Muara Bangkai

1008 Kata
Semua persenjataanku sudah lengkap dengan bekal yang cukup, Moonglade sudah terlihat lebih baik. Kami berkuda mulai memasuki jalur menuju Muara Bangkai; tempat di mana dulunya kami membuang mayat-mayat musuh.  Suara burung gagak samar-samar terdengar dan kemudian ditelan kabut dan kegelapan. Aku terus memacu kuda terbaikku, diiringi Moonglade yang terus-terusan menggerutu karena aku memboncengnya di depan.  Sesekali suaranya melengking memprotes tindakanku yang selalu mengambil kesempatan dan bersikap kurang ajar.  Kulingkarkan lenganku di pinggulnya, sekali naik ke atas menyesuaikan hentakan kuda dan sikunya terus menyodokku.  Aku tidak biasa ditolak wanita. Biasanya mereka yang mendatangiku tapi yang satu ini justru semakin membuatku ingin menjadi pria rendahan. Sumpah serapahnya mampu menghiburku.  Aku tidak terlalu memperhatikan jalan hingga kudaku terperosok karena sesuatu tiba-tiba melintas. Aku terpelanting bersama Moonglade dalam pelukanku.  "Aku sial semenjak bertemu denganmu, sekarang apa lagi ini?" gerutunya, sambil berusaha bangkit.  "Kau yang menyebabkan kesialan itu, jika kau tidak menyihirku seperti ini. Aku lebih memilih menghabiskan malamku yang dingin bersama wanita cantik dalam selimutku."  Moonglade tersenyum licik, "Hmm ... kurasa di sini ada banyak siluman betina, kau bisa mengajak mereka bersenang-senang." "Kenapa bukan kau saja yang menyenangkanku?" Aku memberinya tatapan paling kurang ajar, dan itu membuatnya ketakutan.  "Kau! Berhenti di tempatmu! Atau aku akan mengutukmu menjadi makhluk yang paling menjijikkan jika berani menyentuhku. Kau tak ingin menjadi Pangeran Katak, bukan?" "Oh kurasa hanya penyihir tua dengan ilmu tinggi yang bisa melakukan itu. Kau apa?" Aku maju selangkah, dan wajahnya hampir pucat karena ketakutan.  "Buat aku senang, aku akan mempertimbangkan untuk tidak menjebloskanmu ke penjara bawah tanah setelah aku sembuh. Kau sudah pernah mendengar, kan? Bagaimana mengerikannya tempat itu." Tanganku terlulur ke depan akan meraihnya, hanya sekedar menakut-nakutinya. Aku memang sangat tergoda dengan gadis itu tapi aku masih cukup bisa menahan diri.  Dia berlari ke balik pohon. Ya ampun, apa aku terlihat seperti pria kurang ajar betulan. Dia sangat ketakutan. Aku terkekeh, sampai sesuatu yang bergerak membuatnya kembali berlari mendekatiku.  Ada gerakan di belakang kami, awalnya kukira itu adalah buah pinus kering yang berjatuhan diterpa angin atau tikus hutan yang sibuk berburu.  Tetapi apapun itu, mereka sedang mendekat, merangkak seperti singa namun kaki dan tangan mereka mirip orang utan. Wajahnya menyerupai manusia dengan mata seperti manik-manik.  Moonglade memandangnya tak percaya lalu muncul ketakutan di wajahnya saat makhluk itu menatapnya. Sesuatu bergerak di bawah makhluk itu, lalu merangkak naik bergelayut di lehernya.  Mereka seperti pasangan ibu dan anak. Ia terus menatap Moonglade, "Halo anak gadis," sapanya lembut namun penuh desisan mengerikan. Ia melirik ke belakang dan ke atas, tapi tidak ada siapapun di belakangnya.  Aku menahan diri, berusaha tidak mengancam makhluk luar biasa ini. Aku mengamatinya, mencari tanda-tanda senjata namun tidak melihatnya.  "Aku tidak akan menyakitimu," katanya lembut dan tenggorokannya tampak berdenyut dengan getaran tak biasa, lalu menggelengkan kepalanya. Moonglade terdiam, aku mendapati wajahnya kini menunduk. Bukannya dia tinggal di hutan terkutuk, kurasa ada banyak model siluman di sana.  Lalu kenapa dia terlihat ketakutan? Aku mendorongnya mendekat ke makhluk itu. Gerakan refleks mundurnya membuatnya membentur dadaku. "Jadi makhluk apa ini, Nona Moonglade?"  Aku benar-benar tidak tahu makhluk apa ini. Terlalu banyak siluman yang sekarang merupakan campuran berbagai macam ras, perkawinan silang biangnya.  