Naufal! Kamu sejak kapan sadar?!” heboh Kila.
Naufal menatap datar Abian. Mereka berdua kembali sengit. Naufal belum mengetahui kalau Abian sudah menyelamatkannya. Apa yang terjadi jika ia tahu?
“Ayo pergi.” Naufal menggenggam erat lengan Kila. Abian terdiam di tempat. Terlintas di benaknya, apa Naufal ayah bayi itu?
“Naufal tunggu! Lepas ih! Sakit.” teriak Kila memberontak.
“Pacar kamu itu aku atau dia?” tanya Naufal dingin.
“Kamu. Aku ngerti. Lepas dulu! Aku mau ngomong sesuatu.” rintih Kila.
“please, lepasin dia.” Abian angkat bicara. Tak tahan melihat Kila kesakitan seperti itu.
“Lo jangan ikut campur.”
“Kamu gak tau terima kasih!” gertak Kila.
Naufal membersut. “Maksud kamu?”
“Abian udah nolongin kamu kemarin. Kalau gak ada dia, mungkin aku udah dicium Geri dan Fardo terus mukulin kamu tanpa henti.” jelas Kila membuat Naufal terperangah. “sekarang, aku mau kamu suapin aku!”
*******
Tangan Kila terus melangkup di lengan Naufal. Mereka berdua sama-sama gugup. 1 malam ia tak pulang, kira-kira apa yang akan terjadi?
“Kamu siap?” tanya Kila sambil menengok wajah Kila. Naufal manggut-manggut. Tinjauan mereka kini teralih kembali pada pintu cokelat itu.
“Aku hitung sampe tiga. Di hitungan ketiga, kita harus ngetuk pintu itu. Ok—“
Belum rampung bicara, Hani muncul dari balik pintu. Mereka bertiga mematung di tempat. Tak bergeming sama sekali. Hanya saling tatap-tatapan. Mungkin, otak Hani perlu waktu untuk mencerna kejadian itu.
“Kakak,” Kila melangkah maju. Ia menyalimi tangan kanan Hani.
“Ya ampun. Kalian ke mana aja semalem ini?” akhirnya Hani tersadar. Ia menyentuh pipi Naufal berwarna keunguan. Kontan Naufal mendesis kesakitan.
“Maaf. Yuk, kalian masuk. Mama udah nungguin dari tadi.” Hani mempersilahkan. Mereka berdua mengangguk, lalu berjalan memasuki rumah megah itu.
Yuni bergegas menghampiri mereka berdua. Ia memeluk Naufal dan Kila secara bergantian, tapi tunggu. Perut Gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri terasa menonjol seperti ada sesuatu. Yuni menampik pikiran negative nya itu. Ia melepaskan pelukan.
“Kalian berdua kenapa gak pulang? Mama khawatir.” Yuni beralih menatap wajah Naufal. “Dan kamu, wajah kamu kenapa lebam kaya gitu?”
“I—ini gara-gara masalah kecil kok. Ibu tenang aja,” Naufal belum mau menceritakan segalanya. Dia tak mau membuat pikiran Ibunya terbebani.
“Jangan bohong sama Ibu, Nak.” Yuni menyeluk saku, ia mengeluarkan ponsel, lalu menunjukkan foto itu pada Naufal.
Belum sempat Naufal menjawab, Kila berlari ke kamar seraya menutup mulutnya sendiri menggunakan kedua tangan. Rasa mual itu muncul lagi. Kila tak bisa menahannya.
Ia buru-buru masuk ke kamar mandi. Lalu muntah-muntah di wastafel.
Yuni tiba-tiba datang dan memijit leher Kila.
Kila sedikit tersentak, namun ia tetap melanjutkan muntah-muntahnya. Setelah itu, dia bersandar lemas di wastafel.
"Kamu... hamil?" tanya Yuni tiba-tiba.
Kila menggeleng cepat. "A...aku cuma kecapean aja kayaknya, Bun." bohongnya. Ia belum mau menberitahu kehamilannya.
