Kekerasan
Tangan bergetar, keringat dingin bercucuran di dahi gadis kecil yang sedang menatap selembar berkas yang diberikan oleh kepala sekolah. Kertas yang berisikan peringatan dari sekolah karena belum membayar uang sekolah.
Saat ini baru terasa rasa sesal yang mendalam, andai saja dulu dia mengikuti perkataan ibunya untuk tidak melanjutkan sekolah pasti dia tak memikirkan hal ini sekarang.
Sisil, gadis itu melihat Widya sedari tadi menghela napas lelah. Dia pun langsung menghampiri Widya. Dia menepuk sebelah bahu Widya. "Hei, kau tak apa?" Matanya melirik selembar kertas yang digenggam oleh Widya. Namun, Widya langsung saja menyembunyikan kertas tersebut.
"Tak apa, aku hanya merasa kelelahan." Sisil tau perangai Widya sedari dulu sering kali menyembunyikan kesedihannya.
Sisil pun duduk di samping Widya. "Aku ini seperti orang lain di kehidupanmu Widya." Widya menyerngitkan dahinya. "Jika kau ada kesedihan, lebih baik kau berbagi saja denganku. Kenapa kau menyembunyikan hal tersebut."
"Tak apa, aku bisa menyelesaikan ini sendiri." Widya tersenyum lembut dan mengelus lembut punggung tangan Sisil yang bertaut di atas pahanya. Sisil yang memiliki jiwa lembut, hatinya cepat sekali tersentuh dengan keadaan orang lain.
"Kau ada masalah apa?" Sisil bertanya kembali, berharap Widya akan terbuka masalah ini. Namun, hanya gelengan saja yang diberikan Widya sebagai respon. Akan tetaoi, tatapan tajam yang diarahkan Sisil kepada Widya membuat wanita itu sedikit takut lalu menunduk, "Aku sedang membutuhkan uang, bagaimana dengan ini?" Widya menunjukkan selembaran yang diberikan oleh sekolah kepada Sisil.
Sisil membaca dengan telaten, lalu menatap Widya sesaat. "Lebih baik kau bekerja dahulu, mungkin waktu satu minggu ini cukup untuk mencari uang." Sisil tersenyum lalu menarik tangan Widya untuk menuju ke suatu tempat. Widya mengangguk membenarkan perkataan dari Sisil. Bisa jadi, dia akan mendapatkan uang yang cukup untuk membayar biaya sekolahnya.
"Baiklah, aku akan pulang dengan segera. Terima kasih karena telah memberikan saran." Sisil mengangguk kepalanya.
Keduanya berpisah di gerbang sekolah, Widya pun melangkahkan kakinya dengan hati yang ragu. Ragu akan kedepannya, apa benar dia akan mendapatkan uang untuk membayar semuanya. Di dalam perjalanan, gadis tersebut jalan dengan menunduk sambil memikirkan solusi yang dialami dirinya sekarang. Terik matahari tak dihiraukan akibat pikiran yang sangat kalut. Lalu, dia mendongakkan kepalanya dan kebetulan sekali terdapat selebaran yang tertempel di kaca sebuah kedai kopi. Widya menghentikan langkahnya dan membaca dengan teliti isi dari selebaran tersebut. Senyum cerah terbit di wajah rupawan Widya dan dia pun merasa bersemangat kembali.
Dia pun menengok sebentar ke kedai kopi tersebut dan memberanikan dirinya untuk masuk ke dalam.
Widya memilin bawah bajunya dengan gugup dan menengok kanan kiri untuk mencari orang di dalam kedai tersebut. Tak lama kemudian, datanglah seorang laki-laki berbadan tambun, berumur paruh baya.
"Mau pesan apa Dik?" tanya bapak tersebut.
Widya terkesiap. "A-aku tidak membeli kopi Pak," jawab Widya. "T-tapi aku ingin melamar kerja di sini, Apakah masih ada lowongan kerja untuk menjadi pelayan?" tanya Widya.
"Kebetulan sekali belum ada yang melamar kerja, karena Bapak sendiri baru saja menempelkan selebaran di depan."
Widya bernapas lega. "Apakah aku boleh menjadi pelayan di sini Pak?" tanyanya.
"Lebih baik kita duduk terlebih dahulu di sana agar kita bisa membicarakan ini dengan nyaman." Bapak paruh baya itu pun menunjukkan kursi kosong di depan mereka.
"Kenalkan terlebih dahulu, Bapak sendiri bernama Dewo sekaligus pemilik kedai kopi ini."
"Aku Widya, Pak. Sekarang masih kelas tiga sekolah menengah atas dan sebentar lagi akan lulus," jawab Widya.
"Jadi kau ingin bekerja di sini?" tanya Dewo.
Widya mengangguk dengan mantap. "Iya, Pak. Aku lagi butuh uang untuk membayar uang sekolah saya," jelasnya.
