"Bunda tau, ini berat banget buat kamu. Tapi mau bagaimana lagi. Perut kamu semakin hari makin membesar. Kalau kamu maksa tetap sekolah, teman-teman kamu bisa curiga. Dan lebih buruknya lagi, kamu ngalamin keguguran." ujar Yuni berupaya agar Kila yakin untuk berhenti sekolah.
"Tapi Naufal gimana? Dia ikut berhenti sekolah juga?" tanya Kila lemah.
"Enggak. Dia akan tetap sekolah. Setelah lulus, Naufal akan jadi penerus di perusahaan Bunda. Dan saat itu juga, kamu bakal nikah sama dia." Yuni mengangkat sudut bibir. "Jadi, kamu mau berhenti sekolah?"
Kila menganggut layuh.
"Makasih, sayang. Kamu udah berkorban. Kalau aja Naufal gak ngelakuin itu ke kamu pasti ma--" Kila langsung memegang lengan Yuni seraya menggeleng. "Jangan ngomong kaya gitu, Bun. Mungkin takdir Kila seperti ini," ucapnya.
"Bunda bakal siapin bubur buat kamu ya. Kamu jangan pergi ke mana-mana. Okay?"
"Gak akan Bunda,"
Yuni mengusap rambut Kila sekilas. Ia kemudian pergi dari kamar tersebut. Selang waktu tak lama, Naufal datang. Ia meninjau Kila dengan wajah buncah.
"Kamu gak berangkat sekolah? Kamu sakit apa?" Naufal meletakkan telapak tangannya di dahi Kila. Ia meraba-raba kening tersebut. Suhunya biasa saja. Tidak panas sama sekali.
"Aku gak demam, Fal. Punggung sama perut aku nyeri. Sakit."
"Kita ke dokter yuk." ajak Naufal langsung dibalas oleh gelengan kepala Pacarnya itu.
"Tapi kan--"
"Kata Bunda, ini wajar. Kamu berangkat sekolah sana. Sebentar lagi udah mau masuk loh," bibir pucat itu kini tersenyum sendu pada Naufal.
Naufal menjadi khawatir. "Aku gak mau sekolah tanpa kamu. Apa jadinya kalau gak ada kamu?"
"Kamu gak boleh gitu. Setelah lulus nanti, kita akan nikah."
"Aku nggak bisa. Aku nungguin kamu aja di sini." Naufal tetap bersikukuh membuat Kila berusaha untuk sabar.
Jemari Kila menggenggam hangat lengan Naufal. "Ini permintaan bayi kamu. Kamu gak mau ngabulin permintaan dia?"
Naufal akhirnya mengangguk. Jika menyangkut tentang darah dagingnya, ia luluh. "Oke, aku pergi ke sekolah. Nanti aku buat surat izin." Naufal mengelus perut Kila, kemudian menciumnya cukup lama. "Papa pergi dulu ya? Jangan buat mama kamu repot,"
****
"Sekar Antasari..."
"Hadir, Pak!"
"Jaya Tristano.."
"Hadir!"
"Naufal Givano..."
"Hadir, Pak."
"Alesya Kilatha Aurora..."
"Tidak hadir, Pak." sahut Naufal. Sang guru mengangkat satu alis.
"Kamu punya surat izinnya?"
Naufal maju ke depan. Ia menyerahkan secarik kertas. Sebenarnya surat itu ditulis oleh tangannya sendiri. Semoga saja guru itu tidak curiga.
Begitu Naufal duduk, Dania membalikkan badan ke belakang. "Kila sakit?"
"Iya."
"Sakit apa? Kok lo tau? Kok suratnya ada di lo?"
"Kok lo kepo?" Naufal meledek membuat Dania mendecak sebal. Ia menghadap ke arah papan tulis kembali. Lihat saja, nanti istirahat dia tak akan membiarkan Naufal lepas.
*****
“Gue yang duduk duluan!”
“Aku!”
“Minggir! Dasar cewek sok polos!”
“Kamu yang minggir!”
“Kimi ying minggir!”
Naufal menatap malas kedua Gadis yang ada di depannya. Sifat mereka sangat kekanak-kanakan. Naufal tidak suka itu. Jika Kila yang bersikap seperti anak-anak, mungkin Naufal malah suka.
“Yang waras ngalah.” ujar Naufal.
Mereka berdua spontan terhenti.
“Kalian mau ngomong apa? Buruan. Sebelum bel istirahat berbunyi dan murid lain ke sini,” lanjut Naufal. Mereka bertiga memang ke kantin sebelum bel berbunyi dengan alasan, akan ke kamar mandi.
“Aku Cuma mau kasih bekal ini ke kamu, Fal.” Lusi meletakkan kotak makanan tepat di hadapan Naufal.
Naufal mengangguk sekali. Ia menggeser kotak itu ke dekatnya.
“Muka kamu kenapa, Fal? Kayaknya parah deh. Kita ke UKS yuk,” lanjut Lusi. Naufal menggeleng. Ia sudah tahu, Fardo memukuli dirinya bukan tanpa sebab melainkan ia telah membuat Lusi kecewa karena telah mengakui Kila sebagai pacar di depan semua orang kemarin.
“Udah selesai kan? Minggir sana.” Dania menabrak tubuh Lusi begitu saja. Ia tak peduli jika Gadis itu marah atau tidak. Karena sekarang, ia sudah bisa silat!
“Kamu kasar banget,” Lusi terpaksa pergi dari sana. Kakaknya itu menghajar Naufal secara keterlaluan alias tidak seperti yang ia perintahkan. Lusi ingin Fardo menampar Cowok yang disukainya sekali saja, tapi lihat. Seluruh wajah Naufal lebam. Hanya kening saja yang tak lebam.
“Lo mau ngomong apa?”
“Gue mau ajak lo jenguk Kila habis pulang nanti. Lo gak ada urusan nanti kan?”
Naufal menelan kasar ludahnya. Ia bingung harus berkata apa. Tidak mungkin dia memberitahu yang sebenarnya sekarang.
“Fal? Kok lo bengong?”
“Gak. Gue ada urusan nanti.” tolak Naufal mentah-mentah.
“Iya udah. Lo tau alamat rumah barunya Kila kan? Kasih gue alamatnya dong. Gue mau liat keadaan dia.”
Naufal tergemap. Seseorang, tolong lah dirinya agar bisa lepas dari pertanyaan Dania! Ia tidak mau seorang tahu tentang kehamilan pacarnya itu selain dia dan keluarganya.
“Ye, bengong lagi!” gertak Dania membuat Naufal tersentak dan lamunannya buyar.
“Gue balik ke kelas dulu.”
“Eh, eh. Tunggu. Lo belum kasih tau alamatnya!” teriak Dania. Naufal acuh, ia melangkah secepat mungkin.
“Dasar anak aneh!”
Lusi yang bersembunyi dan sedari tadi mendengar pembicaraan mereka langsung merasa curiga. Hari ini, Naufal terlihat aneh. Cowok itu tak mau membuka suara untuknya walaupun ditanya. Dan juga, ketika Dania menanyai sesuatu tentang Kila pada Naufal, reaksi Naufal terlihat terdiam seperti menyembunyikan sesuatu.
“Gue bakal bongkar semuanya!”