The Death
Semua orang tampak seperti domba yang digiring masuk oleh pengembara ke dalam kandang. Domba itu adalah mereka yang cepat-cepat ingin pulang dan pengembaranya adalah waktu. Jalanan tampak macet dengan mobil dan motor yang sama-sama tidak mau mengalah. Walaupun sedang lampu merah mereka tetap menyalakan klakson. Hal tersebut sangat biasa disini, apalagi karena sekarang jam pulang kerja. Hany merasa penat dengan kota kelahirannya, sungguh lelah menjadi warga ibu kota.
“Aduh, Elina kenapa gak bilang si parkirannya penuh begini,” gumam Hany melihat parkiran apartemen Elina yang tidak tersisa. Kalau begini caranya terpaksa Hany harus mencari di blok lain. Menyesal sekali ia, merekomendasikan apartemen butut ini kepada sahabatnya. Walaupun murah tapi fasilitasnya sangat tidak memadai.
Baru saja motor Hany berbalik arah. Tiba tiba terdengar suara benda jatuh yang diikuti alarm mobil. Refleks ia menengok ke sumber suara. Hal yang pertama kali ditangkapnya adalah darah yang berceceran di aspal. Persekian detik pikiran Hany belum sadar dengan apa yang telah terjadi. Kemudian ia melihat ke atas sumber jatuhnya benda dan jantungnya tiba tiba berdegup kencang.
“Woy ada yang bunuh diri!” seru laki-laki berpakaian ala anak koperat. Tidak perlu waktu lama, banyak orang-orang yang mendekat dan mengerumungi tempat kejadian.
“Anjir!” Hany mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Gedung itu adalah gedung Elina tinggal. Ia segera mendekat dengan perasaan was-was. Entah kenapa hatinya menjadi sangat ketakutan dan khawatir. Semakin dekat dengan kerumuman, degup jantungnya makin tidak beraturan.
“Permisi,” ujar Hany masuk kedalam sela-sela kerumunan. Terlihat jelas seorang perempuan dengan sweter hitam tergeletak bersimbah darah. Sialnya, pakaian itu sama persis seperti kepunyaan Elina. Postur tubuhnya juga mirip dengan Elina. Dengan hati-hati Hany menekuk lutut untuk menyingkirkan rambut agar wajah mayat itu terlihat jelas. Ternyata benar, mayat yang ada di hadapannya adalah sahabatnya sendiri. Ia melihat mata Elina yang masih terbuka namun kosong tidak ada kehidupan.
Hany masih tidak percaya jika itu adalah Elina. Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri berharap masih berada di dalam mimpi atau menyudahi halusinasinya.
“Mba—mba kenal sama orang ini?” Pertanyaan tidak tepat muncul dari salah satu orang di sana. Hany tidak sanggup menjawab karena hatinya terlalu sesak, kepalanya sakit dan kakinya juga melemas. Darah Elina terus mengalir sama seperti air mata yang mengalir dimata Hany.
“Lin ... bangun Lin,” lirih Hany menggoyang-goyangkan badan Elina.
“Elina!” Hany mulai histeris, air matanya makin deras berlinang. Ia tidak percaya sahabat nya mati di hadapannya sendiri.
Hari Jumat pukul 17.40, Hany memeluk Elina untuk yang terakhir kalinya.
***
Rumah berwarna putih dengan pagar hitam mengakui pemilik rumah sedang berduka. Ada bendera kuning yang terpasang di sana. Suara tangis terdengar bersamaan dengan pembacaan ayat-ayat suci. Hany sendiri tidak sanggup membaca keras keras ayat kursi di gengamannya. Ia terlalu lelah karena menangis sejak tadi sore.
“Kak Hany,” panggil Misel—adiknya Elina. Misel masih berusia lima belas tahun yang duduk di bangku sekolah menengah atas kelas sepuluh.
“Sini bentar, aku mau tanya sesuatu” ujar Misel meminta Hany mendekat. Hany menurutinya dan ternyata Misel membawanya ke dalam sebuah gudang yang berada di pojok rumah.
“Kakak nemu handphone Kak Elina gak?” tanya Misel yang terlihat gugup. Ia terus menggesekkan ibu jari dengan telunjuknya seperti sedang gatal.
“Aku gak tahu, mungkin udah diamanin sama polisi,” ucap Hany. Saat menemukan mayat Elina, Hany tidak sempat mengamankan barang barang pribadi milik Elina. Ia terlalu sibuk mengurusi mayat Elina untuk dibawa ke rumah sakit.
Mendengar jawaban Hany, raut wajah Misel berubah kecewa.
“Memang kenapa Sel?”
“Gapapa kak,” ujar Misel seperti menyembunyikan sesuatu. Setelah itu Misel pergi dan Hany mengekorinya.
Baru beberapa langkah keluar dari Gudang. Martika—Ibunya Elina—berjalan kearah Misel. Hany dapat melihat tatapan Martika seperti mengintimidasi kepada gadis remaja itu. Walaupun mata Martika terlihat sembab tapi tetap dapat memancarkan sorotan yang menyeramkan.
“Dari mana kamu?” tanya Martika ketus saat mendekati Misel.
Misel terlihat takut, ia menjawab sambil menunduk. “Kamar mandi Ma.”
Walaupun suaranya pelan tapi Hany masih bisa mendengar balasan Misel dan anehnya mengapa Misel berbohong.
“Tante,” sapa Hany basa basi. Ketika ada Hany, Misel bergerak kebelakang badannya seperti sedang bersembunyi.
“Makasih banyak ya kamu sudah peduli dengan Elina,” ucap Martika sambil meraih kedua tangan Hany. Martika mengenggamnya begitu erat, menandakan ketulusan. Tatapannya berubah dari yang sinis menjadi hangat.
“Sama-sama tante, turut berduka cita ya tante. Kalau tante perlu bantuan tinggal chat Hany aja,” balas Hany melukis senyum di wajahnya. Hany iba dengan Martika. Pasti Martika merasa sangat kehilangan Elina. Elina adalah anak sulung yang menjadi harapan tulang punggung keluarga. Sejak Elina kelas 8, Martika ditinggal oleh suaminya karena terlilit hutang. Selama ini Martika bekerja serabutan untuk menafkahi kedua anaknya.
“Kamu kalau mau pulang, pulang saja. Acara nya sebentar lagi selesai kok. Tante gak mau ngerepotin kamu,” ujar Martika dengan sopan.
“Kalau Hany nginep disini boleh ...”
“Jangan, kasihan orang tua kamu. Lebih baik kamu pulanga saja,” potong Martika yang tidak memberi kesempatan Hany untuk menuntaskan ucapannya.
“Yaudah tante, kalau begitu saya pamit pulang dulu,” balas Hany dengan terpaksa padahal ia ingin sekali menginap untuk bantu-bantu atau setidaknya menemani Misel.
Perkataan Hany membuat Misel mencengkram erat bajunya. Membuat Hany refleks menengok untuk memastikan ada apa. Apakah Misel baik-baik saja atau tidak. Tapi Misel diam dan hanya menatap Hany dengan tatapan yang penuh tanda tanya.
“Ma, Misel anterin Kak Hany ke depan ya,” Misel mulai bersuara
“Hany bisa jalan sendiri kok, mending kamu bantu kasih berkat. Iya ‘kan Han?” Hany hanya mengangguk canggung. Ia merasa aneh dengan Martika. Mengapa nada bicara menjadi Sinis jika berbicara dengan Misel? Apa mungkin karena Hany adalah orang lain sehingga Martika berbicara lebih lembut dibandingkan kepada anaknya sendiri?
***
Martika menunggu Hany sampai benar-benar pulang. Ia mengintip melalui jendela bersama Misel di sampingnya. Wajah Misel tampak khawatir dan takut. Ia ingin sekali ditemani oleh Hany.
“Sini kamu!” Martika menyeret Misel ke kamarnya setelah memastikan Hany sudah pergi. Misel hanya pasrah dan tidak melawan sama sekali.