"Jangan bohong. Bunda ini udah punya tiga anak. Dan juga satu bulan ini, kamu muntah-muntah setiap pagi. Waktu Tante peluk kamu, Tante ngerasa perut kamu itu membesar." Yuni menyentuh perut Kila. Ia mengelusnya perlahan. "Calon cucu Bunda baik-baik di dalam sana ya."
Kila tergemap. Cucu? Berarti Yuni sudah mengetahui siapa ayah bayi ini?
"Maafin Bunda ya. Selama ini Bunda gak peka kalau kamu itu lagi hamil." lanjut Yuni.
"Bunda... tau bayi ini anaknya..."
"Anak Naufal. Iya kan? Ka--kapan Naufal cerita itu ke Bunda?"
Flashback on
Setelah selesai menyajikan sarapan untuk anak-anaknya, Yuni pergi ke kamar Kila untuk merapihkan kamar, siapa tahu kondisi kamar itu berantakan. Tetapi pikirannya salah. Ruangan itu sangat rapih sekali.
Mendadak Yuni ingin buang air kecil. Ia masuk ke kamar mandi. Masih di dalam kamar Kila. Begitu selesai, Yuni keluar. Matanya tak sengaja menangkap sebuah benda kecil di wastafel. Dahinya membersut. Kala sudah dekat, Yuni tambah heran. Ia melihat jamu yang tadi ia berikan terlhat berceceran. Sepertinya sengaja dibuang.
Tangan gemetar Yuni mengambil testpack. Iya, benda yang dilihat Yuni tadi adalah testpack. Terpampang dua garis merah di sana.
Yuni hampir saja ambruk. Ia berpegangan di tepi wastafel untuk menopang tubuhnya.
"Ibu ngapain di sini?" Naufal menatap bingung ibunya. Yuni langsung mencengkram kuat bahu Naufal.
"Jawab ibu! Ini..." Yuni mengangkat testpack itu tepat di depan kedua mata Naufal. "Bukan ulah kamu kan?"
Naufal menunduk.
Yuni menganggap diam itu 'iya'.
Plak!
"Kamu anak kurang ajar!"
"Kenapa kamu lakuin hal itu, hah?!"
"Ibu tidak pernah ngajarin itu ke kamu! Kamu... kenapa tega merusak masa depan Gadis itu,"
"Kila udah Ibu anggap sebagai anak sendiri. Tapi yang kamu lakuin itu benar-benar di luar dugaan Ibu!"
"Kamu berengsek, Naufal!"
"Jawab Ibu!" Yuni mengguncang-guncang bahu Naufal. Puteranya itu diam menunduk.
"Aku waktu itu gak sadar. Naufal dijebak." lirih Cowok itu penuh penyesalan. "Tolong jangan marahi Kila, Bu. Dia bisa terbebani pikirannya nanti. Itu gak baik buat bayinya."
"Ibu kecewa sama kamu. Kamu... harus nikahi dia habis lulus nanti."
Flashback off
Sehabis mendengar cerita itu, Kila merintih kesakitan.
"Kenapa, Nak?" tanya Yuni panik.
"Punggung sama perut aku nyeri, Ma." rintih Kila.
"Ya udah. Kamu istirahat. Jangan berangkat sekolah dulu." Yuni menuntun Kila menuju kamar. Ia membaringkan tubuh Gadis yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri.
"Udah cek up untuk bulan ini?"
Kila mengangguk. "Kemarin udah, Bun. Ini kenapa rasanya sakit banget? Bayi aku gak pa-pa kan, Bun?"
Yuni menggeleng. "Ini wajar, sayang. Bunda juga ngerasain waktu hamil Hani." ujarnya membuat Kila tenang. "Di usia tiga bulan, bayi kamu masih rentan. Kamu gak boleh kelelahan. Kamu mau kan, berhenti sekolah?"
Kila tak terlalu terkejut. Ia sudah menyangka ini akan terjadi sebelumnya dimana dia harus berhenti sekolah demi bayi yang dikandungnya.
Masa depannya benar-benar sudah hancur.