PART 59

1070 Kata
Awan masih berwarna kelabu. Matahari belum muncul menerangi bumi. Di jam 5 pagi, mungkin adalah jam dimana semua orang masih tertidur. Hal itu tidak berlaku pada Gadis berambut hitam sepunggung, Kila. Dia sudah bersiap-siap ke perusahaan Ayahnya. Siapa tahu, ia bisa menemui Ibu dan Ayahnya di sana. Kila yang tidak ingin diserang pertanyaan bertubi-tubi, berjalan pelan sekali tanpa menimbulkan suara agar seisi rumah tidak bangun. “Kamu mau ke mana?” Kila acuh pada pertanyaan itu. Dia kembali melanjutkan jalan. “Jawab gue.” Sebuah tangan memegang lengan kurus Kila. Kila merotasikan bola mata. “Bukan urusan lo. Lepasin tangan gue gak?!” “Gak akan sebelum kamu jawab pertanyaan aku.” “Lepas atau gue bakal teriak dan bilang kalau gue lagi hamil gara-gara lo.” ancam Kila. “Teriak aja. Ini kesempatan buat kita ngasih tau segalanya malah.” “Oke, gue bakal teriak kalau gue hamil anak lo.” Kila berdeham beberapa kali. Cup Kecupan mendarat di pipi Kila. Refleks Kila mengurungkan niatnya untuk berteriak. “Minggir.” Kila mendorong tubuh Naufal ke samping agar tidak menghalangi jalannya. Dia memilih tak menanggapi ulah Naufal, ia tidak mau mengulur waktu lebih lama lagi. “Gue ikut.” Naufal mengejar Kila yang sudah keluar dari rumahnya itu. Dia takut Kila akan pergi lagi. Gadis itu tidak merespons sama sekali. Kila mempercepat langkah. Ia menuju garasi, masuk ke dalam mobil. Naufal menggedor-gedor jendela mobilnya terus menerus tanpa henti. “Kila! Tunggu aku! Biarin aku masuk.” mohon Naufal. Kila berusaha menahan dirinya agar tak peduli. Mengingat foto yang dikirimkan Abian membuat hati Kila berkecamuk. Mobil Kila melesat jauh begitu saja. Ia lihat dari kaca samping mobilnya, Naufal berlari mengejarnya. Kila langsung menambah kecepatan mobil membuat Naufal tertinggal. Sesampainya di sebuah gedung menjulang tinggi sekaligus amat besar, Kila turun dari mobil. Dia meninjau gedung itu sejenak. Sudah 5 bulan ia tak mengunjungi perusahaan ayahnya. Alasannya begini, Kila tidak mau ke tempat membosankan seperti kantor yang dipenuhi laptop dan orang-orang gila kerja. Kila menarik nafas panjang, menghembuskan pelan-pelan. Kakinya melangkah ke dalam perusahaan itu. Seolah tahu siapa yang datang, para karyawan dan staf di sana kompak membuka jalan sambil membungkuk. Mereka sudah sangat menjunjung tinggi dan menghormati bosnya apalagi anak bosnya yang notabennya akan menjadi penerus perusahaan ini. Sudah pasti Mereka bersikap lebih hormat. Kila tersenyum singkat agar para karyawan tidak begitu tegang. Hingga tibanya Kila di ruang kerja ayahnya. Ketika dia masuk ke dalam, tidak ada siapa pun. “Ayah saya ke mana? Dia belum berangkat?” tanya Kila pada salah satu karyawan perempuan yang ada di sana. “Mohon maaf sebelumnya, Nyonya Muda. Pak Edwin sedang ada perjalanan bisnis keluar negeri.” Spontan Kila terkejut. “Ayah saya akan kembali kapan?” “Untuk pertanyaan itu, saya belum tahu. Pak Edwin tidak memberitahu saya.” Bahu Kila merosot. Jika Ayahnya pergi untuk perjalanan bisnis, pasti ibunya ikut. Mengingat ayahnya tipe orang yang tak bisa jauh dari istri. Kila tahu akan hal itu. Terbukti saat dia ditinggal di rumah bersama Alden untuk perjalanan bisnis. Kila masuk ke dalam mobil. Dia ingin menuju ke rumahnya sekarang. Siapa tahu, ada Bi Surti sehingga dia bisa menanyakan tentang orang tuanya selama ia pergi. Rumah, tempat ia tumbuh kini terlihat sepi sekali. Tak ada satpam, Pak Tejo—tukang kebun, atau pun Bi Surti. Bayang-bayang Alden kini muncul. Di halaman depan rumah tepat di bangku yang diletakkan di sana, Alden biasanya duduk sembari menggambar setiap pulang sekolah. Di pintu, ia dan Alden rutin menyalami tangan Ibunya. Banyak kenangan yang ditinggalkan oleh adik kecilnya itu. Kini rasa bersalah itu muncul lagi. Tanpa sadar air mata Kila jatuh membasahi pipi. Jari telunjuknya memencet tombol bel. Ia tak sabar ingin memeluk Ibunya. Ia juga ingin sekali meminta maaf bila perlu berlutut di depan ayahnya. Sudah ke lima kali dia memencet bel itu. Tak ada sahutan. Mata Kila mengedar mengamati setiap sudut luar rumahnya. Sepi sekali. Kila sangat tidak menyukai suasana ini. “Mereka udah pergi.” Itu suara Naufal. Ekspresi Kila berubah datar. “Lo sekarang jadi penguntit ya?” sinis Kila tak suka. “Jangan capek-capek nyariin orang tua lo. Gak baik kalau lo kelelahan.” Naufal hendak meraih lengan Kila saat Gadis itu sudah ada di depannya. Kila memundurkan tubuhnya. “Pulang, Sayang. Kamu dari tadi pagi belum makan kan? Mau makan di rumah atau di resto?” “Gue gak laper.” sahut Kila dingin. “Tapi bayi kamu yang laper. Sama aja kamu nyiksa anak kecil gak berdosa sekarang.” Mau tak mau Kila harus mengalah. “Sini makanannya. Setelah itu, lo pergi atau gue gak bakal makan sampai malam!” ancamnya begitu ekstrim. Kila hanya mengancam saja agar Naufal pergi. Ia mana tahan tidak makan selama itu. Naufal melangkah ke jok motornya. Ia membuka jok itu, kemudian mengeluarkan satu bungkus plastik hitam berisi makanan kotak yang ia beli lengkap dengan buah-buahan dan juga minuman. Kila menerima. Ia membuka plastik itu mendadak rautnya cemberut. “Kenapa? Ada yang salah atau kurang?” “Gorengan mana? Kok gak ada?” dongkol Kila. “Nggak boleh makan yang berminyak. Gak bagus buat orang hamil.” “Halah! Ngeles. Gue mau gorengan! Gorengan! Gorengan!” Kila protes. Ia mengucapkan kata itu berulang kali membuat telinga Naufal serasa pecah karena suara cempreng Kila mengiang cukup keras di gendang telinganya. “Gak boleh.” “Gorengan!” “Gak.” “Naufal! Nanti bayi ini ileran!” “Gak bakal. Itu Cuma mitos.” “Tapi kenyataan ih!” “Terserah. Buruan makan.” “Gak mau!” “Gak suka. Gelayy.” lanjut Naufal menirukan suara cewek. Kila terkekeh pelan. Deretan gigi Gadis itu nampak. “Nah, gitu dong. Senyum.” Naufal lega sekali melihat Kila tersenyum menggemaskan seperti tadi. Eh, tunggu. Mereka tadi pagi bertengkar, tapi sekarang? Keduanya malah bertingkah seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kila juga, ia seakan melupakan foto Naufal bersama Lusi yang dikirim oleh Abian. “Kamu udah gak marah?” Kila menggeleng. “tapi aku mau tanya sesuatu,” “Tanya apa, sayang?” “Kamu... pacaran sama Lusi? Kenapa kalian pelukan di halaman belakang sekolah?” hati Kila mendesir perih ketika mengingat foto itu. Sebisa mungkin ia berusaha bertahan. Tak boleh rapuh. “Aku peluk dia karena rasa bersalah bukan rasa sayang, La. Dia nangis pertama kali gara-gara gue.” “Tapi kan, kamu bisa minta maaf dengan cara lain. Bukan dengan cara itu. Tadinya aku gak akan berbicara, ketemu kamu, dan tinggal di rumah kamu lagi. Tapi, sekarang kamu datang lagi dan beri kepercayaan yang udah hilang. Perasaan ini aneh, Fal. Aku gak bisa lama-lama benci kamu. Hati aku mendorong aku buat maafin kamu,” jelas Kila dengan suara gemetar. Naufal langsung menarik Kila ke pelukannya. Ia mengusap rambut Gadis itu dengan penuh kasih sayang. “Aku punya satu permintaan. Kamu bisa ngabulin?” tanya Kila masih di dalam dekapan. “Aku mau kita—“ “Pacaran?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN