Tatapan Kila membuat dirinya mengerti Gadis itu akan mengucapkan apa.
"Aku ma--"
Sontak Naufal membekap Kila. Kepalanya menggeleng pelan. "Jangan kamu berpikir buat bunuh diri. Masih ada orang yang sayang sama kamu. Salah satu orang itu adalah aku."
"Tapi aku gak sanggup lagi, Fal. Buat apa aku hidup? Mereka berarti banget bagi aku. Dulu, waktu ke suatu tempat, menghilang dari kalian semua, aku hampir aja mau bunuh diri. Tapi, kedua orang tua aku tiba-tiba muncul di pikiranku. Aku jadi sadar, aku belum balas budi sama mereka." Kila menjeda. "Tujuan hidup aku satu, Fal. Aku mau buat mereka tersenyum bangga, maafin aku atas kesalahan karena udah buat Alden celaka dan masih banyak lagi. Aku belum rela pisah dari mereka."
"Kalau tujuan hidup kamu cuma itu..." Naufal menggantung ucapannya. "Apa dia gak termasuk dalam hidup kamu?" tanyanya memegang perut Kila.
Kila terdiam.
"Kil?" Naufal menilik wajah Kila.
"Dia salah satunya kok,"
"Berhenti nangis lagi, okay? Gue percaya, Tuhan punya rencana baik makanya dia kasih cobaan ini ke lo." ucap Naufal lemah lembut. "Jangan buang-buang air mata lo," Naufal mengangkat sudut bibir sehingga membentuk senyuman menawan. Ia mengusap air mata Gadis itu, kemudian memberi kecupan di kening.
"Jangan sedih lagi! Kamu mau ke mana? Pantai? mall? Cafe?" ujar Naufal semangat membuat Kila tersenyum. Iya, senyum palsu.
"Ke makam Alden."
Naufal sukses mematung. "Tapi kamu lagi hamil. Gak boleh ke makam,"
"Kata siapa? Pokoknya aku mau ke makam."
"Lain kali aja ya. Aku mau tanya ke Ibu." ucap Naufal tiba-tiba. Kila menatap tak percaya.
"Berarti kamu mau ngasih tau tentang dia ke Bunda?" tanya Kila memastikan.
"Iya, Yang. Hari ini, aku mau kasih tau semuanya." Naufal menggandeng lengan Kila sangat erat.
"Nanti kalau kamu dimarahin? Gimana?"
"Itu udah jadi resiko. Lagipula, ini sepenuhnya salah aku." respons Naufal merasa bersalah.
"Malam itu bukan salah kamu sepenuhnya. Kamu gak mungkin dengan sengaja minum minuman itu. Coba kamu inget deh. Setelah kamu ngobrol sama adik-adik kelas, kamu ke mana? Kamu bicara sama orang lain lagi gak?" tanya Kila.
Naufal berusaha untuk mengingat. Wajah Fardo tiba-tiba melintas di kepalanya. Samar-samar dia mengingat, waktu itu dia mengobrol dengan Cowok itu. Bukan obrolan biasa melainkan obrolan saling mencaci.
"Gimana? Kamu inget?" tanya Kila memastikan.
"Fardo."
"Fardo? Kok Abangnya Lusi ada di sana?" Kila membersut.
"Dia kasih minuman. Aku langsung terima karena gak tega untuk nolak. Lagian juga, waktu itu aku haus.
"Mungkin dia kasih sesuatu ke minuman kamu! Kamu kenapa sih, main terima aja. Udah tau dia itu suka bikin onar sama rusuh di sekolah. Dia juga sering masuk ke ruang BK." Kila sekarang tau siapa pelaku sebenarnya. "Kamu ceroboh tau gak."
"Maafin aku, La." Naufal mengacak rambutnya. Frustasi. "Kita ke pantai aja yuk."
"Tapi kan jauh," keluh Kila.
"Cuma empat jam perjalanan, Yang."
***
Kila berteriak histeris. Bukan karena takut, melainkan dia senang dibawa Naufal ke tempat menyamankan seperti ini.
"Kamu suka?" tanya Naufal.
"Suka banget! Ayo kita ke sana." Kila memarik lengan Naufal. Tanpa sadar, Kila tersandung karena batu besar di depannya. Refleks genggamannya pada Naufal terlepas. Mulutnya menganga, ia berteriak.
"Kilaa!" Naufal menarik badan Kila secepat kilat sehingga Gadis itu masuk ke dalam pelukannya.
"Gue...gue takut banget." panik Kila. Lo-gue nya keluar lagi.
"Kamu terlalu semangat." sahut Naufal jengkel.
Keduanya melangkah ke bangku yang ada di depan sana. Saat Naufal sudah duduk, Kila malah berdiri dengan muka merah padam.
"Kamu kenapa?"
"Gue gak mau duduk di situ!" Kila melipat lengan di d**a. Ia memalingkan muka ke arah lain.
Naufal menghela nafas. Kila sekarang lebih manja dari biasanya. Entah mengapa.
"Terus kamu mau duduk di mana?" Naufal berdiri. Ia memegang pipi Kila agar Gadis itu menatapnya.
"Di situ!" jari telunjuk Kila menunjuk ke tepi pantai. Di sana terdapat beberapa orang yang berdiri bahkan ada yang duduk dan membiarkan tubuh mereka tersapu oleh ombak.
"Tapi itu ombaknya,"
"Ih. Kok lo selalu ngelarang gue sih? Gue mau ke makam, gak boleh. Gue mau ke situ, gak boleh!" protes Kila.
"Iya-iya. Kamu boleh ke sana asalkan selalu pegang tangan aku. Oke?"
Tanpa menjawab, Kila memegang telapak tangan Naufal. Menggenggam hangat. Setelah Mereka sampai, Kila berteriak kesenangan saat kakinya tersapu oleh ombak.
"Kamu senang?"
"Banget!" Kila mengecup pipi Naufal 10 detik membuat Naufal terpatung kala itu juga.
Di belakang Mereka, seorang laki-laki mengepalkan tangan menyaksikan pemandangan itu. Dia ingin sekali menonjok Naufal lagi sampai terkapar tak berdaya seperti masa itu.
"Abian, kita duduk di sana yuk!" ajak Dasha.
"Abian..."
"Abian!"
Merasa dari tadi tak ada sahutan. Dasha menoleh ke belakang, ke arah Abian tentunya. Tunangannya itu seperti memerhatikan sesuatu. Tatapan mata Abian membuat Dasha takut.
Perlahan mata Dasha mengikuti arah pandang Abian. Tidak ada yang aneh. Di sana terlihat sepasang kekasih sedang berpelukan. Namun, wajah pasangan itu tidak kelihatan. Dasha sampai menyipitkan mata untuk memperjelas.
Muncul ide cemerlang di kepala Gadis itu. Dasha melangkah mundur. Dari belakang, ia memeluk tubuh Abian membuat si empunya refleks berbalik dan memelintir lengan Dasha.
"Aww. Sakiit..." Dasha meringis kesakitan. Matanya berkaca-kaca.
Abian melepaskan. Tak ingin Gadis itu menangis, lalu penyakitnya kambuh. Dia juga sudah muak ingin segera mengakhiri hubungannya dengan Dasha padahal ia sudah berbicara tentang hal ini dengan Dewi--ibunya Dasha, namun sampai hari ini Dasha masih bersikap baik-baik saja padanya. Sudah pasti, Gadis itu belum diberitahu tentang keputusan Abian.
Dan hari ini, Abian diperintah oleh ibunya untuk mengajak Dasha ke pantai. Awalnya Abian menolak, tapi ibunya terus membujuk dan berkata agar otaknya rileks setelah ujian. Abian tahu, ibunya itu menginginkan agar Dasha dan dirinya lebih dekat.
"Ngapain lo peluk gue?!" sungut Abian penuh emosi.
"Ma--maaf..."
Abian pergi begitu saja. Sekarang dia menyesal telah ke tempat ini. Bukannya menenangkan pikiran, tapi malah membuatnya cemburu dan panas hati karena melihat Kila dan Naufal sangat dekat.
"Abian mau ke mana?! Kita gak jadi main pasir?!" teriak Dasha sembari terus mengejar Cowok itu.
***
"Gue mau yang ini." Kila menunjuk nasi padang. Tapi pandangannya beralih pada nasi uduk. "Yang ini juga." Tinjauannya kembali berpindah pada nasi kuning. "Ini juga. Eh, jangan. Gue mau pecel, gado-gado, lontong sayur, soto ayam, bakso, mie ayam, sama es kelapa muda!"
Naufal melongo. Saking banyaknya makanan yang disebutkan Kila, ia menjadi bingung. "Apa?"
"Ih! Lo nyebelin. Gue udah ngomong panjang lebar, lo malah bilang 'apa?' " Kila menirukan gelagat Naufal. Setelah itu, ia menabok lengan Cowok di depannya ini. "Makanya kalau dikasih amplop itu buat beli korek kuping jangan buat beli buku mulu!"
Mbak penjual yang sedari tadi menyimak pun langsung terkekeh.
"Sakit, Yang."
"Eh, maaf." Kila mengusap lengan Naufal yang ia tabok tadi.
"Mbak, pesan makanan sesuai yang dia bilang tadi. Mbak dengar apa kata dia kan?" tanya Naufal memastikan. Mbak penjual itu mengangguk.
"Duduk dulu,"
Kila menurut. Mereka duduk berdekatan sekali. Hampir tidak ada jarak.
"Gue mau minta sesuatu boleh gak?" tanya Kila tanpa mengalihkan pandangannya dari pantai yang begitu indah.
"Minta apa?"
"Gue mau, kalau dia udah umur 4 tahun, kita bertiga ke sini ya. Kamu mau ngabulin kan?" tanya Kila.
"Mau, sayang."
Kila tiba-tiba berdiri. Ia terlihat mencari sesuatu. Naufal mengerutkan dahi saat Kila mengambil sepotong kain berwarna merah.
"Kamu mau apa?"
Kila tak menjawab. Ia mengikatkan kain itu di bangku yang mereka duduki.
"Selesai!" Kila kembali duduk.
"Tadi buat apa?"
"Itu buat bukti kalau kita pernah ke sini. Nanti ikatan kain itu dilepas beberapa tahun lagi. Saat bayi ini udah umur empat tahun." jelas Kila.
"Iya-iya."