Janggal

1159 Kata
Hany pergi sendirian ke apartemen Elina untuk mencari bukti yang mungkin terlewatkan oleh polisi. Padahal sekarang sudah pukul sepuluh malam, tapi pikiran dan hatinya memaksa Hany untuk pergi. Ia tidak tenang dan terus memikirkan Elina. Garis polisi melintang dipintu unit apartemen. Pintunya penuh dengan tempelan kertas berisi ucapan ucapan dari teman kuliah serta kantornya. Hany membaca satu persatu tulisan disana. Sedihnya datang lagi. Mengapa orang sebaik Elina harus pergi dengan cepat? Dengan ragu-ragu Hany menyentuh kenop pintu. Berharap pintu itu tidak dikunci. Saat ia mencoba mencoba membukanya perasaan takut dan khawatir bersatu. Srekk! Aneh sekali, pintu itu tidak terkunci. Mungkin hari ini adalah hari keberuntungan Hany. Hany masuk sambil membaca doa di dalam hati. Ruangan tampak gelap dan ternyata listriknya sudah tidak berfungsi. Dengan modal senter dari ponselnya, Hany berjalan menyusuri tiap sudut. Ia cek satu persatu laci, lemari dan meja. “Lu siapa?” tanya Hany melihat sosok laki-laki yang tengah berdiri di balkon sedang menengok ke bawah seperti ingin menjatuhkan diri. Lelaki yang mengenakan masker hitam tampak panik saat melihat kehadiran Hany di sana. Ia mencoba kabur, tapi Hany mencegah nya dengan menghalangi pintu. “Jangan jangan lu yang bunuh Elina?!” Lelaki itu membuka masker dan Elina mengenalinya. Ia adalah Reza, kakak tingkatnya di kampus sekaligus pacarnya Elina. “Kak Reza?” Hany tidak percaya, untuk apa Reza ada di sini. “Iya ini gue,” balas Reza dengan nafas memburu “Lu ngapain di sini?” “Gue ... “ Reza terdiam, ia sedang memikirkan alasan yang jelas. “Jangan-jangan Lu mau bunuh diri di sini karena Elina pergi?” tanya Hany menduga-duga. “Gak lah! Gue lagi cari diary-nya Elina. Gue mau tahu apa yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini sama dia,” kata Reza yang akhirnya memilih jujur Hany membulatkan matanya. Apa Reza sama seperti dirinya yang tidak percaya Elina bunuh diri. “Bukannnya buku itu sudah di kasih ke polisi?” tanya Hany “Lu gak tahu? Ibunya Elina kasih buku harian palsu ke polisi. Dia kasih buku yang isinya coretan Elina kalau dia lagi kambuh.” Hany baru mengetahui hal itu. Pantas saja banyak tulisan Elina ingin mati. Martika benar-benar mencurigakan. “Maksud Kak Reza, Kakak curiga kalau Elina enggak bunuh diri?” tanya Hany dengan hati hati. Reza mengangguk, wajahnya terlihat begitu frustasi. “Tadi siang gue ke kantor polisi dan menurut mereka ada beberapa hal yang aneh. Tapi menut gue yang lebih aneh itu Ibunya Elina. Dia yakin kalau anaknya meninggal karena bunuh diri. Gue gak habis pikir, kenapa dia gak coba minta penyelidikan lebih lanjut,” tutur Reza merasa ada yang ditutup-tutupi “Terus kenapa polisi main percaya saja?” “Han—bukti Elina bunuh diri ada di depan mata,” balas Reza “Lu sendiri ngapain di sini?” tanya Reza sambil menatap curiga Hany. Walaupun Reza tahu Hany adalah sahabatnya Elina tapi di dalam hidup semua orang bisa menusuk kita dari belakang. “Gue mau cari HP-nya Elina,” balas Hany dengan santai “Oh gue kira lu mau ngilangin jejak,” ujar Reza “Harusnya gue yang bilang kaya gitu. Lu itu pacarnya Elina, tapi selama ini gak pernah datang ke rumahnya. Bahkan pemakamannya aja gak datang!” bentak Hany yang merasa tertuduh. Tangan Reza mengepal. Semua itu bukan Reza lakukan untuk menghindar. Tapi ia terlalu takut melihat perempuan kesayangannya dimasukkan kedalam liang lahad. Reza juga terlalu lemah untuk pergi bertemu Martika dan Misel. Setiap ia mendengar nama Elina, hatinya terasa sesak dan kepalanya sakit seperti bumi sedang menimpanya. “Gak usah sok tahu Han!” Reza membuat Hany mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar suaranya yang tiba-tiba meninggi. Kemudian Reza mendorong Hany agar tidak menghalangi jalan. Ia lebih baik pergi karena takut terbawa emosi. “Tunggu,” teriak Hany membuat Reza menengok ke sumber suara. “Gue perlu bantuan lu,” timpal Hany yang berniat bekerjasama dengan Reza. Pikirnya lebih baik dua orang dibanding satu orang. Lagipula dibanding Hany mungkin Reza lebih mengetahui Elina. *** Reza dan Hany telah menyusun rencana serta mengumpulkan keanehan-keanehan pada kematian Elina. Pertama, tidak ditemukan surat terakhir. Kedua, Elina ditemukan tewas pukul 17.40 dari balkon kamar lantai empat belas. Dimana butuh waktu sekitar 1-3 menit untuk mendarat. Hal ini berarti Elina masih berada di balkon kamar sampai pukul 17.37. Ketiga, Ponsel Elina hilang yang mungkin saja sengaja dibawa oleh si pembunuh. Mereka sudah memiliki tersangka utama yaitu Rio. Martika juga patut di curigai karena agresif dalam memutuskan bahwa kasus Elina adalah murni bunuh diri. Padahal polisi merekomendasikan untuk melakukan penyelidikan. “Itu orang yang kemarin pelukan sama Ibunya Elina,” kata Hany sambil menunjuk lelaki yang sedang berhenti di depan pagar rumah. Walaupun sedang mengenakan helm Hany sadar bahwa lelaki yang ia lihat sekarang sama dengan lelaki yang kemarin malam mengobrol di halaman belakang bersama Martika. Kulitnya sawo matang, ada banyak t**i lalat di leher dan proporsi tubuhnya yang gemuk tinggi. “Benar dugaan gue, Elina pernah bilang kalau ibunya selalu pergi pagi-pagi sama Rio,” “Berarti itu beneran Rio selingkuhannya ...” Reza mengangguk sebelum Hany menuntaskan ucapannya. “Anjir! Cepetan ikutin Kak,” kata Hany yang penuh adrenalin. Hany tidak habis pikir dengan Martika, anaknya baru saja meninggal dua hari yang lalu. Tapi ia sudah bisa menjalani hari-hari speerti biasa bahkan dengan selingkuhannya sendiri. Kecurigaan Hany kepada Martika bertambah besar. Reza menginjak gasnya. Mengikuti Martika dengan hati-hati. Tiba-tiba mobil Reza berhenti mendadak sehingga membuat badan Hany hampir menyentuh dashboard mobil “s**t! Kenapa tiba-tiba berhenti?” tanya Hany sambil membenarkan posisi. Reza tidak menjawab, ia hanya memberi kode untuk melihat ke kaca spion. Hany yang peka segera melakukannya. Ia mengerjapkan mata saat melihat Misel yang membuka pagar untuk lelaki yang mengendarai motor model klasik. Hany segera menengok kebelakang, memastikan matanya tidak salah. Benar saja, lelaki itu masuk ke dalam rumah Elina. Mengapa Misel berani sekali memasukkan laki-laki disaat rumah sepi. “Itu siapa?” tanya Hany tidak berhasil mengenali lelaki tersebut. “Gue juga baru lihat,” ujar Reza dengan raut wajah bingung sama seperti Hany. “Atau mungkin itu pacarnya Misel?” ”Gak mungkin, setahu gue Misel gak punya pacar,” balas Reza . Dahulu Elina pernah bercerita bahwa Misel anak yang sangat introvert. Dia selalu mengahabiskan waktu di kamar dengan teman-teman onlinenya. “Terus gimana? Mau cek Misel atau kejar Rio?” Reza menghela nafas, sesuai dugaannya terlalu banyak rahasia yang disimpan oleh keluarga Elina. “Lu cek Misel deh, biar gue yang ikutin Rio,” kata Reza yang langsung dituruti oleh Hany. Hany segera turun dari mobil, sedangkan Reza menancap gas agar motor Rio bisa terkejar. Dengan hati-hati Hany membuka pagar. Lalu mengendap-endap masuk untuk mengintip kedalam rumah. Motor klasik dengan plat depan F itu terparkir di depan halaman rumah Elina. Hany makin penasaran siapa yang ada di dalam. Ia intip ruang tamu dan ruang televisi dari jendela. Namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Misel di sana. Hany bergegas ke halaman belakang yang tersambung dengan jendela kamar Misel. Ia harap pikirannya salah. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN