Setengah Kuda Laut

1158 Kata
Makhluk terkutuk seperti apa yang pernah tinggal di tempat seperti ini. Aku menaiki tangga yang sempit dan curam. Lantainya berdecit di manapun aku menginjaknya. Aku memasuki kamar kosong yang cukup melindungi kami dari udara dingin. Atapnya berlubang di mana-mana, cahaya bulan menerobos memberi pencahayaan minim.  Di samping kamar, sebuah lorong gelap menuju bagian belakang pondok. Dipannya sudah rusak, aku menggeletakkan Jenna di lantai kayu.  Nafasnya halus dan ia segera meringkuk memeluk dirinya sendiri setelah lepas dariku. Aku meluruskan punggungku di sisinya dan memunggunginya, berusaha menghindari aromanya yang seperti sesuatu yang terasa manis dan menggoda.  Aku baru memejamkan mata sesaat ketika aku mendengar suara langkah kaki yang sangat tenang dan begitu hati-hati. Sebenarnya untuk saat ini aku hanya ingin beristirahat dan muak dengan pertumpahan darah.  Aku menghadap ke Jenna, ia sangat pulas dan tenaganya terkuras oleh pertempuran tadi. Jariku menyusuri wajahnya yang teduh, kulitnya begitu lembut di bawah kulitku yang kasar.  Aku memaksa diriku bangkit dan berhenti mengagumi kecantikannya. Derap kaki semakin mendekat, kucabut pedangku dan bersembunyi di kegelapan lorong. Sesuatu menendang pintu depan hingga berderit dan bergoyang dengan kuat. Aku menunggu, berjongkok mengamati makhluk apa itu.  Aku tidak terburu-buru untuk menyerangnya, mungkin saja ia pemilik gubuk ini. Dia tinggi dan membungkuk seperti serangga; mentis.  Hanya dengan satu langkah lebarnya ia sudah sampai di sisiku. Kepalanya mengarah ke kamar di mana Jenna masih tertidur.  Suara gesekan benda tajam, saat ia menaikkan tangannya akan meraih pintu kamar. Kurasa dia kemari karena mencium aroma manis Jenna.  Aku setengah heran, mengapa para siluman menyukai para gadis untuk disantap? Aku bergerak cepat, menyambar kakinya di belakang lutut. Lalu berdiri dengan cepat hingga ia terjungkal. Aku menyeretnya menuju ambang pintu dan mendorongnya hingga jatuh dengan keras menuruni tangga. Makhluk itu bergerak lamban.  Beberapa bagian gubuk rusak karena struktur rangka makhluk itu begitu keras. Dia tidak berteriak saat jatuh, hanya mengeluarkan suara-suara aneh mirip serangga yang bercampur suara tangga yang patah dan sesuatu yang pecah.  Aku bahkan tidak menunggu untuk melihat apakah siluman itu akan bangkit. Aku menghujamnya dengan tiga anak panah; satu tepat di kepala dan dua di d**a.  Aku membanting pintu hingga hingga tertutup. Jenna masih tertidur dan meringkuk seperti bola. Kuselimutkan jubahku di tubuhnya untuk menghangatkannya.  Aku berharap tidak ada yang mengganggu tidurku lagi. Bangkai siluman yang ada di bawah sana, seharusnya mampu memberi peringatan kepada siapapun yang berniat menyerang, bahwa yang di dalam sini, bukan manusia sembarangan.  Aku terbangun dengan suara pintu yang bergetar, untungnya sudah pagi. Sesuatu menabrak pintu, bingkainya terguncang. Jenna masih saja tidur.  Aku melompat, berdiri di depannya dengan busur dan anak panah yang siap menerjang apapun itu. Tendangan selanjutnya membuat pintu terbelah. Jenna terduduk, memandang sekeliling bingung. Setelah debu tebal berterbangan itu pudar barulah nampak siluman menyerupai laba-laba.  Ya ampun apa lagi ini, dia besar sekali, dua kali besarnya daripada pintu itu. Untaian benangnya yang sangat lengket tiba-tiba terulur memerangkap Jenna.  Aku memanahnya tepat di dahinya. Namun makhluk itu hanya mengeluarkan bunyi kesakitan yang memekakkan telinga. Aku terus menyerangnya dengan panah. Mulutnya mengeluarkan tali sebesar cambuk, menghantam lantai kayu di kakiku. Bunyi retakan kayu, dan aku terperosok masuk ke dalam lubang yang lembab dan gelap.  Aku mengeluarkan belatiku, kenopnya bercahaya di kegelapan. Sialan, tempat apa ini. Benar kata orang-orang,  tempat ini bisa membuat orang waras menjadi gila.  "Hei, di atas sana!" Sebuah suara wanita berteriak dari bawah.  Aku menarik sarung belatiku, tempat ini terlalu sempit untuk bertarung dengan pedang. Aku berjongkok, lutut kiriku kutekuk bertumpu pada tanah dan bersiap menerjang dengan mengacungkan pisau ke arah suara itu.  