PART 67

955 Kata
Yuni tengah berkutat dengan laptopnya. Walaupun sudah larut malam seperti ini, dia sama sekali tak ada niatan untuk tidur. Pekerjaannya di kantor tadi juga belum selesai. Di sisi lain, dia khawatir sebab Naufal dan Kila belum juga pulang. “Ma, gimana kalau kita lapor aja ke polisi?” tanya Hani mendadak sudah ada di samping Yuni. “Nanti dulu, sayang. Belum 24 jam.” sahut Yuni. Ia berusaha menenangkan anaknya sendiri meskipun ia sedang tidak tenang. “oh iya, kamu udah nelefon teman Naufal atau Kila?” “Udah, Ma. Katanya Naufal sama Kila udah pulang kok.” Yuni menutup laptopnya. Ia sudah tidak bersemangat lagi untuk bekerja. “Mereka kenapa gak bilang ke Mama kalau mau pergi? Ini udah kedua kalinya. Mama cukup kecewa,” air mata Yuni turun membasahi pipi. Yuni segera menghapus air mata tersebut. Ia kemudian melemparkan senyum pada Hani. “Kamu tidur aja. Besok mau daftar ke universitas kan? Kamu gak boleh kurang tidur,” “Hani gak bisa tidur, Ma. Masa Hani tega biarin Mama begadang sendirian.” “Tidur, Hani...” “Gak, Ma.” “Nanti kamu bisa sakit.” “Biarin, Ma.” Yuni menghela nafas. “Kamu keras kepala banget ya. Persis seperti ayah kamu.” Suara notif chat membuat pandangan keduanya refleks mengarah ke ponsel. “Coba liat, Ma. Siapa tau aja, itu chat dari Kila,” Yuni langsung memencet notifikasi itu. Bukan teks yang muncul, tapi sebuah foto. Dengan ragu-ragu Yuni membuka foto tersebut. Kontan dia membekap mulutnya sendiri. Di foto itu, Naufal sedang terbaring lemah dengan seragam yang terdapat bercak-bercak darah. Di sana juga... ada murid yang memukuli puteranya. Yuni tak bisa melihat siapa pelakunya sebab mukanya di blur. Detik kemudian, sebuah pesan muncul lagi. Pengirimnya masih sama. Nomor yang tak dikenal. [Suruh anakmu menjauhi Kila jika dia tidak ingin babak belur lagi seperti di foto itu. Hahaha] Yuni berteriak histeris meneriaki nama Naufal. Ponsel itu tergeletak di lantai setelah Yuni membantingnya. Hani terbelalak kaget. Ia bergerak sigap menahan tubuh ibunya yang hendak jatuh. “Ada apa? Ada apa?” tanya Reni penasaran. Tadinya ia sudah tidur, tapi teriakan ibunya terdengar membuat matanya terbuka lebar. “Bantu kakak!” Dengan susah payah, Hani dan Reni membawa Yuni masuk ke dalam kamar. Usai selesai, Hani menarik langkah ke ruang tengah untuk mengambil ponsel. Reaksi Ibunya wajar. Orang tua mana yang tidak histeris jika dikirimi foto seperti itu. Hani tersentak, tetapi sebisa mungkin ia mengontrol dirinya sendiri agar tak luruh ketika itu juga. Hani menelefon pengirim foto itu. Ia berjanji, tak akan membiarkan orang itu lepas. 40 detik, panggilan tidak dijawab. Hani mencoba menelefon lagi dan lagi sampai 10 kali! “Hih! Ngartis banget sih, ini orang!” gerutu Hani kesal. Niatnya untuk membanting ponsel itu, ia urungkan mengingat ada bukti teror di sana. “Kakak! Mama udah sadar!” Hani spontan berlari ke dalam kamar lagi. Di sana, ibunya sedang duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat. "Kila... Naufal... ibu mohon, besok cari mereka, Han. Bila perlu, lacak nomor itu." pinta Yuni dengan suara parau sekaligus gemetar. Hani mengangguk. "Aku gak akan biarin orang itu lolos, Ma." tekadnya. ********** Sudah satu malam Naufal menginap di rumah sakit. Dari malam, Kila sama sekali tidak tidur. Kantung mata Gadis itu kini berwarna hitam. "Kil, lo harus istirahat. Mata lo kaya mata panda." ucap Abian. Kila menggeleng seraya tersenyum paksa. "Gak, Bian. Gue mau nungguin dia sadar." "Tapi kan--" Jari telunjuk Kila menyentuh bibir Abian membuat Cowok tersebut seketika mengatupkan bibir. Abian tersenyum. Ia menurunkan tangan Kila. "Mau gue beliin makanan?" "Boleh." Abian segera beranjak. Demi Gadis yang ia sukai, dia rela menyelamatkan Naufal--cowok yang ia benci. Dia juga rela menginap semalaman di rumah sakit. Punggung Abian telah menghilang. 15 menit berikutnya, kepala Kila mendadak berdenyut nyeri. Pandangan di sekitarnya menjadi kabur dan tak jelas. Ekor matanya melirik Naufal tepat sebelum dirinya pingsan ketika itu juga. Hari masih pagi buta sehingga warung yang ada di rumah sakit belum begitu ramai. Abian membawakan 3 bungkus makanan yang digabung dalam satu plastik hitam. Senyum di bibirnya perlahan menghilang melihat Kila terjatuh pingsan. Dia langsung membopong tubuh ramping Gadis itu menuju keluar untuk meminta bantuan. "Dok! Suster! Dia pingsan!" Tak membutuhkan waktu lama, dua orang suster keluar dan mengarahkan Abian untuk membawa Kila ke suatu ruangan. Selama pemeriksaan, Abian maju mundur tak jelas. Ia begitu khawatir. Takut terjadi apa-apa. "Kamu... temannya?" tanya sang Dokter yang baru saja keluar dari ruangan. "Iya, Dok. Dia gak pa-pa?" "Dia kelelahan sekaligus mengalami tekanan sepertinya. Di usia kehamilannya yang tiga bulan, seharusnya pasien tidak boleh kelelahan dan tertekan seperti itu." Abian mematung di tempat. Katakan kalau perkataan dokter tadi hanya lah halusinasi dirinya yang sama sekali tidak benar. Bibir gemetar Abian perlahan mengatakan, "A--apa, Dok? Dia... hamil?" "Loh, kamu tidak tau? Saya kira, kamu pacarnya." Dokter itu menghela nafas. Tanpa mengatakan apa pun, Abian berlari ke dalam. Di sana Kila masih tidak sadarkan diri. “Dia anak siapa, Kil? Kenapa lo hancurin harapan gue buat miliki lo?” Abian duduk di tepi ranjang. Seraya memegang lengan Kila, Abian menangis. “Gue sayang dan cinta sama lo, tapi lo tega. Lo ngelakuin hal lebih sama Cowok lain.” isak Abian. “Kenapa gue gak tega buat marah ke lo, hm? Lo padahal bukan orang spesial buat gue.” Merasa rambutnya di usap, Abian melengak. Kila tersenyum sendu ke arahnya. “Maaf udah ngerepotin lo,” ucap Kila lirih. “Enggak.” Kila berusaha untuk bangun. Abian segera membantu. Bagaimana pun juga, dia masih punya rasa kemanusiaan. Di dalam hatinya tidak akan pernah ada niat untuk menyakiti bayi itu. “Lo makan ya? Lo dari kemarin Cuma makan satu kali kan?” “Dua. Sarapan sama waktu istirahat. Tapi sore sama malam kemarin gak makan jadinya pingsan kaya gini,” ujar Kila cengengesan. “Bahaya buat kesehatan lo. Mau gue suapin atau makan sendiri?” “Makan sendiri aja. Masa iya, udah gede kaya gini masih disuapin,” “Kalian berdua... kenapa ada di sana?” Kila tersenyum sumringah. Ia sangat mengenal suara itu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN