Sudah dua hari Dara dirawat di rumah sakit. Dan Ken belum menjenguknya lagi sejak terakhir kali pria itu menemaninya di rumah sakit, hanya Supri, sopir mereka yang selalu menunggui Dara. Bohong saat suster mengatakan bahwa Dara boleh pulang setelah satu hari istirahat. Nyatanya sudah dua hari ia menginap di rumah sakit.
Dokter mungkin sudah menjelaskannya kepada Supri mengenai kondisi Dara, namun Dara tidak tahu apakah Supri sudah memberitahu Ken atau belum.
Jangan tanya betapa stresnya Dara saat tahu Ken berselingkuh. Ia tak berhenti menangis, hingga berkali-kali suster mengganti bantal Dara. Berkali-kali pula dokter menyuntikkan cairan untuk Dara karena gadis itu kekurangan banyak cairan. Mata Dara terlihat mengenaskan, sembab karena terus menangisi suaminya. Dan lebih bodohnya lagi, Dara menyalahkan dirinya sendiri akan kesalahan yang jelas-jelas Ken perbuat.
Ken selingkuh karena aku kurang baik, aku belum bisa bahagiain Ken makanya Ken cari kebahagiaan lain di luar sana. Betapa bodohnya wanita itu. Jelas-jelas Ken yang salah di sini.
Dara hendak pulang karena dokter sudah memperbolehkannya beristirahat di rumah setelah menghabiskan cairan infus. Menunggu cairan infusnya habis, ia membereskan beberapa perlengkapan, memasukkan baju gantinya ke dalam tas.
Baru saja Dara selesai menutup ritsleting tas, pintu terbuka, menampakkan Ken yang masih menggunakan setelan jas namun dasinya sudah hilang entah kemana. Dara tak buru-buru menyapa mengingat dua hari lalu mereka bertengkar. Ia diam duduk di tepi ranjang menunggu cairan infusnya habis.
"Ada apa sama mata kamu itu?" tanya Ken angkuh.
Dara menggeleng. "Gak papa."
"Dasar cengeng!" ejek Ken. Namun Dara memilih diam. Ia tak peduli lagi Ken menghinanya. Sebenarnya Ken tahu bahwa Dara usai menangis, Ken hanya bertanya untuk basa-basi sebelum melontarkan hinaan yang selalu sama, ‘Cengeng’.
"Kenapa masih diem? Gak mau pulang?"
"Kata dokter nunggu cairannya habis, nanti kalo habis panggil suster buat copot infusnya." Dara memperlihatkan tangannya yang masih terinfus.
"Ck!" Ken berdecak, menyusul Dara untuk duduk di tepi ranjang.
Hening, tak ada percakapan di antara mereka. Dara juga kembali menahan sesaknya. Melihat Ken membuatnya ingat pertengkaran mereka dua hari lalu. Ia tak peduli jika dicap sebagai gadis cengeng. Bagaimanapun, hatinya benar-benar sesak dengan pengakuan Ken yang terang-terangan selingkuh. Membayangkannya saja sudah seperti menusukkan pisau ke jantungnya sendiri.
"Tadi saya ditelepon sama Pak Kuncoro, rekan kerja saya. Dia minta kamu dan saya makan malam bersama beliau dan istrinya. Lusa,” ucap Ken.
"Iya."
"Kamu gak boleh pasang wajah mengenaskan itu lagi."
"Iya."
"Bagus, kamu emang harus tetep nurut sama saya."
Harus nurut? Meskipun kamu terang-terangan selingkuh? Gila? Memang! Tapi aku bisa apa? Batin Dara kembali melayangkan protes pada dirinya sendiri, namun tak berani melontarkannya.
"Kamu sudah makan?" tanya Dara sempat-sempatnya.
"Sudah tadi," balas Ken singkat. "Kamar kamu sudah saya pindah di kamar tamu. Kamu gak usah lagi nempatin ruang pembantu itu."
"Kenapa tiba-tiba?" Sedikit terkejut dengan pengakuan Ken.
"Ya biar gak ribet kalau ada mama, tinggal kamu pindah ke kamar saya. Kamar tamunya ada di sebelah kamar saya."
Dasar bodoh! Masih berharap Ken peduli? Masih berharap Ken khawatir? Ken Cuma pikirin dirinya sendiri aja. Batin Dara lagi-lagi berseru.
"Selama dua minggu saya sewa pembantu buat urusin rumah. Kamu istirahat aja."
Dara mengangguk.
"Itu cairan infusnya sudah abis," ucap Ken menunjuk cairan infus Dara yang sudah kosong. Dara turun dari ranjang, ia hendak memanggil suster namun dihentikan Ken. "Biar saya aja yang panggil, kamu duduk."
Ken keluar dari ruang rawat Dara. Tak lama setelahnya, Ken datang bersama Suster.
"Akhirnya dibolehin pulang, Mbak Dara," ucap suster seraya tersenyum ramah.
"Iya sus."
Suster dengan hati-hati melepas infus Dara, menutup bekas jarum infus tersebut dengan plester. "Dokter berpesan, jangan terlalu stress. Mbak Dara juga jangan terlalu panik jika suatu saat nanti menghadapi hal seperti ini lagi."
"Saya juga maunya gitu, Sus. Tapi gak bisa,"
"Apa engga sebaiknya ke psikiater? Terapi?"
Dara tak menjawab, ia tersenyum dan menggeleng lemah. Ken? Seolah tak peduli, ia malah sibuk dengan HP-nya. Tak penasaran dengan apa yang Dara dan Suster perbincangkan, meski perbincangan mereka terbilang serius. Dara sempat melirik Ken untuk memastikan sekali lagi, dan kembali ia menelan kekecewaan karena Ken sungguh tidak peduli.
"Kalau gitu saya pulang dulu ya, Sus, terimakasih sebelumnya."
"Sama-sama, Mbak Dara, jaga kesehatan."
Dara turun dari ranjang dengan membawa tasnya. Namun saat menghampiri Ken untuk mengajaknya pulang, pria itu memasukkan HP-nya ke dalam saku. Membawakan tas yang Dara tenteng tanpa mengeluarkan satu patah katapun seperti orang yang sedang sariawan.
"Kita permisi suster, terimakasih," ucap Ken akhirnya mau bersuara.
"Hati-hati di jalan, Pak Adam dan Mbak Dara."
***
Di lorong rumah sakit, Ken berjalan jauh di depan Dara. Gadis itu tidak bisa berjalan cepat karena masih lemas, namun Ken tidak ada sedikitpun niat untuk menunggu Dara. Yang ada pria itu malah berjalan tergesa meninggalkannya.
"Sampai kapan aku natap punggung kamu terus? Aku pengen ada di samping kamu. Sejajar, membentuk garis horizontal, bukan vertikal." Dara tertawa miris, bagaimana Ken bisa mendengarnya? Jarak mereka terlalu jauh, apalagi suara Dara begitu kecil. "Kenan, tunggu, jalan kamu terlalu cepet. Aku takut gak bisa kejar kamu, takut jatuh, takut capek." bisik Dara lagi.
Seolah mendengar apa yang Dara ucapkan. Ken berhenti, membalikkan badannya 180°. Pria itu memutar bola matanya jengah. Apa karena jarak mereka terlalu jauh? Ken tidak suka menunggu Dara yang berjalan sangat lama?
"Dara jangan lelet!" sungut Ken.
"Saya gak bisa jalan cepet-cepet, masih lemes," balas Dara
Ken berjalan menghampiri Dara. "Harusnya tadi bilang, kan bisa pakai kursi roda. Kamu gak tahu saya harus ke kantor? Saya masih ada kerjaan. Dan kamu buat molor jam kerja saya tahu! Nyusahin banget!" omel Ken.
Dara lelah berdebat, ia mengambil alih tas yang ada di tangan Ken. "Kamu balik aja ke kantor, saya gak apa-apa kok naik taksi Ken. Saya gak mau ngerepotin kamu."
Bukan itu maksud Ken. Pria itu memejamkan matanya rapat. Ia malah emosi melihat tingkah Dara yang selalu menyedihkan. "Kamu gak pernah tahu rasa terimakasih ya?! Udah saya peduliin juga!"
"Kalo kamu sibuk gak usah. Saya gak apa-apa, saya bisa kok, saya bisa pulang sendiri naik taksi."
"Emang bawa uang? Mau bayar pake daun naik taksi?"
"Ya kan bisa bayar di rumah."
"Kamu emang ngeselin Dara! Gak pernah berhenti bikin saya muak! Terserah kamu, saya balik ke kantor. Urus diri kamu sendiri!"
Tanpa peduli jawaban Dara, Ken meninggalkan gadis itu. Gadis yang masih terpaku di tempatnya. Terpaku untuk lagi-lagi menatap punggung suaminya yang sayangnya benar-benar pergi meninggalkan dara di lorong rumah sakit. "Mau saya bilang jangan pergi pun kamu gak akan pernah denger Ken.” Dara menghembuskan napas beratnya, ia kembali berjalan keluar dari rumah sakit. "Huft…, hati saya lagi-lagi sakit. Sesak. Kalo ada obatnya, mungkin bakal lebih baik, Ken."
Dara meninggalkan rumah sakit, ia berjalan ke jalan besar mencari taksi untuk mengantarnya pulang ke rumah. Tak peduli terik matahari menyengat menyerang tubuhnya.
- To be continued -