Tidak lupa Martika mengunci pintu kamar agar tidak ada yang mengintip. Kemudian Martika mendorong Misel hingga ia terduduk diranjang. Pergelangan tangan Misel memerah karena genggaman Martika yang terlalu kuat.
“Kamu tadi ngomong apa sama Hany?” kata Martika sambil mendekati wajah Misel. Misel lagi-lagi menggesekan ibu jari dengan telunjuknya. Ia takut dan gugup.
“Jawab,” Martika mencubit lengan Misel karena kesal melihat Misel yang tidak berkutik.
“Aku gak ngobrol sama kak Hany,” balas Misel mencoba berdusta. Padahal Martika sangat paham gelagat anaknya. Ia tahu Misel habis dari gudang bukan dari kamar mandi.
Martika hanya menatap Misel dengan tatapan yang mengintimidasi. Biarlah anak itu yang jujur sendiri.
“Iya iya Misel bohong. Tadi Misel nanya handphone-nya Kak Elina dimana.”
“Ngapain? Mama kan sudah bilang Hp-nya Elina itu ada di kantor polisi,” balas Martika sambil menggengam tangan Misel. Sekarang, Ia sedang mengambil empati anaknya.
Misel terbelalak mendengar ucapan Martika yang jelas-jelas bohong. Saat maghrib, ia tidak sengaja menguping pembicaraan seorang polisi dengan Martika di ruang tamu.
Polisi itu mengatakan bahwa ada hal aneh, yaitu tidak menemukan ponsel dan surat terakhir. Padahal surat terakhir sangat sering ditemukan pada kasus kasus orang yang bunuh diri. Hal tersebut dapat menjadi celah apabila Martika ingin melakukan penyelidikan lebih dalam. Namun Martika menolak mentah-mentah saran dari polisi dan memilih menutup kasus Elina sebagai kasus bunuh diri. Kemudian Martika menyerahkan surat keterangan bahwa Elina terkena depresi mayor. Selain itu, ia memperlihatkan diary milik Elina yang banyak sekali tulisan bertendesi kematian. Elina memang sudah ingin mati sejak lama.
“Ma! Mama gak malu sama Kak Elina? Mama gak kasihan? Mama sendiri curiga ‘kan kalau Kakak itu enggak bunuh diri” Misel emosi, matanya memerah menahan tangis karena melihat perilaku Martika yang tidak punya hati.
“Jaga ya mulut kamu! Kamu tahu apa tentang Kakak kamu?”
“Setidaknya aku lebih tahu Kakak daripada Mama! Kak Elina itu sakit sendirian Ma,” ujar Misel yang sudah meneteskan air mata.
“Mama juga tahu Misel! Mama tahu Kakak kamu depresi berat sejak SMA. Mama tahu dia pernah coba buat bunuh dirinya sendiri,” timpal Martika
“Berarti selama ini Mama tahu? Terus kenapa gak bantu Kak Elina? Kenapa Mama diem saja?” balas Misel tidak percaya. Perkataan Martika menambah buruk dirinya dimata Misel. Selama lima tahun Elina tersika dengan depresinya. Ia sembunyikan semua perasaanya dari Misel dan Martika. Namun, ternyata Martika sudah tahu dan tetap diam saja hingga Elina meninggal.
Martika bungkam seribu bahasa. Matanya mulai berkaca-kaca saat mendengar perkataan Misel yang begitu menusuk hatinya. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu.
“See? you can’t answer me! Selama ini Mama terlalu sibuk ngurusin selingkuhan Mama!” Misel membentak Martika tanpa ragu. Ia sudah terlanjur membenci ibu kandungnya sendiri.
“Jangan merasa kamu sudah berbuat baik sama Kakakmu. Kamu sama saja kaya Mama! Sama-sama penyebab Elina depresi,” cerca Martika kemudian pergi meninggalkan Misel sendirian.
Misel menangis sambil menutupi wajahnya. Perasaan menyesal dan bersalah menguasi dirinya. Selama ini, Misel memang masih terlalu jauh dari kata adik yang baik.
****