Teriakan melengking itu Kila sangat mengenalnya. Ia mengalihkan pandangan ke pintu kelas. Dania tampak sedang berdiri di ambang pintu, bersiap-siap lari untuk memeluk sahabatnya.
Tapi, Naufal berdiri tepat di depan Kila membuat Dania memeluk dirinya. Tujuan Naufal satu, ia ingin melindungi pacar dan bayinya itu.
Dania ingin protes, tetapi tak bisa. Degup jantungnya berdetak dengan tempo cepat! Dania jadi panas-dingin. Ya ampun! Ada apa dengan dirinya? Kenapa pelukan yang tidak disengaja ini terasa nyaman.
“Lo salah orang.” ucap Naufal membuat Dania tersadar. Cewek itu dengan cepat menjauhkan tubuhnya.
“Lo kenapa sih, halangin gue?!” tanya Dania ngegas.
“Kila lagi gak enak badan. Lo jangan asal peluk dia.” tandas Naufal.
“Lo sakit apa? Selama dua bulan ini lo ke mana aja? Kenapa lo sama sekali gak nelefon gue?” Dania memegang lengan Kila. Ia memperhatikan tubuh temannya dari bawah sampai atas.
“Gue permisi dulu,”
Kila ingin sekali mengikuti Naufal. Tapi Dania sedang menginterogasinya sekarang. “Nanti gue ceritain waktu istirahat ya.”
Dania mengangguk cepat.
“Kilaa!”
Yang dipanggil tersentak. Itu suara Dasha. Ya Tuhan, Kila tak mau dimarahi pagi ini. Ia pura-pura tidak mendengar. Kila melanjutkan langkah, namun Dania menahannya.
“Dasha mau ngomong sama lo,” ujar Dania.
“Tapi—“
“Lo apa kabar? Astaga. Gue kangen. Gue gak nyangka lo masuk hari ini. Waktu lo hilang, gue ngadain sayembara biar lo ketemu.” cerocos Dasha kala sampai di depan Kila kemudian memeluk Gadis itu.
Sungguh! Kila terheran-heran. Ia tak menyangka Dasha sudah berubah dan menjadi temannya kembali. Dari sorot matanya, Kila sama sekali tak melihat kebencian.
Kila hanya bisa tersenyum kikuk. Mereka kemudian masuk ke kelas. Melaksanakan ujian yang sebentar lagi akan berlangsung.
***
“Kalian tau gak sih? Raini hamil!” lirih Dania, tapi penuh penekanan. Dia takut murid-murid di dekat mereka mendengarnya. Mereka bertiga kini sedang di kantin.
Dasha spontan membulatkan mata.
“What?! Lo serius?” heboh Dasha.
“Uhuk... uhuk...” Kila tersendak. Dengan sigap dia meminum air putih sampai habis.
“Si Kila udah kaya nenek-nenek aja. Pake batuk segala.” sindir Dania langsung mendapat tatapan tajam dari Kila.
“Heh, itu kronologinya gimana dong?! Terus udah hamil berapa bulan? Nasibnya gimana? Dia dikeluarin dari sekolah? ” cecar Dasha.
“Lo kalau nanya satu-satu dong. Raini hamil lima bulan dan yang hamilin dia itu Farhan. Selama ini, gue curiga kenapa Raini selalu pakai jaket. Ternyata alasannya itu toh.”
“Lo belum jawab pertanyaan gue!” rengek Dasha.
“Pertanyaan mana?”
“Kronologinya kaya gimana? Kok Raini bisa hamil? Gue denger, kalau perempuan lagi hamil pasti disayang pasangannya kan? Gue juga pengin hamil nih. Siapa tau aja, Abian jadi sayang ke gue.” lirih Dasha malu-malu. Detik kemudian, jitakan mendarat di kening Dasha. Siapa lagi kalau bukan Dania pelakunya.
“Bukan sayang yang lo dapat, tapi masa depan lo hancur. Zaman sekarang harus sekolah tinggi, dapet pekerjaan layak, baru nikah. Lah, lo malah mau hamil duluan. Ih, gelay.” respons Dania menohok.
“Iya, tante. Iya.” Dasha mencebikkan bibir.
“Gue bukan tante lo.” mata Dania tak sengaja menangkap sosok Raini sedang duduk bersama Farhan. “Eh, itu orangnya.” tutur Dania berbisik.
Dasha mengikuti arah pandang Dania. Benar, ada Raini dan Farhan duduk tak jauh dari bangku Mereka.
Kila ikut-ikutan menengok. Dia dan Raini sama. Sama-sama memakai jaket, sedang mengandung, dan hamil di luar nikah.
“Wah!”
Perkataan Dania membuat Dasha dan Kila penasaran.
“Kenapa lo?” tanya Dasha.
“Lo hamil ya?!” todong Dania menatap wajah Kila yang tergemap. Kila mencoba menelan ludah.
“Ng-nggak lah. Ngaco lo. Lagian gue kan belum punya pacar. Lo gimana sih.” sebisa mungkin, Kila tak ingin terlihat gugup.
“Gue bercanda. Biasa aja kali ekspresinya,” ujar Dania menyesal.
“Gue mau ke toilet dulu ya.” pamit Kila seraya tersenyum.
“Ya udah sana. Cepet balik lagi ke sini,” peringat Dasha langsung dibalas anggukan oleh Kila.
Sesampainya di belokan, Kila berjalan ke perpustakaan. Dia ingin bertemu Naufal sekarang. Terpaksa ia berbohong pada kedua sahabatnya daripada ia rahasianya terbongkar.
“Naufal, aku mau bicara.” Mendengar suara Kila, Naufal kontan mendongak. Ia menutup buku yang sedari tadi dia baca.
“Kita bicara di rooftop sekarang.” Kila melanggang pergi terlebih dahulu. Naufal lantas mengikuti Kila dari belakang.
Suasana rooftop begitu sepi. Maklum, hari ini hari ujian. Semua murid bandel yang biasa nongkrong di tempat itu mungkin sudah insyaf dan memfokuskan diri untuk belajar.
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Naufal to the point.
Kila tiba-tiba memeluk Naufal. “Gimana masa depan kita nanti? Apa setelah aku lahiran, kamu bakal berhenti sekolah atau lanjut?”
“Kenapa kamu ngomong kaya gitu? Apa ada seseorang yang buat kamu berpikir terlalu jauh?” Naufal menanya balik.
“Aku butuh jawaban bukan pertanyaan, Fal.” ujar Kila dengan suara parau. Masih di dalam dekapan Naufal.
“Aku akan sekolah sampai lulus. Setelah itu, aku bakal jadi penerus perusahaan Ibu aku.”
“Tapi pendidikan kamu...”
“Aku bakal pikirin soal itu nanti. Kamu jangan mikirin hal yang buat kamu gelisah, oke? Gak baik buat anak kita.” Naufal membalas pelukan.
Mereka berdua akan menghadapi resiko bersama-sama. Walaupun banyak duri bertebaran di jalan yang Keduanya lalui, Naufal tidak akan meninggalkan Kila sendirian. Ia sudah diajarkan untuk bertanggung jawab oleh mendiang ayahnya.
Abian yang baru saja sampai di rooftop untuk menghindari Dasha, ia dikejutkan dengan penampakan sosok Naufal dan Kila sedang berpelukan begitu erat. Abian mengepalkan tangan kuat-kuat. Ia tahu, Naufal itu cowok b******k. Ya, Abian menyimpulkan itu setelah melihat insiden halaman belakang rumah sakit. Dia tak mau Kila disakiti oleh Naufal. Dengan penuh emosi, Abian menarik lengan Naufal lalu meninju Cowok itu cukup keras.
“Naufaal!” pekik Kila histeris.
“Gue gak akan biarin lo nyakitin dia!”
Satu tinju mendarat lagi.
Naufal memegangi sudut bibirnya yang sudah robek hingga mengeluarkan cairan merah.
Tidak cukup dua kali, Abian terus meninju Naufal tanpa henti. Naufal terkapar tidak berdaya dengan nafas yang memburu. Wajah tampan itu sudah lebam keunguan, sudut bibirnya sudah mengeluarkan banyak cairan merah bahkan tangan Abian sendiri sampai berbunyi ‘krek’ ketika memukul Naufal.
Badan Kila gemetar ketakutan. Keringat bahkan sudah mengucur deras dari keningnya. Ia memegangi perut, semoga saja bayinya tidak apa-apa karena dirinya begitu panik.
“ABIAN STOP! KALAU GAK, GUE BAKAL LOMPAT!” ancam Kila sembari melangkah mundur.
Abian terhenti. Ia melepaskan cengkraman tangannya pada kerah seragam Naufal. “Jangan nekat, Kil.” ia melangkah mendekati Kila membuat Gadis itu mundur.
“Jangan deket-deket gue! Kenapa lo pukul dia?!”
“Dia itu cowok b******k. Dia gak cocok buat lo. Gue gak mau lo disakiti.” Abian berusaha mendekat.
“Naufal itu cowok baik-baik. Justru lo yang b******k! Lo sia-siain orang yang cinta banget sama lo. Lo bahkan pernah nampar gue. Cowok baik-baik gak pernah angkat tangannya ke cewek.”
Perkataan Kila sukses membuat Abian mematung. Benar apa kata Gadis itu.
“Gue min—“
“Gue kira, lo udah berubah, tapi ternyata enggak! Lo tetap laki-laki b******k kaya dulu!” potong Kila. Tangannya terus memegangi perut membuat Abian sedikit heran, tapi ia berusaha menampik pikirannya yang tidak-tidak.
“Gue kecewa sama lo. Mulai detik ini, gue mohon,” Kila mengatupkan tangan membuat Abian menggeleng pelan. “jangan bersikap seolah gue pacar lo. Gue bisa lindungin diri sendiri. Gue tau, mana cowok b******k dan mana cowok baik-baik.” setelah mengatakan pernyataan pahit itu, Kila melangkah maju, ia menyenggol kasar bahu Abian lalu menghampiri Naufal.
“Lo enggak apa-apa kan? Ada yang sakit? Kita ke UKS yuk biar gue obatin luka lo.” ucap Kila panik. Ia membantu Naufal berdiri dan menuntun Cowok itu.
Abian runtuh saat itu juga. Apakah ini yang Dasha rasakan? Rasa saat ditolak oleh seseorang yang paling dicintai demi orang lain. Abian hanya ingin membuat Kila tidak menangis di kemudian hari karena disakiti oleh tipe Cowok seperti Naufal. Mengapa dirinya malah dibenci? Apa dia salah?
***
“Sshh...” Naufal meringis kesakitan saat Kila menempelkan obat ke wajah lebamnya.
“Sakit?”
“Iya,”
“Mampus.” Respons Kila membuat Naufal terbelalak.
“Eh, kok kasar? Kamu diajarin siapa?” tegur Naufal sama sekali tak terpancing emosi.
“Aku Cuma bercanda, Yang. Kamu serius banget ih.” Kila terkekeh tak berdosa.
“Beneran?” Naufal memajukan wajah. Kila spontan mundur, menjauh dari Naufal dengan kepala menunduk. Semburat merah tercetak di pipi Kila.
“Sana.” pinta Kila sambil mendorong tubuh Naufal.
“Kamu can—“
“Naufal! Kamu enggak apa-apa?!”