Manipulatif

1811 Kata
Rio mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ia tidak tergesa-gesa walaupun tahu ada seseorang yang sedang membuntutinya. Hal ini dilakukan agar tidak membuat curiga. “Orangnya masih ngikutin Mas,” ucap Martika sambil melihat kebelakang dengan bantuan pantulan ponselnya. Berbeda dengan Rio, Martika tampak panik. “Kamu tenang saja. Aku akan alihkan dia,” balas Rio dengan santai. Di belakang mereka, Reza tampak kebingungan karena jalan yang di lewatinya sekarang adalah jalan menuju kampus. Benar saja, Rio membelokkan motornya ke arah kanan. Reza mulai merasa tertipu, sepertinya Rio tahu sedang diikuti. Lagipula untuk apa mereka ke kampus padahal Elina sudah wisuda sebulan yang lalu. “Loh ngapain kita kesini?” tanya Martika dengan suara pelan. Rio tidak menjawab, Ia malah menambah kecepatan motonya dan masuk ke tempat parkiran bertingkat. Rio merasa terjebak sebab Rio masuk ke parkiran  khusus untuk motor. “s**t!” Reza mengumpat saat motor Rio masuk ke dalam parkiran yang sering di sebut parkiran spiral oleh mahasiswa. Ia berpikir sejenak, mobilnya tidak bisa masuk kesana. Tapi jika harus pergi ke tempat parkir lain,Reza takut kehilangan jejak. TIN!! Suara klakson dari belakang mobil Reza karena mobilnya menghalangi jalan. Reza segera pergi darisana dengan terpaksa dan kesal. Rio dan Martika bernafas lega saat motor mereka sudah terpakir di lantai tiga yang tampak sepi karena hari ini adalah hari Minggu. “Kamu kenal sama mobil tadi?” tanya Rio sambil melepas helmnya. Martika berpikir keras, ia mencoba mengingat. Tapi sayangnya Martika tidak mengetahui bahwa mobil itu adalah milik Reza. “Gak kenal?” tanya Rio sekali lagi. Pertanyaanya dibalas gelengan kepala oleh Martika. “Jangan-jangan itu polisi?”. Martika tampak gugup begitupun dengan Rio. Seketika perasaan takut menguasai badan. Rio segera mengenakan helmnya kembali. Mereka tidak bisa berdiam lama-lama di sini. “Mas, apa kita jujur saja sama polisi? Aku takut kita...” “Kamu ngomong apa sih? Untuk apa berurusan dengan mereka lagi!” bentak Rio sebelum Martika menyelesaikan ucapannya. Martika tampak takut jika Rio sudah seperti ini. Ia hanya diam dan menuruti Rio. “Anak kamu sudah mati tapi tetap saja nyusahin!” Rio menggerutu sambil menjalankan motornya. “Sabar Mas, aku yakin nanti gak bakal kaya gini lagi,” ucap Martika dengan suara lembut. Sangat miris memang, bukannya tidak terima dengan ucapan Rio. Martika tampak berada dipihak Rio daripada membela Elina-anaknya sendiri- yang sudah menyatu dengan tanah. *** Selama 10  menit Hanny berhasil menguping dari balik jendela kamar Misel tanpa ketahuan. Walaupun jendelanya tertutup gorden tapi masih ada celah kecil untuk melihat ke dalam. Hany benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia ketahui sekarang. Misel yang tampak lugu dan baik ternyata  berani membawa seorang laki-laki yang terlihat lebih tua masuk ke kamarnya, ditambah posisi Misel yang duduk di atas kasur dan laki-laki itu tidur dengan pahanya sebagai bantal. “Pijitin lagi dong,” pinta Irsyad sambil meraih tangan Misel dan meletakkannya di dahi. Misel  menuruti permintaan Irsyad. Tapi pijatan Misel tidak terasa sama sekali membuat Irsyad terbangun dan duduk di sebelahnya. “Lagi mikirin apa si?” tanya Irsyad menatap Misel dengan tatapan yang lembut. Misel hanya menggeleng pelan. Padahal otaknya sedang penuh sekarang. “Kamu ... mikirin Elina?” tanya Irsyad hati-hati. Ketika Hany mendengar nama Elina, ia langsung mendekatkan telingannya agar suara mereka terdengan lebih jelas. “Apaan si, enggak!” Suara Misel tampak sensi. “Terus mikirin siapa?” Irsyad hanya mangut-mangut melihat pacarnya yang badmood. Jelas-jelas ia tahu Misel sedang banyak pikiran. “Sini aku peluk,” ucap Irsyad sambil memeluk Misel dari samping. Walaupun wajah Misel masih di tekuk, setidaknya Irsyad menghibur pacarnya itu. “Besok kamu sekolah?” tanya Irsyad mengalihkan pembicaraan “Iya.” “Gak usah dong, izin saja. Bilang saja masih berduka,” ucap Irsyad tidak tahu diri. Misel kesal dengan pacarnya yang  tidak peduli atau menunjukkan rasa iba. “Syad kamu gak merasa bersalah?”tanya Misel dengan wajah tegas. Melihat wajah Misel yang berubah, Irsyad mulai melepaskan tautannya dari badan Misel. Kemudian ia meraih kedua tangan Misel dan mencengkramannya. Hal itu membuat Misel kesakitan dan berusaha melepaskan genggaman tanan Irsyad. Tapi semakin dipaksa untuk lepas, tangnnya tambah sakit. “Misel, Aku gak mau kamu ngungkit-ngungkit itu lagi. Kalau aku salah kamu juga salah,” kata Irsyad dengan datar namun matanya mengintimidasi. Irsyad memang tidak pernah meledak-ledak, Ia bisa berbicara pelan dan lembut namun menusuk. “Lepasin!” bentak Misel “Minta maaf!”Irsyad ikut membentak Misel. Misel merasa tangan kecilnya hampir remuk oleh gengaman Irsyad. “Lepas ...” lirih Misel ”Minta maaf dulu!” Irsyad tidak mau kalah. Misel ingin memberontak dari tingkah laku Irsyad yang aneh. Irsyad memang seperti itu, kadang kadang manis lalu dapat berubah menjadi kasar karena hal sepele. Seperti sekarang, padahal Misel hanya bertanya tentang kakaknya. Tapi Irsyad langsung tersinggung. “Maaf,” lirih Misel. Irsyad tersenyum melihat gadisnya yang penurut telah kembali. Ia langsung memeluk Misel beberapa saat untuk menenangkannya. Kemudian Irsyad meraih dagu Misel dan memajukan wajahnya. Bibirnya melumat halus bibir Misel yang menjadi candu baginya. Sekarang bibir mereka sudah bersatu sempurna. Lagi-lagi hal ini terus terulang. Bdohnya Misel malah menikmati dan tidak menolaknya. Misel tetap mencintai Irsyad walaupun ia curigai bahwa Irsyad menjadi penyebab kematian kakaknya sendiri. Hany menutup mulutnya, badannya terasa merinding dengan apa yang ia lihat. Selama seumur hidupnya, baru pertama kali ia melihat manusia semanipulatif Irsyad. Lalu sejak kapan Misel menjadi wanita seperti itu. Apakah Elina tahu apa yang sudah dilakukan Misel selama ini. Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya. Tiba-tiba ponsel Hany berdering, Ia panik seketika lalu pergi dari sana. Hany berharap Irsyad dan Misel masih sibuk dengan kegiatan kotor mereka. *** Hany berjalan menyusuri permukiman sekitar kampus. Sedari tadi ia fokus dengan suara google maps-nya yang sibuk mengarahkan jalan menuju kosan Reza. Sehabis dari rumah Elina, Reza meminta Hany untuk bertemu di kosannya.  “Han!” teriak lelaki yang suaranya tidak asing Hany berbalik arah dan menemukan Reza di atas balkon. Ternyata ia telah melewati kosan Reza. Untung Reza melihat Hany yang tengah berjalan. Reza turun melalui tangga yang tersambung ke depan halaman kosannya. “Masuk dulu,” ucap Reza sambil membukakan pagar. Hany segera membuka sepatu dan duduk di kursi kayu yang ada di teras. “Lu dapet apaan di rumah Elina?” tanya Reza Hany was-was, ia melihat ke sekitar karena takut ada yang menguping. Bukannya apa-apa, kosan Reza sangat dekat dengan kampus. Takutnya, teman-teman dari jurusannya sedang ada di sana. “Santai saja, disini gak ada anak Ekonomi kok,” balas Reza yang paham akan gelagat Hany “Tetap saja gue takut, lu tahu sendiri anak ekonomi gimana. Sekalinya denger gosip bisa langsung nyebar ke satu fakultas” Fakta itu keluar dari mulut Hany “Santai saja,” ucap Reza Hany menghela nafas, ucapan selanjutnya sangat sulit ia lontarkan. "Kak lu yakin Misel gak punya pacar?" Hany mencoba mengorek informasi agar kesaksiannya lebih valid "Elina gak pernah cerita. Kenapa? Motor yang masuk tadi pagi pacarnya Misel?" tanya Reza dengan wajah serius Hany menghela nafas lagi, kali ini lebih panjang daripada yang sebelumnya. "Iya..." "Berdua di dalam rumah?" tanya Reza tidak percaya  Hany hanya mengangguk, "Ada yang aneh dari mereka berdua dan kayanya mereka ada sangkut pautnya sama kematian Elina," timpal Hany "Gak mungkin lah, Misel itu masih 15 tahun dia juga sayang sama Elina" Reza tidak percaya sama sekali dengan ucapan Hany. Mana mungkin Misel terlibat, setahunya Misel sangat menyayangi Elina.  Hany sudah menduga pasti Reza tidak percaya dengan ucapannya, ia pun demikian. Tidak logis seorang adik sendiri terlibat dalam kematian kakaknya. Hany menceritakan semua yang ia dengar. Termasuk kejadian Misel dan Irsyad yang gaya pacarannya begitu aneh. Reza melamun saat mendengar semua penjelasan Hany. Ia tidak tahu menahu tentang itu. Mengapa Elina tidak pernah cerita? Apa ia juga tidak tahu mengenai kelakuan adiknya? Hatinya tiba-tiba terasa sakit membayangkan semua ini menimpa Elina. "Btw kabar rekaman CCTV gimana?" tanya Hany membuyarkan lamunan Reza. Selain mereka berencana membuntuti Rio. Hany dan Reza juga menyisir ulang bukti-bukti yang mungkin tertinggal polisi.  "Gak ada Han, CCTV di lift sama lorong unit ternyata mati. Gue lagi tunggu CCTV yang ada di palang parkiran, tapi orang yang jaga gak welcome ," ucap Reza yang merasa tidak ada harapan. Apartemen itu memang tidak cocok di sebut apartemen. Bahkan lobinya hanya di jaga oleh satu satpam yang suka menghilang.  Hal ini sama persis seperti yang dikatakan kepolisian sebelumnya. Kasus ini tidak memiliki bukti bukti yang jelas di lapangan. Mau tidak mau Hany dan Reza harus berusaha lebih keras untuk menemukan diary dan ponsel milik Elina. "CCTV parkiran buat apa?" tanya Hany heran "Gue mau lihat siapa yang masuk ke sana di hari Elina meninggal. Pastikan jelas banget, kendaraannya apa dan plat nomornya berapa. Siapa tahu kita nemu motor Rio," balas Reza yang percaya diri akan rencananya walaupun peluang keberhasilannya sangat kecil. Hany mangut-mangut paham, ide Reza tidak terlalu buruk. "Malam kita ke rumah Elina lagi?" tanya Hany "Sorry gak bisa, gue mau kerjain skripsi. Kalau lu sendiri saja bagaimana?"  Sejujurnya Reza ingin pergi menemani  Hany, tapi nasib mahasiswa akhir yang dikejar-kejar deadline membuatnya tidak ada puluhan. "Yaudah deh gapapa," balas Hany yang berharap malam nanti tidak ada kendala. Ia takut jika sendirian.  Setelah itu Hany pulang ke rumah untuk istirahat dan memikirkan rencana nanti malam. Ia bingung harus bersembunyi di mana sebab ia naik motor. Tidak seperti tadi pagi dengan mobil Reza. Nanti malam, tepatnya setelah magrib, Hany akan berangkat. *** Irsyad  terus menerus menganggu Misel yang sedang memasak nasi goreng unuknya. Ia memeluk Misel dari belakang seperti adegan film romantis suami istri yang baru menikah. "Lepasin dulu dong, aku kan lagi masak," ucap Misel  yang mencoba melepas pelukan  Irsyad dengan tangan kirinya sedangkan Irsyad tetap memperlancar aksi manja manjaannya  "Ayok cepetan masaknya aku lapar," kata Irsyad meletakkan dagu di pundak Misel.  Misel hanya menghela nafas meladeni pacarnya yang sangat suka skinship Dag! Terdengar bunyi pintu  seperti habis di lemparkan benda keras dari luar. Misel dan Irsyad refleks menengok. Jarak antara dapur dan pintu utama rumahnya tidak terlalu jauh sehingga mereka yakin jika suara itu memang dari sana. Misel dan Irsyad saling melempar tatap. Tersirat di mata Misel rasa takut dan bingung.  Irsyad segera melangkah melihat siapa yang ada diluar. Mungkin ada bocah bocah iseng yang melemparkan batu ke pintu rumah Misel.  Ketika ia membuka pintu, tepat di depan kakinya ada gumpalan kertas yang membalut batu.  Ia mengambilnya dan instingnya menyuruh Irsyad membuka apa isi yang ada di dalam kertas itu. Matanya terbelalak menangkap tulisan di sana. Ia langsung membuang batu tersebut ke halaman rumah dengan kasar. Wajah Irsyad memerah karena kesal dan emosi. Ia penasaran siapa yang membuat tulisan aneh semacam itu. "Ada apa syad?" tanya Misel yang sudah ada di belakang Irsyad Irsyad memberi kertas yang sudah sangat lecek kepada Misel. Murder Satu kata yang membuat Misel takut. Saking takutnya ia menjadi kehilangan keseimbangan, untungnya Irsyad berhasil mengenggam tangan Misel sebelum ia terjatuh. "Ini siapa yang ngirim? Aku takut," ucap Misel ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN