BISMILLAH

1552 Kata
Pagi ini. Suara ketukan terdengar dari balik daun pintu. Sebuah keluarga kecil terperangah heran pada sosok yang mengetuk. “Siapa yang sedang bertamu pagi-pagi begini, Abi?” Desy bertanya pada Ruslan. Sang suami hanya menggeleng pelan. Di saat Desy hendak menuju ambang pintu utama, netra sang wanita paruh baya mendapati sosok Bilqis telah bersiap dengan gamis dan khimar. “Ummi, biar Bilqis saja yang membuka pintu,” Sang putri berujar. Sesaat usai menoleh ke arah Desy yang tak henti tercengang. Apakah Bilqis sedang membuat janji dengan seseorang? Tak biasa, dia melakukan hal itu. Dengan siapa dia membuat janji? Desy mengerutkan dahi, terheran-heran. Lalu, ia kembali menuju ruang makan untuk menjumpai Ruslan. Dan, Ceklek! Daun pintu terbuka. “Assalamualaikum, Bilqis.” “Masya Allah, Mbak. Waalaikumsalam.” Hari itu, Bilqis kedatangan seorang tamu muslimah. Tak lain, adalah Khadijah. Salah seorang ustadzah yang kerap mengisi materi kajian. “Mari, Mbak. Mari masuk,” Bilqis mengarahkan. Selain berhubungan sebagai seorang murid dan guru, Bilqis sudah menganggap Khadijah sebagai seorang kakak perempuan. “Mengapa pagi sekali, Mbak? Bilqis jadi sungkan. Takut merepotkan Mbak Khadijah,” Bilqis berujar. Sesaat usai mereka menjejalkan p****t pada dudukan di ruang tamu. “Tak apa, Bilqis. Mbak sekalian mengantar anak-anak ke sekolah.” Bilqis mengangguk paham. Sebenarnya, tujuan Khadijah berkunjung pada hari itu karena panggilan yang sempat Bilqis tujukan kemarin malam. Setuntas bertemu dengan Ghibran di butik, Bilqis ingin meminta saran dari Khadijah. Hanya saja, pembahasan mereka lebih nyaman ketika dibicarakan dengan berjumpa secara langsung. Sehingga, “Ini, Mbak. Silahkan teh hangatnya diminum,” Bilqis mengarahkan. Sesaat usai kembali dari dalam dapur dengan membawa nampan berisi dua cangkir minuman. Seteguk dua teguk berhasil mengalir ke dalam kerongkongan. Tentu, dengan lantunan basmalah yang tak terlupa. Dan, “Jadi, bagaimana? Bagaimana cerita lengkap dari pria yang datang untuk mengajakmu taaruf itu, Bilqis?” Khadijah bertanya. Sontak, Sstt! Bilqis berdesis lirih. Ia mengarahkan jemari menuju sisi bibir, agar Khadijah memelankan nada bicara. “Maaf, Mbak. Untuk sementara, Bilqis belum ingin Abi dan Ummi mengetahui perihal ini,” Ia berbisik lirih. Khadijah segera mengerti. Mengingat, Desy telah berulang kali membahas perihal pernikahan. Sehingga, kabar perihal ajakan taaruf dari Ghibran, bisa saja membuat seisi rumah menjadi gempar. Lalu, Satu menit Dua menit Dan, setengah jam kemudian. Pembicaraan terus berlangsung. Khadijah mencoba menangkap kegundahan yang sedang Bilqis alami. Di satu sisi, Bilqis merasa senang ketika menjumpai seorang pria yang terlihat serius. Namun, di sisi lain; semua keseriusan itu adalah hal ghaib. Bilqis tak benar-benar mengetahui maksud dan tujuan sang pria. Karena, sebaik-baik Maha Mengetahui hanyalah Allah SWT. Jadi, “Sebaiknya, kau sholat istikhoroh saja, Bilqis. Sembari menunggu petunjuk, kau boleh menghubungi pria itu. Tadi, siapa nama dia?” Khadijah mengkonfirmasi ulang. “Ghibran, Mbak. Ghibran Hadid Faruqi,” Bilqis berbisik lirih. “Ah, iya. Ghibran. Kau boleh menghubungi dia.” “U-untuk apa, Mbak? Kan, Bilqis belum mendapat petunjuk apa pun. Bilqis juga tak mengenal sosok dia sama sekali. Bilqis hanya tahu nama lengkap dan nomor telepon dia saja.” “Justru itu, Bilqis. Semua hal ini, takkan menuju titik terang jika kau hanya berdiam. Selain berikhtiar dan berdoa pada Allah, kau juga harus mengusahakan hal tersebut. Kau