Part 63

584 Kata
"Pipi lo kok chubby?" Spontan Kila meraba-raba pipinya. Memang, sedikit chubby walaupun begitu Kila tetap tak suka! "Bodoamat." Kila pura-pura cuek. Ia melanjutkan kegiatan makan padahal hatinya sungguh tercabik-cabik. Perempuan mana yang tidak sakit hati setelah diejek tentang wajah? Di depan Lusi pula! Kan, harga diri dia jadi terluka. "Dan," panggil Naufal. "Iya. Apa?" "Sekolahin mulut lo biar gak ceplas-ceplos kalau ngomong." sinis Naufal. Ekspresinya sangat tidak suka. "I-iya." Dania menunduk, tapi ia melihat Kila kembali. "Kil, gue minta maaf." Kila tidak menjawab. Ia masih kesal pada Dania. Baru pertama kali ini Dania terlalu keterlaluan dalam bercanda. *** Kila mengamati badannya di pantulan cermin. 3 bulan. Perutnya kini sudah terlihat agak menonjol. Kila takut rok seragamnya sudah tak muat lagi. Dan benar apa kata Dania, pipinya sedikit chubby. Ia harus apa sekarang? Tidak mungkin untuk berbicara jujur. Jika ia jujur, maka secara tidak langsung ia membuat Yuni--ibunya Naufal merasa terbebani pikirannya. Tok Tok Tok Mendengar suara pintu, Kila menurunkan kembali baju yang ia singkap tadi. Dia mengatur ekspresi baik-baik saja agar tak terbongkar ia habis menangis. "Sayang, udah waktunya makan malam. Kamu gak mau makan?" "Mau, Bun. Ayo," Kila mengikuti langkah Yuni dari belakang. Usai sampai di ruang makan, di sana ada Hani, Reni dan Naufal tengah mengobrol dan sesekali tertawa. "Bunda udah siapin makanan kamu di piring ya. Gimana? Salah gak? Makanan yang Bunda sajikan di situ, kamu gak alergi kan?" tanya Yuni khawatir. "Gak, Bun." "Mih, tolong ambilin ikannya dong." rengek Reni meminta. "Kamu kan, bisa sendiri, sayang. Udah gede loh. Latihan mandiri ya, jangan kaya anak kecil." tolak Yuni secara halus. Ia sedang sibuk membersihkan piring. Di rumah sebesar ini, Yuni sengaja tak memperkerjakan pembantu. Alasannya sederhana: tidak mau membuang-buang uang. Jika Yuni bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri, kenapa ia malah menggunakan pembantu? "Iya udah, deh." Reni bangkit dari duduk. Dengan tatapan sedikit kecewa, ia mengambil makanan itu sendiri. "Aduh..." kepala Kila mendadak terasa pening sekali. Ia melepaskan sendok yang ia genggam, tangannya beralih memegang kepala. "Kenapa, Yang?" Naufal panik. Kila menggeleng pelan. "Kila pasti masuk angin. Dan juga, setiap pagi dia muntah-muntah terus. Jadi heran lihatnya." timpah Hani. "Han, kamu beliin obat masuk angin di apotik sebrang sana gih." perintah Yuni. Ia menyodorkan 1 lembar uang berwarna merah. Kila mengibaskan tangan. "Enggak usah, Bun. Aku mau tidur aja. Fal, anterin aku ke kamar. Mau kan?" "Mau," Naufal membantu Kila berdiri. Sembari menyandar di pundak Naufal, Kila berjalan menuju kamarnya. Tubuh Kila yang sekarang sudah terbaring di ranjang, langsung Naufal menyelimutinya dengan selimut tebal agar tidak kedinginan. "Tidur ya. Jangan begadang," Naufal mengusap lembut rambut Kila. Kila mengangguk lemah. Setelah itu, Naufal langsung menutup pintu kamar itu. Naufal sudah keluar. Kila mengambil ponsel untuk melihat fotonya dengan seseorang. "Ma, apa kabar?" "Kila kangen loh," "Kalau Mama ada di sini, Kila bakal ngeluh. Pipi Kila udah chubby, Ma. Kaya anak kecil. Perut Kila juga udah mulai menonjol. Kila harus apa? Mama mau, saat Kila ngelahirin, Mama ada di samping Kila." "Rasanya lahiran kaya gimana sih, Ma? Sakit gak?" Mata Kila sekarang teralih pada foto ayahnya. "Ayah gak mau ngajarin Naufal biar jadi seorang ayah yang baik?" "Ayah maafin aku gak sih?" "Oh iya, tamparan yang Ayah kasih waktu itu berbekas banget. Tapi gak apa-apa. Kila jadi sadar kalau Kila itu salah." "Selamat malam, Mama. Ayah," Kila membawa ponsel ke dekapannya. Hanya kenangan itu yang tersisa. Kila janji. Sampai kapan pun, ia akan menunggu orang tuanya kembali. Begitu Ayah dan Mamanya kembali, Kila tidak akan marah sebab ia sadar kalau dirinya yang salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN