri disamping Lala. “Saya tidak tahu harus menyampaikan seperti apa, yang jelas saya sangat...” wali kelas tersebut tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Dengan jeda kurang lebih satu menit, kemudian wali kelas tersebut melanjutkan pembicaraannya. “Kepada sepuluh siswa ini, selamat, Nak. Kalian menduduki 10 siswa terbaik dari seluruh angkatan kalian.” Wali kelas tersebut tersenyum bahagia hingga matanya berkaca-kaca. “Sekali lagi Bapak ucapkan selamat kepada kalian semua, karena sudah mengharumkan nama kelas kalian dan mengangkat citra saya selaku wali kelas kalian.”
Sepuluh siswa tersebut seketika tercengang atas kabar yang telah disampaikan oleh wali kelasnya. Senyum kebahagiaan terpancar pada wajah siswa tersebut terutama Lala. Firasat akan prestasinya yang buruk kini sudah menghilang.
“Alhamdulillah, La...” ucap Belin dan memegang tangan Lala sambil melonjat-lonjat. “Iya, aku nggak nyangka banget.” Lala tersenyum dengah penuh kebahagiaan. “Aku kira kita rekornya telat berangkat sekolah atau karna sering nggak pakai atribut sekolah.” Sahut Belin meringis. “Sama kali, apa lagi dikelas kita yang paling sering telat itu aku.” Lala tertawa sambil menutupi mulutnya. “Atau jangan-jangan wali kelas kita yang salah kasih informasi?” tanya Belin. “Nah, bener banget tuh, jangan-jangan salah sebut murid lagi.” Lanjut Lala.
“Mohon maaf, yang tadi Bapak sebutkan tidak salah kah?” tanya Lala kepada wali kelas dengan heran. “Sudah benar, Mbak.” Jawab wali kelas singkat. “Tapi perasaan saya sering telat deh, Pak.” Lala meringis dan sesekali melirik teman-temannya. “Nilai kamu di atas rata-rata, kalau untuk keterlambatan kalian itu masih bisa ditoleransi, asal terlambatnya dengan alasan yang jelas dan tidak disengaja.” Penjelasan wali kelas. “Terimakasih banyak ya, Pak.” Lala mencium tangan wali kelas tersebut sebagai wujud hormat dan terimakasih.
Usai mendapat pertanyaan dari Lala, wali kelas tersebut bangkit dari duduknya untuk mengumumkan siapa dari sepuluh murid yang berada dipanggung kelas yang menduduki peringkat pertama dari 320 siswa.
“Bela mendapat peringkat sepuluh, Ayu mendapat peringkat sembilan, Andika peringkat delapan, Naufal peringkat tujuh, Arif peringkat enam, Belin peringkat lima, Ahmad peringkat empat, Rifky peringkat tiga.” Ucap wali kelas dengan jelas. Semua siswa tersebut sangat bahagia dan banyak ucapan selamat yang diutarakan teman-teman lainnya. “Masih ada dua nama siswa yang belum saya sebut.” Ucap wali kelas. “La, kamu hebat banget suer!” Bisik Belin. “Aku nggak nyangka, Bel.” Lala seketika tercengang. “Aku jadi merinding ini.” Lanjut Lala. “Jangan ngompol loh.” Ejek Belin.
“Selamat buat Wiliam dengan menduduki peringkat kedua dari tiga ratus dua puluh siswa.” Ucap wali kelas dengan semangat. Kemudian Belin dan rekan yang lainnya langsung memberi tepuk tangan serta ucapan selamat kepada Wiliam dan Lala. “Uwaaaau sahabat akoh peringkat pertama dari sekian ratus siswa.” Teriak Belin disamping Lala. “Selamat ya buat Syafrilla atas pencapaian kamu yang menduduki peringkat pertama.” Wali kelas tersebut memberi Lala piagam penghargaan. “Terimakasih banyak, Pak.” Lala menerima piagam tersebut dan mencium tangan wali kelas dengan penuh kebahagiaan.
“Buat yang lainnya ayo tetap semangat dan terus belajar agar kedepannya kalian bisa seperti rekan kalian yang sedang berdiri di depan, masih ada kesempatan berikutnya.” Ucap wali kelas yang ditujukan kepada murid yang duduk dibangku. “Baik, Pak.” Sahut murid serentak. “Bagus, kalian pasti bisa.” Wali kelas tersebut memberi tepuk tangan yang meriah. “Baik anak-anak, hasil rekap nilai bisa kalian lihat setelah saya tempel dipapan mading. Sekali lagi selamat untuk sepuluh siswa yang berada di depan.” Ucap wali kelas dengan tenang.
Lalu wali kelas tersebut menempelkan lembar hasil rekapan nilai pada papan mading yang berada di dalam kelas kemudian pamit untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. “Kalian nanti bisa lihat disini. Mohon maaf Bapak masih ada kegiatan selanjutnya, akhir kata dari saya. Wassalamualaikum warrohmatullahi wabarokatuh, selamat pagi.” Pamit wali kelas.
“Selamat ya, La.” Wiliam menyalurkan tangan kepada Lala. “Sama-sama Wil, selamat juga ya buat kamu.” Lala tersenyum bahagia dan menerima aluran tangan Wiliam. “Ehem jangan lama-lama pegangan tangannya, ntar naksir.” Sindir Belin. “Apaan sih, Bel. Bilang aja kalo cemburu.” Lala dan Wiliam melepaskan tangan secara bersamaan. “Iya nih Belin, ngomong aja kalo cemburu.” Goda Wiliam. “Ilih ngapain juga cemburu, gue kan udah punya doi.” Sahut Belin. “Andai kamu tahu perasaan aku yang sesungguhnya, La.” Batin Wiliam saat menatap Lala dengan pekat. “Hay, kamu kenapa?” gertak Lala sambil melambaikan tangan. “Dor, kamu pasti lagi mikirin Lala.” Gertak Belin dengan kencang sambil menampol bahu Wiliam. “Eh enggak kok, tadi aku masih syok aja bisa di urutan nomor dua, hehe.” Wiliam menutupi apa yang sedang ia fikirkan.
Kemudian semua siswa kembali duduk pada masing-masing bangkunya dengan tertip sembari menungu pergantian jam selanjutnya. “Ngomong-ngomong kamu cocok juga sama Wiliam.” Belin menyiku Lala. “Tuh kan mulai ngaco lagi kamu.” Ucap Lala. “Ya ampun, La.. serius banget ini. Gimana kalo dia beneran ada rasa sama kamu, hayo?” goda Belin. “Kata siapa kamu?” tanya Lala. “Klihatan banget dari cara dia memandangi kamu tadi.” Sahut Belin. “Jangan GR dulu, dia kan udah jelasin alasan dia bengong tadi apa.” Ucap Lala santai. “Wiliam juga jomblo loh, La.. sama kayak kamu.” Lanjut Belin. “Terus?” sahut Lala cuek. “Kalo kamu ditembak sama dia, kamu mau nggak?” tanya Belin memancing Lala. “Nggak tau ah, lagian kamu aneh-aneh aja.” Ucap Lala. “Ecie-ciee sekarang aku melihat ada sinyal hijau dimata kamu.” Canda Belin.