hubungi saja dia. Mintalah dia untuk menjumpai Abi-mu. Setelah itu, biarkan Abi-mu yang menjadi perantara diantara kalian berdua. Bukankah, begitulah yang dinamakan taaruf? Kalian tak harus saling berkomunikasi secara empat mata. Justru, kalian harus berkomunikasi melalui perantara. Dalam hal ini, orang tua memiliki peran penting. Jadi, serahkan perihal seluk beluk Ghibran pada Abi-mu. Biarkan Abi-mu yang mencari tahu perihal agama, kedudukan, pendidikan, kekayaan, status sosial, dan sebagainya. Atau, bisa kita sebut dengan bibit, bobot dan bebet seseorang,” Khadijah memberi wejangan. “Masya Allah, Mbak. Alhamdulillah. Sejauh ini, Bilqis paham dan setuju dengan saran yang Mbak Khadijah berikan. Terima kasih ya, Mbak.” Sang lawan bicara melempar senyum teduh di wajah. Berkata, “Sama-sama, Bilqis. Mbak turut senang bisa membantu. Dan, Mbak lebih bahagia saat mendapati awal mula yang baik ini. Semoga, hal ini akan menjadi kabar baik nanti.” “Aamiin, Mbak. Aamiin yarobbal alamin.” Sembari membahas hal lain, mereka berdua melanjutkan aktivitas meneguk teh hangat pada cangkir masing-masing. “Tapi, sepertinya kau gugup sekali ya, Bilqis?” Khadijah kembali mengeluarkan suara. “Tentu saja, Mbak. Ini adalah kali pertama Bilqis berjumpa dengan pria seperti dia. Bilqis benar-benar tak menyangka.” Masya Allah. Begitulah cara Allah mempertemukan dua insan. Sekali pun, mereka tak saling mengenal. Namun, jika Allah telah berkehendak, maka tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Subhanallah. Khadijah membatin. Berseru takjub pada bantuan Allah, yang datang dengan cara tak terduga. “Bismillah ya, Bilqis. Bismillah, semoga Ghibran benar-benar sosok jodoh yang Allah kirimkan untukmu. Kau tak perlu cemas. Ada Allah. Percaya dan yakinlah, jika perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula),” Khadijah melanjutkan wejangan. “Insya Allah, Mbak. Aamiin Allahumma Aamiin.” “Ngomong-ngomong, Bilqis. Apakah Ghibran berparas tampan?” Tiba-tiba, Khadijah bertanya tak terduga. “Masya Allah, Mbak. Apa yang sedang Mbak Khadijah tanyakan?” Bilqis menyahut salah tingkah. Khadijah tergelak singkat. Pertanyaan tersebut hanya sekedar untuk pancingan. Mengingat, perjumpaan Bilqis dan Ghibran merupakan pertemuan pertama mereka. Selain perihal niat dan tujuan. Sudah pasti, segi visual mampu menggetarkan hati siapa saja teruntuk kali pertama. Sedangkan, saat itu Khadijah hanya ingin mengingatkan. Jika, setampan apa pun Ghibran, Bilqis harus tetap menjaga pandangan. Tentu, selagi mereka belum disatukan dalam ikatan pernikahan. Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Beliau bersabda: “Telah ditulis atas anak adam nashibnya (bagiannya) dari zina, maka dia pasti menemuinya, zina kedua matanya adalah memandang, zina kakinya adalah melangkah, zina hatinya adalah berharap dan berangan-angan, dan dibenarkan yang demikian oleh farjinya atau didustakan.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i). ****** Sementara itu, Pada hari yang sama. Tepatnya, pada pukul delapan pagi di Perusahaan Faruqi. Ghibran sedang mengetuk-ketukkan jemari pada sisi atas meja berbahan dasar kayu jati. Saat itu, sang pria sedang duduk di kursi kebesaran. Ia telah berdiam pada beberapa menit usai tiba di ruang kerja. Membatin. Mengapa Bilqis belum mengabariku juga? Apakah dia menolak ajakanku untuk bertaaruf? Ataukah, seharusnya aku meminta nomor kontak milik dia? Bisa jadi, Bilqis merasa sungkan saat hendak menghubungiku lebih dahulu, bukan? Kemudian, Tok-tok! Daun pintu terketuk. Tak ada sosok lain yang menghampiri ruang kerja seorang CEO Perusahaan, selain seorang sekretaris wanita saat waktu baru menunjuk pukul delapan pagi. Dan, “Yah?” Ghibran menyahut. Mempersilahkan. Sosok Raras muncul dari balik ruang berbeda. Ia membawa sebuah tablet kerja. Menginfokan jadwal rapat pada sang pemimpin perusahaan. Lalu, “Baiklah, Ras. Kau bisa keluar dari ruangan saya, sekarang.” Tanpa banyak bicara, sekretaris Ghibran tersebut melangkah menuju ambang pintu. Namun, “Ras? Tunggu dulu.” “Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Raras terpaksa menoleh kembali. “Menurut kamu apa yang dirasakan oleh seorang wanita, ketika seorang pria datang untuk melamar dia secara tiba-tiba?” HAH? Apa aku tak salah mendengar? Pertanyaan Pak Ghibran bukan perihal pekerjaan? Melainkan, mengenai wanita? Raras bergumam. “Ras?” “I-iya, Pak. Menurut saya, wanita tersebut akan terkejut. Mereka akan memasang sikap sigap untuk berhati-hati. Tapi, di sisi lain; bisa saja wanita tersebut merasa bahagia dengan ajakan lamaran yang ditujukan.” “Begitukah?” “I-itu, kalau menurut pandangan saya saja, Pak.” “Baiklah, kalau begitu kau boleh benar-benar keluar dari dalam ruangan saya.” Dalam sekejap, Ghibran kembali bersikap dingin dan tidak ramah. Yah! CEO Perusahaan Faruqi terkenal kaku dan dingin pada seluruh pegawai wanita. Setelah itu, Raras terperangah. Sungguh, ia merasa gundah. Bertahun-tahun ia mengenal Ghibran. Bekerja di dalam satu lingkup perusahaan. Namun, belum pernah Raras menjumpai Ghibran membahas perihal wanita. Apakah pertanyaan itu memiliki arti, jika Pak Ghibran hendak melamar seorang wanita? Raras bertanya-tanya. Sejatinya, selama bekerja di perusahaan, Raras menaruh hati pada sang atasan. Hanya saja, Raras tak pernah memiliki kesempatan untuk mendekati Ghibran. Pria tampan nan kaya raya itu, sedingin es di kutub utara. Hentikan, Ras! Hentikan! Kau sudah berjanji untuk mengubur perasaanmu pada Pak Ghibran. Lagi pula, Pak Ghibran tak pernah memandangmu sebagai seorang wanita. Kau hanya sekretaris yang memiliki kewajiban untuk membantu Pak Ghibran dalam hal pekerjaan. Raras memecah lamunan. Meski begitu, ia tak mampu menyembunyikan rasa kecewa dan kesal. Sehingga, dengan langkah cepat Raras berjalan menuju sisi toilet wanita. Ia membasuh muka untuk melunturkan segala pemikiran di kepala. ****** Sesaat usai keluar dari dalam toilet. Seorang pegawai pria terlihat menunggu Raras pada sisi depan ruang. Ia berkata, “Kulihat, kau baru saja membasuh wajahmu dengan banyak air. Apa kau sedang kepanasan, Ras? Apakah kau mengijinkan, jika aku membuatmu menjadi lebih panas?” Cih! Raras berdecik. Memandang tak suka pada seorang rekan, yang kerap menggoda ia selagi ada kesempatan. Lalu, ia berlalu pergi meninggalkan sang pria yang tak henti memperhatikan tubuh molek milik Raras. Merasa terus diperhatikan dengan seringai penuh napsu, Raras menghentikan langkah. Berujar, “Seharusnya, kau bersikap seperti Pak Ghibran. Dia tak pernah memandang wanita lain dengan tatapan seperti itu. Dia selalu menjaga pandangan pada lawan jenisnya.” Setelah berucap demikian, Raras benar-benar pergi meninggalkan posisi semula. Di sela berjalan, ia membatin. Pak Ghibran benar-benar pria idaman. Sepertinya, aku mengurungkan niat untuk mengubur perasaan ini. Aku akan berusaha untuk merebut hati Pak Ghibran. Dan, untukmu wahai wanita yang hendak dilamar oleh Pak Ghibran, lihatlah! Aku akan memastikan, jika kau tak memiliki kesempatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN