Nasi goreng buatan Misel mulai dingin karena didiamkan begitu saja di meja makan. Irsyad yang tadinya sangat lapar tiba-tiba kenyang seketika setelah mendapat pesan aneh itu. Ia duduk menatap lurus kedepan sambil berpikir siapa yang melakukan ini. Sedangkan Misel berjalan mondar-mandir, kukunya sudah memendek di gigit karena ia resah dan khawatir.
"Misel duduk sini gak usah berlebihan gitu," ucap Irsyad mulai risih melihat Misel yang tampak sangat kepikiran walaupun ia juga demikian.
"Aku gak tenang," balasnya
"Buang semua rasa itu Sel. Pasti itu orang iseng"
"Menurut kamu ada orang yang tahu tentang hal yang kita lakuin ke Kak Elina?" Tanya Misel ketakutan
"Gak bakal ada yang tahu kalau kamu waktu itu ikutin kata-kata aku," balas Irsyad
"Aku udah ikutin kata kata kamu. Tapi ... kenapa ada pesan itu," balas Misel lalu ia menggigiti kukunya lagi
"Kalau kamu gak teledor kita akan aman-aman aja. Masalah itu gak bakal terkuak," ucap Irsyad emosi
"Tapi aku takut syad. Aku merasa bersalah sama Kak Elina," balas Misel dengan mata berkaca-kaca.
"Kita gak salah Sel! Untuk sekarang kamu jangan mikir yang macam macam. Aku bakal cari tahu kertas itu darimana, dan pastiin semua bukti itu udah kamu hapus," kata Irsyad kemudian melangkah pergi ke kamar mandi untuk menenangkan diri.
***
Setengah enam tepat Hany sudah berada di warung yang berjarak empat rumah dari rumah Elina. Ia sengaja mengawasi dari sini agar tidak ada yang curiga. Dulu Elina pernah bercerita bahwa Martika dan Rio selalu pulang menjelang magrib atau sehabis magrib. Namun, sampai langit mulai berubah menjadi jingga kemerahan. Ia belum menemukan tanda-tanda kehadiran Martika dan Rio.
Sebelum itu, Hany sudah cek halaman rumah Elina terlebih dahulu. Ternyata motor berplat F milik Irsyad sudah tidak ada. Mungkin ia telah pulang, pikir Hany.
Hany mengambil minuman teh dalam kemasan lagi dari kulkas dan langsung membayarnya. Ia tidak tahu sampai berapa banyak minuman yang harus di beli sampai menunggu Martika datang. Baru saja Hany menyedot tehnya, ia terbelalak melihat motor Rio yang lewat di depan matanya.
Ia bersembunyi di balik tembok warung dan melihat ke arah rumah Elina. Martika turun dari motor dan membukakan pagar agar motor Rio bisa masuk.
"Gila! Berani masuk rumah disaat Elina baru aja pergi," Hany bergumam. Jika Elina masih hidup, pasti ia tidak akan menyukai ini.
Hany berjalan santai ke arah rumah Elina. Ia ingin mengintip seperti tadi siang.
Tanpa di duga-duga, Misel keluar dan berpapasan dengan Hany yang belum sempat kabur.
"Kak Hany ?" Misel menyapanya, ia bingung kenapa Hany sudah ada di depan rumahnya jam segini.
"Eh Misel ... mau kemana?" Hany berusaha biasa saja
"Ke warung, Kak Hany ngapain? Kakak tau kan hari ini gak ada tahlilan?" Misel tidak tampak curiga sama sekali. Pertanyaannya membuat Hany mendapat ide.
"Oh gak ada? Yah aku salah dong," kata Hany yang melancarkan alibinya
"Iya gak ada kak."
"Yaudah deh aku pulang aja, hmmm by the way mama kamu ada di rumah?"
Misel tampak gugup saat mendengar pertanyaan Hany.
"I — ya kak, tapi lagi ada tamu."
Hany merasa Misel menyembunyikan keberadaan Rio. Mungkin ia tidak mau Hany berpikiran macam-macam. Padahal Hany sudah mengetahui semua sikap buruk Martika dari Elina.
"Yaudah deh aku pulang aja," balas Hany
"Motor kakak dimana?"
"Itu," ucap Hany sambil menunjuk ke arah warung
Misel menatap curiga, ia merasa gelagat Hany sedikit aneh. Tapi ia memilih tidak peduli. Mungkin hanya perasaannya saja.
Misel dan Hany berjalan bersama ke warung. Hany menaiki motornya untuk berpura-pura pulang sedangkan Misel membeli sesuatu sesuai perintah Martika. Walaupun Hany menunggu lebih lama. Tetap saja, malam ini tidak membuahkan hasil. Hany terpaksa pulang dengan tangan kosong.
***
Reza sedang berada di kosan Gisel untuk mengerjakan skripsinya. Awalnya memang begitu, tapi lama-kelamaan Gisel selalu menganggu Reza dan membuatnya tidak fokus. Ia selalu memeluk Reza dari belakang, tidur di pahanya dan kadang mengganggunya dengan menciumi bagian leher atau telinga. Gisel memang seperti itu, agresif. Berbeda sekali dengan Elina.
"Jangan gini dong. Aku susah ngetiknya," ucap Reza merasa risih karena Gisel memeluknya dari samping seperti koala.
"Udah kerjain aja skripsinya, aku pengen meluk kamu, " balas Gisel tepat di dekat leher Reza
Reza mengehela nafas, ia melanjutkan kembali tugasnya.
Tiba tiba dari arah luar terdengar suara hujan. Tak lama udara dingin menyebar ke seluruh ruang. Gisel mempererat pelukannya. Reza terdiam, ia seperti tidak asing dengan suasana ini. Pikirannya melayang pada beberapa bulan yang lalu, saat di kosannya bersama Elina.
**
"Kamu mau pulang?" tanya Reza menghampiri Elina di balkon kosannya
Elina hanya mengangguk tanpa melepas pandangannya dari hujan yang mengguyur cukup deras.
"Tapi 'kan masih hujan," balas Reza
"Terus kapan pulangnya? Ini aja mau jam 10 Za. Gak enak sama ibu kosan kalau pulang malam-malam."
"Nginep sini aja," ucap Reza dengan mudahnya
Elina menatap Reza intens karena ucapannya yang tidak masuk akal.
"Aku gak bakal ngapa ngapain Lin, masa kamu gak percaya sama aku?" Reza tahu Elina mungkin masih ragu jika menghabiskan malam bersama di kosannya.
"Emang kamu pikir aku takut diapa-apain sama kamu?"
Reza tampak gugup, memang Elina tidak mengucapkan secara langsung Hanya tatapan Elina yang berkata seolah-olah tidak percaya dengannya.
"Berarti nginep ni?"tanya Reza yang berharap jawabannya iya.
Elina mengangguk, kemudian berlenggang masuk ke kamar Reza. Ia percaya Reza akan menjaganya malam ini.
Kosan Reza berukuran 3x3 meter dengan kasus ukuran single yang cukup untuk dua orang, jika salah satunya tidur menyamping.. Catnya berwarna biru muda dan banyak poster poster film Marvel di dinding dekat kasurnya.
Sekitar pukul 11 malam, mereka memutuskan untuk tidur.
"Lampunya nyalain apa matiin?" tanya Reza yang berada di dekat saklar.
"Nyalain aja," balas Elina padahal ia tidak bisa tidur jika lampu dinyalakan.
Keduanya sudah berada di posisi tidur masing masing. Elina tidur di atas kasur single milik Reza. Sedangkan dengan jarak kurang lebih satu meter, Reza tidur beralaskan karpet. Walaupun berjauhan, posisi mereka saling berhadapan--menatap satu sama lain.
"Reza jangan ngadep sini dong." Elina sedikit risih bertatapan dengannya sebelum tidur.
"Aku emang suka ngadep ke kiri," balas Reza
"Yaudah deh aku ngalah," ucap Elina segera berbalik ke arah kiri sehingga menatap tembok dan bisa memejamkan mata.
Tiba-tiba ia merasa ada orang yang tidur di sampingnya.Lalu bagian pinggangnya juga terasa berat sedikit. Ketika membuka matanya, ternyata Reza sudah memeluknya dari samping.
"Kok pindah?" tanya Elina terkejut
"Punggung aku sakit tidur di lantai, emang susah kalau udah berumur kaya gini," balas Reza sambil tersenyum dan masih memeluk Elina dari samping. Elina memukul d**a Reza dengan pelan agar pelukannya terlepas.
"Modus, sana tidur di lantai lagi," balas Elina mendorong Reza
"Dingin tau Lin tidur di karpet doang" Reza menggerutu
Elina tersenyum melihat wajah Reza yang pasrah dan terlihat menggemaskan.
"Yaudah sini," ucap Elina sambil menepuk bagian kasur di sampingnya. Ia pun bergeser agar Reza bisa mendapat ruang.
Raut cemberut hilang terganti oleh senyum yang mengembang. Reza segera tidur di dekat Elina dengan badan menyamping. Dari sini ia bisa melihat lekuk wajah Elina. Kemudian Reza memeluknya dari samping. Badan Elina benar benar pas di tangan Reza serta aroma rambutnya membuat Reza merasa tenang.
Cup!
Reza mencium pipi Elina tanpa sadar.
Elina kaget lalu menengok ke arah Reza. Mata mereka bertemu. Reza memperhatikan tiap inci dari wajah Elina dan ia gagal fokus dengan bibir Elina yang seperti ada magnet disana, menyuruhnya untuk mendekat. Hal itu terjadi begitu saja. Ciuman pertama mereka selama berpacaran.
**
"Lin...jangan gitu" Reza terbawa lamunannya sehingga tak sadar menyebut nama Elina bukannya Gisel
"Lin?!" bentak Gisel yang langsung menjauh
Reza tersadar, ia menatap mata Gisel dengan tatapan bersalah. Bagaimana bisa dia mengelukan nama Elina ?
"Gila ya kamu! Elina udah mati aja masih diinget," kata Gisel kesal
"Gak sengaja Sel, maaf ya" Reza menggenggam tangannya agar hati Gisel bisa luluh
Gisel melepaskan genggaman itu dengan kasar. Ia terlalu emosi dan kesal.
"Mending kamu pulang deh Za, tidur sana di kuburannya Elina!" bentak Gisel yang sudah dongkol. Terkadang ia ingin menyerah, harga dirinya sudah turun karena dijadikan selingkuhan dan sakit berkali-kali karena Reza. Tapi bodohnya, perasaan Gisel tidak pernah berkurang sedikitpun.
Reza hanya pasrah jika amarah Gisel sudah meledak seperti ini. Ia memasukan satu persatu barangnya, mulai dari laptop, buku dan lain lain. Sebelum benar benar pergi, Reza menengok ke arah Gisel yang sedang berbaring menghadap tembok.
"Aku pulang ya sel," balas Reza
Gisel mengepalkan tangannya setelah mendengar Reza yang benar benar pergi. Bukannya usaha untuk mendapatkan maafnya.
"Harusnya lu mati dari dulu Lin!" Gisel bermonolog sambil memukul dinding yang ada di hadapannya
****