"Baiklah kalau seperti itu, mulai sekarang dan seterusnya kau bisa langsung bekerja setelah selesai sekolah," ujar Dewo.
"Terima kasih, Pak."
"Baiklah, kalau seperti itu Widya bisa memakai baju ini untuk bekerja di sini. Layani dengan baik semua pelanggan dan terlebih penting lagi layani pelanggan seperti raja."
"Siap, Pak. Widya paham," angguk Widya.
Setelah percakapan mereka, Widya langsung saja bekerja dengan membersihkan kedai tersebut dan lumayan banyak pelanggan yang datang untuk sekedar memesan kopi atau bahkan memakan makanan manisnya.
"Permisi, Aku mau pesan kopi satu dan kue coklat satu."
"Baik, ditunggu ya Kak."
Widya langsung saja menyiapkan pesanan tersebut, karena terlalu bersemangat Widya pun tak sengaja tersenggol dengan kaki meja yang menyebabkan dirinya itu terpelanting ke depan dan parahnya lagi minuman yang dia bawa tumpah ke salah satu pelanggan kedai.
"Hei! Apa-apaan kau ini! kau telah membasahi baju mahal yang aku miliki!" bentak pelanggan tersebut. "Ah, sial!" umpatnya lagi.
"M-maaf Aku tak sengaja, Kak." Widya meneguk ludah dengan kasar.
"Tidak sengaja bagaimana! Makanya kalau jalan itu pakai mata!" sentaknya kembali.
"Maaf, Aku akan bertanggung jawab dengan membeli baju Kakak dengan yang baru."
"Cih! Bahkan gaji kau sebagai pelayan saja tidak cukup untuk membeli baju mahal aku ini!" decih pelanggan.
Dewo yang mendengar keributan di luar memutuskan untuk keluar dan melerai hal yang sedang terjadi.
"Maaf, Tuan atas semua kesalahan pegawai di sini," ujar Dewo.
Pelanggan tersebut menatap sinis Dewo dan Widya sambil memalingkan wajah. "Pelayanan di sini sangatlah buruk!" sarkas pelanggan tersebut.
"Apa yang bisa kami lakukan agar Anda bisa memaafkan kami?" tanya Dewo.
"Tidak perlu! Aku kecewa dengan pelayan di sini!"
Pelanggan tersebut akhirnya memilih untuk pergi dari kedai kopi tersebut karena dia telah kehilangan selera untuk menikmati secangkir kopi. Sepeninggalan pelanggan tersebut, Widya merasa sangatlah bersalah terlebih lagi hari ini adalah hari pertama dia bekerja.
"Pak," cicit Widya.
Dewo menghela napasnya dengan lelah dan memijat pelipisnya yang penting secara tiba-tiba. "Selesaikan pekerjaan kau sekarang," titahnya. Widya pun mengangguk kepalanya dan segera menyelesaikan pekerjaan dengan sangat hati-hati. Tak terasa, matahari pun telah tenggelam di ufuk barat, Widya pun masih membereskan semua pekerjaannya.
"Widya," panggil Dewo.
Widya menoleh. "Iya, Pak?" tanya Widya.
"Bapak sebelumnya minta maaf, lebih baik kau tidak bekerja lagi besok karena Bapak sendiri melihat kinerja yang kau miliki kurang baik dan takutnya pelanggan akan kabur."
"T-tapi, Pak? Widya minta maaf mengenai itu tapi bisakah Widya meminta keringanan? Widya janji tidak akan mengulanginya," ujarnya.
"Maaf." Dewo langsung menyodorkan selembar uang warna merah.
Widya pun mengangguk mengerti dan menerima uang tersebut dan segera meninggalkan kedai kopi tersebut dengan hati yang kecewa. Belum sempat hatinya merasa tenang, Widya mendengar suara ricuh dari dalam rumah. Lantas tanpa menunggu lama dia langsung saja membuka pintu rumah. Setelah dibuka, matanya sontak membulat, badannya langsung menggigil dan bercucuran keringat dingin tangannya tiba-tiba saja bergetar.
"Jangan sentuh Mama!" seru Widya.
Zio Pradipta yang sedang berdiri di depan istrinya langsung berbalik ke belakang dan menatap sinis anak perempuannya.
"Hei Bocah! Kau dengan wanita ini, sama-sama tidak bisa diuntungkan sama sekali!" decih Zio sambil meludahi wajah pucat pasi yang dimiliki oleh istrinya.
"Maksud Papa apa? Bahkan aku dan Mama sendiri bukanlah suatu barang yang dapat diambil keuntungannya, dan satu lagi Papa yang tak bisa diuntungkan disini, setiap hari hanya menghamburkan uang untuk berjudi." Tangan Widya mengepal, sorot matanya sarat akan kemarahan tak terima dengan perkataan papanya.
Widya dengan memberanikan dirinya melangkahkan kaki menuju mamanya. "Mama," sendu Widya.
"Widya!" teriak Zia secara tiba-tiba