Sosok wajah dengan tulang pipi yang menggelap dan rambut hitam kusutnya menutupi satu matanya yang bersinar ungu dalam kegelapan.  Ia mengamati wajahku yang semakin lama semakin banyak bisul yang tumbuh, sialan Jenna. Sihirnya benar-benar menjengkelkan.  Ia menyeringai, menyipitkan mata dan memamerkan giginya yang banyak. "Tawanan," katanya dalam suaranya yang serak.  "Sudah banyak darah yang tumpah hari ini, aku sudah sangat kenyang. Kau akan menjadi tawanan untuk beberapa waktu, tak akan lama."  Lidahnya bergerak salam satu kedipan mata menyambar tanganku yang memegang belati, sangat lengket dan berbau busuk.  Tanganku masih berusaha melakukan perlawanan dengan mencoba menghujamkan belatiku tapi dengan lubang yang sempit dan pencahayaan yang kurang aku kewalahan.  Ia menyeretku dengan kecepatan yang menakjubkan semakin dalam masuk ke liangnya. Aku terjatuh di atas tumpukan sesuatu yang berbau busuk.  Ekornya menyala, membuat terang ruangan yang lebih mirip seperti aula dengan banyak jalur bercabang. Pusat di mana makhluk itu mengumpulkan buruannya.  Di bawahku tubuh manusia yang sudah mengering, tertinggal tulang yang dibungkus kulit mengering. Ini sampah yang dihasilkan tipe siluman penghisap saripati manusia.  Dua prajurit yang ditaklukkan beringsut di samping lorong yang paling besar. Dari pakaiannya yang telah lusuh masih terlihat tanda-tanda dari Al Masyriq.  Dalam misi apa mereka hingga terjebak di sini? Mereka terlihat sangat lelah dan ketakutan. Menunggu giliran mereka disantap seperti beberapa tumpukan prajurit Al Masyriq yang sudah mengering di bawah kakiku.  Siluman yang mirip seperti cacing tanah raksasa dengan lidah yang lengket itu memiliki empat taring yang sangat tajam. Ia menghampiri dua prajurit itu, sepertinya memastikan tawanannya masih tetap hidup.  Para siluman biasanya lebih menyukai menikmati santapannya hidup-hidup. Aku bisa melihat air liurnya yang menetes saat mengendus mereka, hitam dan kental.  "Hati-hati, ingat! Jangan sampai kalian tidak makan atau akan kubuat kematian kalian sangat menyakitkan. Makan buah-buahan apa saja yang sudah susah payah kukumpulkan." "Dan kau …." Makhluk itu berganti menatapku dan setelah beberapa saat menambahkan, "Yang penuh dengan bisul. Aku sedikit khawatir bisul itu akan menular padaku jika aku menyantapmu." "Kalau begitu, biarkan aku pergi. Mudah bukan?" sahutku santai.  "Kau … mulutmu sangat berbeda," katanya dan kembali mengamati pakaian elegan-ku yang sekarang terlihat seperti pengemis. "Tak satu pun dari orang-orang ini yang berani melakukannya."  Matanya tertuju pada mayat-mayat yang berserakan. "Mungkin kau bisa disembuhkan dulu sebelum a--" "Kau tahu obatnya?" Ia memicingkan matanya, nampak tidak senang dipotong kalimatnya.  "Benar, anak muda." Dia melanjutkan, "Kau hanya perlu berendam beberapa saat di Muara Bangkai, tapi untuk menuju ke sana kau akan diperebutkan siluman lain. Akhir-akhir ini banyak siluman yang pindah dari Hutan Tergelap ke Muara Bangkai. Makanan gratis, entah mengapa akhir-akhir ini banyak manusia yang mendatangi muara." Sial, awas Jenna. Aku akan membuat perhitungan jika bertemu dengannya lagi. Dia membuatku harus berendam di air busuk untuk melunturkan sihirnya. "Apa tidak ada cara lain?" Nada suaraku terdengar sangat mendesak dan itu membuat keningnya yang licin berkerut dalam.  Makhluk itu menutup mata, "Tidak ada, ini sihir untuk menjatuhkan harga diri seseorang. Kurasa kau bukan manusia sembarangan." Mata lebarnya kembali terbuka.  "Kau juga terlihat seperti bukan sembarang siluman. Aku yakin kau berpengetahuan luas." Aku sengaja memujinya. "Apakah kau juga tahu tentang siluman yang mirip dengan laba-laba?"  Pikiranku tidak bisa menampik bahwa aku mengkhawatirkan Jenna. Dia jembatan untuk mengantarkanku pada Raja Al Masyriq.  "Setahuku siluman laba-laba jenis apa pun tidak tinggal di sini. Mereka bersahabat dengan para penyihir di Hutan Terkutuk." "Apa? Keparat." Amarah bergumul di dadaku.  Aku berjalan menuju lorong paling besar. Keturunan Raja Zuchri sudah cukup banyak mengacau usaha perluasan kekuasaan Al Maghrib.  "Hei! Kau! Kau lupa jika kau ini ta--"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN