Everyone Feels Fake

1507 Kata
Seorang lelaki bertopi berjalan menyusuri pemakaman yang sangat sepi. Jelas, karena sekarang sudah jam sepuluh malam. Tangan kirinya tampak menggengam buket mawar putih. Ia tidak takut apapun dan terus mencari makam bertanah baru. Katanya batu nisan dengan nama Elina berada di pojok dekat pohon rambutan. Bermodalkan cahaya senter dari ponselnya, Ia menemukan tempat peristirahatan terakhir pacarnya itu. Ia segera bersimpuh tidak memperdulikan celana denimnya akan kotor terkena tanah. “Lin— maaf baru bisa ketemu kamu,” ujar Reza sambil menyentuh nisan yang masih putih bersih. Reza hampir menangis melihat kenyataan yang sangat sulit ia terima. Elina, perempuan yang telah dipacarinya selama dua tahun meninggal tanpa mengatakan ucapan terakhir sedikitpun. “Maafin aku ya Lin. Maafin Reza belum bisa jadi pacar yang baik. Maafin aku karena gak peka dan selalu sakitin kamu” Reza gagal menahan tangis. Wajahnya yang sangar luntur karena air mata telah berlinang dipipi. Penyesalan Reza memang tidak mengubah apapun. Tapi setidaknya ia sudah meluapkan rasa bersalahnya. Kemudian Reza mengirimkan doa agar Elina bahagia di atas sana. Sebelum pergi, ia letakkan Bunga mawar putih sebagai tanda perpisahan. Semoga rasa penyesalan Reza hilang sehabis mengunjungi makam Elina. *** “Sudah?” tanya Gisel saat Reza baru masuk ke dalam mobil. Pertanyaannya di balas anggukan kecil oleh Reza. “Sekarang kita jadian kan?” tanya Gisel penuh harapan. Reza menatap Gisel tak percaya. Elina baru saja meninggal tadi sore dan mereka masih di depan pemakaman umum. Tapi ia masih menanyakan keinginan bodohnya. “Kamu gila?” cerca Reza sambil menekan gas melajukan mobilnya. Ia merasa sangat b******k membawa Gisel ke sini. Jika Elina tahu pasti Reza sudah dibunuhnya terlebih dulu. “Za ... sekarang sudah gak ada Elina berarti aku bukan selingkuhan kamu lagi dong?” Gisel memang tidak punya hati. Ia tidak berempati sedikitpun dengan Elina. Ia hanya menginginkan status yang jelas. “Besok aku ke kantor polisi” kata Reza mengalihkan pembicaraan. Perkataannya sukses membuat raut wajah Gisel berubah panik. “Ngapain?” tanya Gisel kaget. “Ngasih kesaksian,” Reza menjawab singkat. “Jangan sampai kamu bawa-bawa nama aku. Pokoknya polisi gak boleh tahu kita punya hubungan,” ujar Gisel yang sudah ketakutan duluan. Reza terdiam, Gisel tidak seperti Elina. Ia terlalu egois dengan tujuannya. Baru beberapa menit lalu Gisel meminta menjadi pacarnya. “Kok kamu jadi takut?” Pertanyaan menjebak muncul dari mulut Reza. “Bukan takut! Aku cuman gak mau ikut-ikutan kena kasus ini” Gisel terlihat gelapan. Reza menaruh curiga. Jika benar Elina tidak bunuh diri. Mungkin orang yang pertama kali dicurigai sebagai tersangka adalah Gisel. Namun itu semua hanya pikiran Reza yang masih sulit menerima kematian Elina. *** Setelah salat Isya, rumah Elina kembali ramai. Hany juga datang untuk ikut mendoakannya. Suasana lebih tenang dibandingkan kemarin. Sekarang lebih sedikit air mata dan ruangan penuh dengan lantunan ayat ayat. “Dek, bisa cariin mama gak? Ini ustadznya sudah datang,” ujar ibu ibu berkerudung biru muda yang tiba tiba mendekati Misel. Hany yang ikut mendengarnya memberi kode agar ia saja yang mencari Martika. Pertama, Hany mencarinya ke dapur. Pikirnya, Martika sedang menyiapkan kue-kue untuk tamu. Namun Martika tidak ada di sana. Lalu ia hendak melihat ke kamar Martika. Tapi ia malah mendengar suara berat yang terdengar frustasi. Hany memasang telinganya baik baik. Mencari sumber suara yang ternyata berasal dari halaman belakang. Dengan hati-hati Hany mengintip di balik sela-sela pintu. “Kamu tenang dulu,” ucap Martika kepada laki-laki yang sedang duduk di kursi rotan. “Bagaimana aku bisa tenang kalau polisi masih curiga” Suaranya terdengar bergetar seperti orang yang ketakutan. Martika memeluk lelaki itu. “Kamu tenang saja, ini semua bukan salah kita. Lagipula Elina memang sudah depresi,” ucap Martika sambil mendekap dan sesekali menepuk punggung lelaki itu. Kaki Hany melemas setelah mendengar percakapan mereka. Ia ingin sekali membuka pintu dan menanyakan langsung apa maksud dari percakapan mereka. Mengapa membawa-bawa kematian Elina dan mengapa mereka tampak menyembunyikan sesuatu. Tapi nyali Hany terlalu ciut, ia terlalu takut. Dengan seksama ia mencoba melihat wajah lelaki itu dengan jelas. Otaknya dipaksa mengingat siapa dia dan apa hubungannya dengan Martika dan Elina? Namun belum juga berhasil mengingat, lelaki itu pergi melalui pagar halaman belakang. Hany panik dan langsung berlari ke kamar yang berada tepat di sebelah pintu halaman belakang. Ternyata ini adalah kamarnya Misel. Hany duduk di pinggir ranjang. Ia melamun menatap tembok kosong. Lamunannya terbang saat pertama kali Elina pindah ke apartemen. *** Sore itu hujan mengguyur Jakarta. Lalu lintas yang padat terasa lebih hening ketika hujan. Pengguna motor terlihat sibuk mengungsi untuk berteduh di sekitar pertokoan. Begitupun dengan Hany yang berniat pergi ke apartemen baru Elina. Sahabatnya itu baru pindah seminggu yang lalu. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Hany memilih menerobos hujan yang ia anggap hanya air dan tidak akan membuatnya sakit. Lagipula tinggal belok kiri dan lurus melewati lampu merah ia telah sampai di tujuan. Setelah sampai di lantai empat belas. Hany mencari unit apartemen Elina dan mengetuk pintu dengan keras. “Ya ampun Han Lu hujan hujanan? Basah kuyup gini,”tanya Elina saat membuka pintu dan melihat sahabatnya yang sudah basah kuyup. “Berenang gue di sebelah. Yaiyalah Lin gue kehujanan, tadi gue nerobos hujan dengan sangat berani. Gue kira bakal baju doang yang basah ... eh celana gue malah kecipratan comberan” Hany menggerutu padahal itu semua pilihannya sendiri. “Hahaha lagian ngapain segala nerobos,” Elina tertawa melihat wajah Hany yang kesal. “Gak usah banyak nanya dulu deh, pinjemin gue baju cepetan,”kata Hany yang merasa tubuhnya sudah menggigil. Niat hati hanya ingin meminjam baju. Hany berubah pikiran, ia mandi sekaligus mencuci rambutnya agar tidak masuk angin. “KALAU ANDA SOPAN SAYA AKAN SOPAN ” Teriakan itu terdengar sewaktu Hany berada di dalam kamar mandi. Ia kira suara itu berasal dari tetangga sebelah. Ternyata ketika Hany selesai mandi, Elina sedang menelepon dipinggir kasur dengan wajah merah menahan emosi. Sambil meengeringkan rambut, Hany mendekati Elina. Mulut nya bertanya tanpa mengeluarkan suara. “Siapa?” Elina hanya menahan Hany dengan tangannya sambil berbisik “Bentar.” “Terserah! Tapi kalau masih berani masuk ke dalam saya akan lapor ke RT setempat,” seru Elina kepada lawan bicara. Kemudian terdengar suara lelaki dari ponsel Elina. Suaranya sangat keras sehingga Hany bisa mendengar samar samar suara itu. “Anda juga bisa saya laporkan ke polisi,”timpal Elina lagi yang kemudian putus sambungan telfon dan melempar ponselnya asal ke arah kasur. “b*****t,” teriak Elina sambil memutuskan sambungan telfon dan melempar ponselnya asal ke arah kasur.Elina merasakan jantungnya berdegup kencang, tangannya refleks mengepal dan wajahnya terasa memanas. Ia berusaha menenangkan diri menarik nafas pelan-pelan lalu memejamkan mata “Ini minum dulu,” kata Hany yang sudah memegang segelas air. “Makasih Han.” Beberapa menit kemudian, keingintahuan Hany mulai muncul lagi. “Tadi siapa?” tanya Hany selagi kondisi Elina sudah tampak lebih tenang dari sebelumnya. “Selingkuhannya Mama gue,” ujar Elina dengan santai. Hany tampak berpikir sejenak seperti nya ia pernah tahu nama orang yang di maksudkan Elina. “Oh Rio?” katanya yang berhasil mengingat. Elina hanya mengangguk. Sebenarnya Martika adalah single parent yang belum memustuskan ikatan pernikahan dengan suaminya. Ayahnya Elina perg karena terlilit hutang. Sejak kepergiannya, Martika yang mencari nafkah. Tapi lama kelamaan Martika tidak seperti seorang Ibu pada umumnya. Ia sangat sibut dengan para lelaki. Salah satunya bernama Rio. Setahu Elina Rio adalah lelaki b******k terlama yang menjadi selingkuhan Martika. Sejak Elina berumur lima belas tahun mereka telah menjalin hubungan. Bukan karena sikap Rio yang baik atau sopan tapi sikapnya yang manipulatif dan suka mengancam. Bahkan dahulu Martika pernah berbohong supaya putus dengannya. Ia berbohong bahwa Elina sudah tahu perilaku b***t mereka dan mengancamnya untuk bercerita kepada keluarga besar. Rio yang mendengar hal itu langsung bertindak gila. Ia malah mengancam Elina untuk tidak melarang mereka dengan dalih akan menyebarkan foto telanjang Martika di sosial media. Padahal Elina tidak tahu menahu mengenai hal itu. “Berulah lagi?” tanya Hany dengan wajah yang super serius “Berantem gue sama dia.” “Kenapa? Dia ngancem bunuh lu lagi?” tanya Hany emosi “Enggak. Tenang aja Han gue udah kebal sama semua ancamannya,” balas Elina sambil tersenyum kemudian kembali fokus dengan ponselnya. “Ribet banget si tu pak tua. Gak inget umur apa ya,” cerca Hany “Paling umur nya bentar lagi.” Elina menimpali Hany dengan candaan sekaligus harapan. “Aamin ... Lin tapi lu harus hati hati ya. Walaupun gue tahu si lu berani tapi tetap saja jangan pernah ketemuan empat mata.” “Iyalah gue juga gak b**o kali han” balas Elina memecah rasa khawatir. Hany hanya manggut maggut paham. Ia percaya sahabatnya memang tidak gegabah dalam bertindak. “Tapi kalau tiba-tiba gue mati—Lu taukan siapa pembunuh nya,” kata Elina memasang wajah serius *** Hany tersadar dari lamunannya. Ingatannya membuat bulu kuduk merinding. Ia seperti mendapat wahyu. Tiba-tiba tangan Hany mengepal, lalu memukul mukul kepalanya sendiri. “g****k! KENAPA GUE GAK KEPIKIRAN!” Hany bermonolog dengan nafas yang tersengal. “Gue yakin Elina dibunuh, dia gak mungkin bunuh diri!” seru Hany ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN