Saat dalam perjalanan pulang setelah mereka ke pantai, suasana mendadak hening. Ocehan demi ocehan dari Gadis di belakangnya kini tak terdengar lagi. Naufal menengok wajah Kila lewat kaca. Benar saja. Kila tertidur. Samar-samar terdengar dengkuran halus dari mulut Gadis itu.
Hari sudah gelap. Hanya lampu dari mobil lah yang menerangi jalanan gelap sekaligus menyeramkan itu. Naufal merasa was-was. Semoga saja tidak ada apa-apa. Usai memakan waktu cukup lama, dia akhirnya sampai di rumah.
Matanya menyipit ketika melihat seseorang tertidur di bangku yang terletak di samping pintu. Itu ibunya. Pasti sudah menunggu kehadirannya sedari tadi. Niat Naufal masuk ke dalam secara diam-diam malah gagal. Hani tiba-tiba muncul di balik pintu dengan raut penuh amarah sembari meletakkan tangan di pinggang. Naufal menarik nafas panjang. Ia akan menghadapi ini sendiri. Tak perlu melibatkan Kila.
Tubuh Kila yang masih ramping itu di angkat ke kamar. Hani diam saja. Semarah apa pun Hani, ia tak tega membangunkan orang yang sedang terlelap.
“Kenapa lo pulang jam segini?”
“Kalian habis ke mana?”
“Kamu anggap kami ini apa, Naufal? Kok tidak bilang-bilang kalau mau pergi?”
“Kak Naufal sama Kak Kila habis kencan ya?”
“Ibu kecewa, Fal. Kamu kenapa pergi berduaan? Apa kata orang nanti?”
Mendengar bertubi-tubi pertanyaan, Naufal bingung harus menjawab pertanyaan mana dulu. “Tanyanya satu-satu. Bisa gak, Bu, Kak, Ren?” Naufal tak tanggung-tanggung. Ia memanggil tiga orang sekaligus saat bertanya.
“Ada hubungan apa kamu sama Kila? Kenapa kalian ke pantai?” tanya Yuni tegas.
“Pacar. Aku ngajak Kila ke pantai karena dia habis kehilangan orang tuanya. Gak salah, kan, kalau Naufal menghibur dia?”
Hani dan Reni memandang satu sama lain. Bingung. Sedangkan Yuni membulatkan mata.
“Maksud kakak, orang tuanya Kak Kila meninggal?” sergah Reni.
Ketiga perempuan itu menatap penasaran Naufal. Mereka kompak diam agar Naufal berbicara.
“Orang tua dia pergi keluar negeri untuk menetap di sana dan gak akan kembali lagi ke sini,” terang Naufal.
Hani membekap mulutnya. Reni geleng-geleng kepala.
“Mereka tega ninggalin anak mereka begitu aja?” Yuni sungguh tak percaya. Ia kira, atasannya itu pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis saja dan akan kembali, tapi nyatanya tidak.
Naufal terdiam.
“Berarti Kila bakal di rumah ini terus, Mih?” tanya Hani memastikan.
Yuni mengangguk. “sekarang, Kila itu adik kamu, Han.” Yuni beralih memandang Reni. “Dan kamu, sekarang Kila kakak kamu.”
“Iya, Mih. Reni malah senang jadi adiknya kak Kila!” seru Reni kegirangan.
“Hani juga bakal anggap Kila sebagai adik kandung, Mih.”
Melihat respons baik dari kedua puterinya, Yuni mendesau lega. Sedangkan Naufal bahagia, Kila bisa bersama dengannya selamanya. Yuni beranjak ke kamar Kila. Ia mau mengecek keadaan Gadis itu.
“Eh, tunggu. Sejak kapan lo sama Kila pacaran?! Kok gak liat jadiannya?!” sergah Hani. Naufal yang kebetulan sedang meminum langsung tersendak.
“Jawab oy! Cowok kok malah kesendak kaya gitu.” ujar Hani usai menggebrak meja cukup keras.
“Satu bulan lalu.”
“Wait! Selama itu? Kalian berdua berhasil buat gue dan Reni gak curiga sama sekali.” ucap Hani heboh.
“Udah. Gue mau mandi.” Naufal berdiri.
“PAJAK JADIANNYA WOY! TRAKTIR GUE SAMA RENI!” suara melengking Hani menggema di rumah cukup megah itu.
Naufal mengusap telinga. Lengkingan Kakaknya begitu mengusik. Naufal menunda untuk masuk kamar, ia mengintip terlebih dahulu ke kamar Kila. Seketika senyumnya mengembang. Terlihat ibunya sedang mengusap pucuk kepala Kila dengan penuh kasih sayang. Dia membalikkan badan, masuk ke kamarnya.
***
“Sayang, kamu mau makan apa?”
“Aku roti aja, Mih.”
“Mami gak nanya ke kamu, Ren. Mami tanya ke Kila.” ucap Yuni. Reni menggaruk lehernya yang tak gatal. Malu karena sudah ke ge’eran.
“Ini, sayang.” Yuni menaruh piring berisi nasi goreng. Tak banyak. Porsinya sedang.
“Makasih, Bunda.”
Yuni kemudian meletakkan satu kotak bekal di depan Kila.
“Buat Reni mana, Mih?”
“Ini bawa aja punya aku, Ren.” Kila memberikan bekalnya. Tangan Yuni malah mencegah.
“Jangan. Nanti kamu laper, sayang. Reni bisa bikin bekal sendiri kok.” tukas Yuni.
“Iya udah kalau gitu. Makasih, Bun.”
“Sama-sama, sayang.” Yuni mengusap rambut Kila.
Reni ikut tersenyum.
“Hello epribadeh. Sarapan udah siap belum nih?” tanya Hani yang baru saja sampai di ruang makan.
“Yang sopan lo.” tegur Naufal hendak menabok lengan Hani, tapi kakaknya itu berhasil menghindar.
“Eits, jangan melakukan kekerasan.” peringat Hani terkesan meledek.
“Eits, terapkan norma kesopanan baru meledek.” ucap Naufal menirukan gaya bicara Hani.
“Gue tampar juga lo!” sungut Hani.
“Silahkan aja.” Naufal melengos. Ia duduk di samping Kila dan mulai menyantap makanan.
“Makannya yang kenyang,” bisik Naufal lirih. Hanya bisa didengar Kila.
Kila mengangguk pelan. Pipinya mendadak muncul semburat merah.
***
Bel istirahat berbunyi sejak beberapa menit lalu. Lusi mencari-cari Naufal. Biasanya Naufal masih ada di kelasnya, namun sekarang tak ada.
“Lo cari siapa?” tanya Dania ketus.
Lusi tak menjawab. Kepalanya melengos membuat Dania geram. Ide cemerlang mendadak muncul di otak Dania.
“Naufal sama Kila pacaran. Lebih baik, lo putusin hubungan persahabatan lo sama Naufal kalau lo gak mau dicap sebagai nyamuk. Kalau lo mau dicap kaya gitu ya, terserah.” Lusi berbalik setelah mendengar pernyataan Dania. Ia hendak protes, namun Dania sudah duluan pergi.
“b***h!” Lusi mengepal kuat tangannya. Ia berjalan menuju perpustakaan. Siapa tau, orang yang ia cari ada di sana.
Tidak ada.
Hanya beberapa murid yang ada di sana. Lusi tak melihat wajah Naufal.
“Awas aja lo! Gue gak akan biarin lo deket sama Kila sedetik pun setelah ini!” tekadnya dalam hati.
Ketika dia mengecek di kantin, baru lah Lusi melihat Naufal. Yang membuat dia benci ada Kila di sana sedang memakan menu kantin bersama. Menjengkelkan. Lusi sangat tidak suka hal itu.
“Wah, kalian kok gak ngajak-ngajak aku kalau mau makan kaya gini?” tanya Lusi begitu sampai di dekat mereka. Ia tersenyum dan bersikap lugu untuk menutupi sifat sesungguhnya. Tak ada yang tahu sifat asli Lusi.
Lusi mendudukkan diri di sebelah Naufal. Ia sekarang berhadapan dengan Kila.
"Kamu kemarin di mana, Fal? Aku ke rumah kamu, tapi kok kamu malah gak ada?"
"Gue pergi. Ke--" merasakan kakinya di sentuh oleh sepatu Kila, ucapan Naufal terpotong. Ia menatap Kila dengan penuh pertanyaan. Kila menggeleng pelan.
"Gue ke rumah nenek."
"Wah, kamu jahat ya. Gak ngajak-ngajak aku." Lusi cemberut.
"Kan, bisa nanti." jawab Naufal cuek.
"Ih, ngapain lo gabung?" sinis Dania pada Lusi. Ia beringsut duduk di samping Kila.
"Emangnya kenapa? Naufal kan, sahabat aku jadi wajar dong kalau aku gabung di sini. Dania gak suka Lusi ada di sini?" tanya Lusi sok polos.
"Enggak." sahut Dania. Kila memegang pundak temannya itu agar Dania berhenti memancing keributan.
Dania refleks menoleh. Dahi mulusnya tiba-tiba mengerut.
Kila yang melihatnya terheran-heran. Apa mukanya ada yang salah? Apa bedaknya tidak rata?