Ia tetap menempel di dadaku, hanya memutar lehernya sedikit mendongak. "Dia suka memakan para gadis yang belum disentuh pria, kau paham maksudku, kan?" "Sepertinya kau butuh bantuanku kalau begitu." Aku menyilangkan kedua tanganku di pinggangnya dan dia menepisnya dengan kasar.  Aku mendorongnya lagi, nyaris menabrak makhluk itu dan ia mengumpat dengan sangat kencang. "Sialan, kalau dia memakanku. Kau akan menjadi buruk rupa selamanya." "Oh ya, kurasa ada banyak penyihir lain yang bisa menyembuhkanku. Aku tidak akan merepotkanmu lagi." Aku berlagak seolah-olah tidak membutuhkannya.  "Kau … Pangeran sialan." Ia menghentakkan kakinya ke tanah.  "Jenna … ikutlah bersamaku, bersamanya kau akan menjadi petaka untuk orang banyak. Ada kekuatan jahat besar bersamanya. Aku memperingatkanmu!" Tangan keriput berbulunya terulur ke depan.  "Aku tak akan pergi denganmu atau dengannya, enyah kalian semua," bentaknya.  Oh jadi namanya Jenna. Gulungan kabut semakin tebal saat bayangan-bayangan di belakang makhluk itu bertambah banyak.  "Kau terlalu harum dengan kemurnian. Kau mengundang yang kelam. Menyatulah bersamaku, aku berjanji tidak akan membuatmu kesakitan."  Kabut yang menggulung-gulung mengeras, bentuk-bentuk aneh yang menari-nari. Dalam dua puluh detik, makhluk yang suaranya seperti wanita itu bergerak seperti predator, mencegat Jenna.  Dari atas terdengar beberapa makhluk sejenis itu mengintai dari atas pohon, bergumam dengan waspada. Satu siulan dari makhluk yang tepat di depan Jenna menghentikan pembicaraan itu.  Jenna menggerutu seperti wanita tua. "Berikan aku pedang, sialan!" Ia merunduk ketika tangan panjang makhluk itu berusaha meraupnya, menyelinap di antara ketiaknya yang terbuka lebar.  Jenna berguling ke kanan dan ke kiri untuk menghindarinya, sesekali kakinya menendang lengan makhluk itu. Tulang-tulangnya sangat kokoh. Lengannya terulur nampak memegang sesuatu; bayinya. Makhluk kecil itu bergerak seperti bayangan mengelilingi Jenna.  Tubuhnya setengah membungkuk dan kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Energi di sekelilingnya seperti pegas asap hitam.  Aku melemparkan pedang Al Maghribi dan Jenna menangkapnya. Seketika ia mencabut pedang itu dan tubuhnya kerasukan.  Ia bergerak dari satu makhluk ke makhluk yang lain, menghancurkannya satu persatu. Siluman itu tidak ada yang menyerangku, cukup menonton Jenna yang gerakan lincahnya sangat mematikan sekaligus mengagumkan.  Jenna berpijak pada batang pohon, berayun dari satu dahan ke dahan yang lain. Siluman-siluman yang seperti kembar satu sama lain itu berjatuhan. Mereka tidak berdarah, namun dari tebasan pedang itu asap hitam melayang ke udara disertai bau seperti rambut terbakar.  Dan dari atas pohon yang paling besar makhluk yang masih berwujud serupa turun, kaki-kakinya berdebum memijak tanah.  Mulutnya meneteskan liur kuning kehijauan, seperti bau busuk bangkai manusia. Berapa banyak anak gadis yang sudah ia cerna? Jenna tanpa lelah bergulat dengannya. Pergulatan itu berakhir dengan suara pedang menebas tulang-tulang yang keras.  Jenna berdiri menatapku, wajahnya yang sebelumnya lembut dan selalu mengacuhkanku kini terlihat angkuh dan … menggoda. Aku mengangguk puas dengan kerjanya. Dan sepertinya itu yang dia harapkan, sebuah pujian akan kemenangannya. Pedang Al Maghribi disarungkan dan seketika Jenna terhuyung.  Aku menangkapnya sebelum ia jatuh menimpa musuh di bawah kakinya. Aku menggendongnya di punggung untuk mencari tempat beristirahat.  Udara semakin dingin semakin memasuki jalur. Sebuah gubuk yang masih cukup bagus tanpa pencahayaan dan kosong. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN