Tubuh tinggi nan tegap Ghibran sudah mendukung pria tersebut untuk menemukan sosok Bilqis. Namun, lagi-lagi takdir berkata lain. Bilqis telah meninggalkan halaman parkir café.
Hhh,
Ghibran hanya bisa menghela napas panjang. Sungguh, ia tahu betul jika untuk menggapai sesuatu yang diinginkan itu, tidaklah mudah. Sebagaimana dirinya yang harus berjuang lebih keras, untuk dapat bertemu dengan sang wanita pujaan.
Beruntung,
“Bapak tidak perlu khawatir. Tadi, saya sudah sempat menyampaikan pada beliau jika Bapak sedang mencarinya. Beliau berkata, jika Bapak hendak menjumpai beliau, Bapak bisa mengunjungi Butik Khumairroh yang terletak di perempatan jalan ini, Pak,” Seorang petugas kasir menginfokan.
Perempatan jalan ini? Itu berarti sebuah butik yang ada di seberang Perusahaan Faruqi? Ya Allah. Alhamdulillah. Sedekat ini, kau mempertemukan kami. Ghibran memanjatkan puji syukur. Ternyata, semua usaha yang ia lakukan pada beberapa hari ini, tak sia-sia begitu saja. Dengan segenap hati dan jiwa yang besar, Ghibran mengembalikan semangat yang sempat memudar.
Kali ini, aku pasti akan berjumpa dengan dia. Ghibran membatin teguh.
Ia beralih menengok jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kiri. Aku harus menjumpai wanita itu sekarang juga. Kesempatan tak selalu datang dua kali, bukan?
Dan,
Tring!
Suara lonceng kecil berdering. Menandakan jika café tersebut baru saja kehilangan salah satu customer di sana.
******
Tak menunggu lama.
Ghibran telah sampai di depan halaman parkir Butik Khumairroh.
Dengan langkah dan senyum yang mengembang lebar, pria tampan tersebut segera berjalan menuju sisi butik yang meneduhkan; benar-benar menyuguhkan nuansa islami yang kental.
Kemudian,
Kalimat basmalah menjadi pemula langkah Ghibran. Ia membuka pintu butik yang terbuat dari kaca tembus pandang.
Sontak,
Kedatangan Ghibran segera disambut oleh para pegawai di butik. Selain untuk menjamu customer pria, mereka juga terperangah dengan ketampanan yang tertampak pada paras wajah Ghibran.
“A-ada yang bi-bisa saya bantu, Pak?” Salah seorang pegawai Bilqis, hingga tergagap. Seraya, ia berujar sembari menahan air liur yang hendak menetes keluar.
“Sebelumnya, maaf karena saya tidak berniat untuk membeli pakaian,” Ghibran berujar.
Tak apa, Pak. Tujuan lain juga tidak apa-apa. Pegawai tersebut membatin sembari terus menatap lekat wajah sang lawan bicara.
“Saya ke mari untuk mencari perempuan muslimah dengan balutan gamis dan khimar panjang,” Ghibran melanjutkan kalimat.
Dan,
“Mbak?” Ghibran membuyarkan lamunan pegawai tersebut.
“Ma-maaf, Pak. Tadi, Bapak berkata ingin berjumpa dengan perempuan muslimah berbalut gamis dan khimar? Apa yang Bapak maksud adalah Mbak Bilqis?”
Bilqis? Ghibran menelengkan kepala. Sungguh, ia belum tahu nama wanita anggun yang telah berhasil memikat pada pandangan pertama.
Pada saat bersamaan, Bilqis terlihat sedang berbincang dengan tiga orang pada sebuah sudut ruang. Mereka terlihat membicarakan suatu hal.
Lalu,
“Mbak, tidak jadi. Saya sudah menemukan dia,” Ghibran berujar. Ia melanjutkan langkah. Namun, gerak tungkai jenjang tersebut terhenti. Sesaat usai mendapati sosok pria di dalam meja yang sama.
Pr-pria itu, tak mungkin suaminya, bukan? Ghibran membatin sembari merapatkan buku jemari tangan, akibat sebuah terkaan di dalam kepala.
Melihat sosok wanita yang ia cari sedang sibuk berbincang, Ghibran memutuskan untuk menunggu obrolan tersebut hingga selesai. Ia menjejalkan p****t pada sebuah sofa, yang disediakan khusus untuk para penunggu customer wanita.
Di sela Ghibran menunggu, ponsel dari dalam saku jas bergetar. Memunculkan nama seorang sekretaris wanita.
*Raras*
Alih-alih menjawab panggilan, ia justru mengarahkan jemari untuk menolak sambungan telepon. Beralih membalas dengan pesan cepat.
**Ghibran : “Saya masih ada urusan. Sebaiknya, rapat siang ini kita tunda selama satu jam.”
Pesan terkirim!
Ghibran kembali memasukkan ponsel ke dalam saku jas berwarna biru gelap. Kemudian, ia melantunkan basmalah dan doa, agar Allah senantiasa mempermudah jalan untuk bertemu sang pujaan. Tentu, dengan harapan besar agar wanita muslimah tersebut, belum berada di dalam ikatan pernikahan.
******
Lima belas menit kemudian.
Sosok wanita, yang diduga bernama Bilqis tersebut sedang berjalan menuju sisi pintu kaca. Ia terlihat mengantar dua orang wanita paruh baya dan satu orang pria.
DEG!
DEG!
Degup jantung Ghibran berdetak kencang. Itu adalah kali pertama, ia melihat sang pujaan dengan jarak kurang dari satu meter.
Ya Allah. Apa yang sudah kulakukan. Aku harus menjaga pandangan. Seketika, Ghibran menundukkan kepala. Hanya berani, sesekali melirik ke arah sang wanita.
Dengan sedikit samar, Ghibran mulai mendengar obrolan singkat Bilqis dengan seorang wanita paruh baya yang tertinggal di dalam butik.
“Ummi, mengapa Ummi kembali menjodohkan Bilqis? Lihatlah, Bilqis menjadi merasa sungkan dengan teman Ummi tadi.”
Issh!
“Jika kau merasa sungkan, lantas mengapa kau menolak ajakan putra teman Ummi, Nak?” Desy menyahut dengan gurat kesal.
“Ummi, Ummi kan tahu betul, Bilqis enggan dijodoh-jodohkan seperti itu.”
“Tapi, Nak. Umurmu—”
“Ummi, biarlah Allah yang menjawab suratan takdir Bilqis perihal pernikahan. Ijinkan Allah saja, yang menjodohkan Bilqis dengan seorang lelaki terbaik menurut-Nya,” Wanita muslimah tersebut berteguh pada keyakinan yang ia punya pada Sang Pencipta.
Desy terlihat mengerutkan segerombol garis di wajah. Lalu, ia berpamitan untuk pergi dari butik sang putri semata wayang.
“Kalau begitu, Ummi berhati-hatilah di jalan,” Bilqis mengingatkan. Melempar senyum teduh.
Sementara itu, Desy tak menjawab. Ia masih terlihat kesal.
******
Kini, daun pintu kaca pada butik kembali tertutup.
Ghibran beranjak dari duduk. Mengucap basmalah. Lalu, berjalan mendekat ke arah seorang wanita yang sedang ia incar.
Dan,
“Maaf, Mbak? Permisi,” Ghibran berseru sopan.
Bilqis menghentikan gerak memutar tubuh. Ia menoleh pada sumber suara. Memandang sekeliling, yang ternyata tak ada orang lain, selain dia.
“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Bilqis menyahut ramah, seperti biasa. Tak lupa, ia tetap menjaga pandangan. Terlebih, saat itu seorang pria berparas tampan terlihat menujukan panggilan kepada dirinya.
“A-ada yang ingin saya bicarakan dengan Mbak.”
“Dengan saya?” Bilqis kebingungan. Kebanyakan, para customer yang hendak memesan pakaian berasal dari kaum hawa. Sedangkan, kali itu justru seorang pria.
“Ba-baiklah, silahkan,” Bilqis mengarahkan pria tersebut menuju sisi dudukan, yang semula ia gunakan untuk berbincang bersama tiga orang dewasa.
******
Sesaat usai menjejalkan p****t di sana.
Bismillahirrahmanirrahim. Ghibran berseru di dalam hati. Lalu berkata, “Apa benar nama Mbak adalah Bilqis?”
Bil-Bilqis? Sang wanita tergagap.
“Yah, be-benar. Nama saya Bilqis,” Spontan, Bilqis merasa was-was. Mewaspadai hal buruk yang bisa saja terjadi. Mengingat, ia tak pernah berjumpa dengan pria tampan tersebut.
Sehingga,
Bagaimana bisa dia mengenali namaku?
“Sepertinya, Mbak Bilqis adalah pemilik butik ini. Tapi, sebelumnya saya mohon maaf. Tujuan saya ke mari, bukan untuk memesan pakaian.”
GLEK!
Lantas, apa tujuan pria ini datang menjumpaiku? Dia bukan seorang penguntit, kan?
“Mo-mohon maaf, lantas tujuan Anda datang ke mari untuk apa?” Bilqis memberanikan diri untuk bertanya.
“Saya—”
Di sela sang lawan bicara menjeda ucapan, Bilqis menyerukan nama Allah. Ia berharap, Allah selalu senantiasa memberi perlindungan.
Dan,
“Saya ke mari untuk mengajak Mbak Bilqis bertaaruf,” Ghibran melanjutkan.
APA? Bola mata Bilqis melebar.
Melihat raut wajah Bilqis yang terkejut setengah mati. Ghibran baru tersadar, jika kalimat yang ia lontarkan terkesan terburu-buru. Bahkan, ia belum sempat berbasa-basi dengan memperkenalkan diri.
“Maaf, maaf. Sepertinya, saya mengejutkan Anda,” Ghibran berujar peka.
“Sebelumnya, perkenalkan nama saya Ghibran Hadid Faruqi. Anda bisa memanggil saya dengan panggilan Ghibran.”
Ghibran? Bilqis bergumam. Ia masih terheran.
Bagaimana bisa pria tampan seperti dia, datang menjumpaiku dan berucap tanpa basa-basi seperti itu?
“Waktu itu, saya tidak sengaja melihat Mbak di sebuah café. Café di dekat jalan raya ini. Setelah melihat Mbak teruntuk kali pertama, atas nama Allah; hati saya menjadi bergetar. Ada sebuah rasa, yang sebelumnya tak pernah saya rasakan ketika berjumpa dengan seorang wanita. Dan, melihat keanggunan Mbak Bilqis, saya memantapkan diri untuk mencari keberadaan Mbak. Lalu, seperti yang Mbak ketahui, saya berniat mengajak Mbak Bilqis untuk bertaaruf.”
A-apa aku tak salah mendengar? Bilqis berujar gelagapan. Ia tak bisa memahami situasi yang tak pernah ia bayangkan.
“Jika, Mbak mengijinkan. Maka, saya akan berusaha untuk melaksanakan taaruf sesuai syariat Islam,” Ghibran menambahkan.
Hening sesaat.
Kemudian,
“Jika, Mbak berkenan menerima ajakan saya untuk bertaaruf. Maka—”
Kali itu, Ghibran merogoh dompet dari dalam saku celana. Ia berniat memberikan kartu nama. Namun, nihil. Keadaan kartu nama yang habis; sama persis dengan yang terjadi pada saat Bilqis hendak memberi kartu nama pada seorang kasir di cafe.
Tanpa pikir panjang, Ghibran meminta secarik kertas dan sebuah pena pada salah seorang pegawai. Ia menuliskan nama lengkap beserta nomor ponsel.
“Maka, Mbak bisa menghubungi saya,” Sang pria kembali mengeluarkan suara. Ia sembari menyodorkan secarik kertas tersebut pada Bilqis.
Ya Allah, jika laki-laki ini adalah seorang pria yang benar memiliki tujuan baik denganku, maka lancarkan niat baik itu. Namun jika tidak, aku mohon lindungilah aku dari marabahaya yang tidak aku ketahui tersebut.