Part 11

1598 Kata
"Kalian berdua kemarin kabur dari pesantren?" Volume suara Lala yang tinggi terdengar oleh teman-temannya yang lain. Beberapa dari mereka menoleh karena suara Lala. Sedangkan Hawa dan Nabila menatap sekelilingnya. Mereka tidak tahu mengapa Lala bisa mengetahui kejadian mereka kabur dari pesantren. Hawa dan Nabila berpikir bahwa hanya pengurus pesantren dan ketiga temannya saja yang tahu, tidak dengan Lala. "Kabur gimana maksudnya?" Retno yang ada di sebelah Lala jadi bertanya. "Ya, kabur, Retno. Hawa dan Nabila kabur dari pesantren karena nggak betah." jawab Lala, lalu tatapannya terarah kembali menatap Hawa dan Nabila bergantian. "Lagian, aku nggak kaget sih sebenarnya karena Hawa selalu ngeluh pengin pulang. Itu aja udah jadi salah satu bukti kalau emang beneran mereka kabur dari pesantren. Anak mami banget." seru Lala terkekeh membuat Hawa dan Nabila saling lirik dan hanya bisa menghela napas. Jika Lala sudah mengetahui berita atas kejadian kemarin, bisa dipastikan seisi pesantren akan tahu bahwa Hawa dan Nabila adalah santriwati yang kabur dari pesantren. Beberapa teman-teman dekatnya sudah tahu bahwa Lala memang selalu berbicara semaunya, asal ceplos, dan tidak memikirkan perasaan orang lain. Sudah sering sekali Lala ditegur oleh teman-temannya untuk menjaga ucapan, tetapi hal yang sama selalu Lala ulangi membuat teman-temannya tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa menghadapi Lala. "Wa, Bil, di pesantren ini bukan cuma kalian aja kok yang nggak betah. Ada beberapa santriwati yang juga nggak betah, pengin pulang ke rumah, pengin bebas, sama kayak aku. Tapi aku nggak pernah tuh ngelakuin hal-hal kayak kalian sampai nekat kabur dari pesantren. Malu-maluin banget. Apa kata orang kalau tahu santriwati di Pesantren An-Nur ternyata kelakuannya kayak kalian berdua?" Lala mendengkus, memutar bola mata jengah. Entah mengapa jadi dia yang sibuk menasihati Hawa dan Nabila. "Nekat banget, ya, kalian berdua. Kabur dari pesantren, tapi masih punya muka buat balik lagi ke pesantren." Lala geleng-geleng kepala tidak menyangka. Mendengar hal itu membuat Humaira yang duduk didekat Hawa dan Nabila jadi mendongak menatap Lala. Begitupun Azizah yang sedari tadi diam saja kini jadi memerhatikannya. Sedangkan Aisyah tidak bisa ikut sarapan pagi ini karena sudah lebih dulu izin untuk bekerja seperti biasanya. Teman-temannya yang lain sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka pagi ini. Melihat wajah Hawa yang menahan emosi membuat Humaira mengusap lengan Hawa, mengingatkan perempuan itu untuk sabar. Namun, Nabila justru berdiri dari kursinya hingga menimbulkan suara membuat teman-temannya yang lain jadi memerhatikan menoleh. Wajah Nabila terlihat kesal menatap Lala yang kini balas juga menatapnya. "La, bisa nggak sih kamu itu kontrol ucapan kamu. Kamu nggak sadar apa? Apa yang kamu lakuin ke temen-temen kamu dengan ngomong aneh-aneh tanpa jaga perasaan orang lain juga sama aja bikin malu pesantren kita. Kamu bilang ini dan itu sama aku dan Hawa, tapi kamu sendiri nggak sadar sama apa yang kamu lakuin." Suara Nabila yang bergetar membuat Salsabila, senior mereka, yang sejak tadi sibuk di kompor jadi menghampiri keributan di salah satu meja makan. Hal itu juga membuat Humaira dan beberapa teman-temannya yang lain ikut berdiri karena takut keributan semakin besar. "Kamu—" "Hei, Lala, Nabila, sudah!" Salsabila mencoba untuk melerai Nabila dan Lala agar tidak bertengkar. "Kalian kenapa? Pagi-pagi kok berantem? Nggak baik berantem. Jangan ribut-ribut kayak tadi, nanti kalau sampai ketahuan Umi Maryam dan yang lainnya, kalian bisa dipanggil, lho, ke kantor bahkan orangtua kalian juga bisa dipanggil ke sini." Salsabila menghela napas panjang, menatap Nabila dan Lala bergantian. "Udah, ya, jangan ribut lagi. Minta maaf dulu. Saling maaf-maafan biar tenang. Harus damai, seperti apa yang dikatakan oleh Umi Maryam." Nabila dan Lala saling membuang muka, enggan untuk mengikuti arahan Salsabila. Melihat hal itu membuat Hawa yang sejak tadi hanya diam jadi berbicara. "Tapi, Kak Salsa, yang salah itu Lala. Lala, tuh, dari tadi ngomong semaunya dia aja nggak jaga perasaan orang lain. Ini bukan kali pertama Lala kayak gitu, ini sudah sering terjadi. Nggak bisa dibiarin gitu aja dong, Kak Salsa. Harusnya Lala yang minta maaf." ujar Hawa membuat keadaan jadi hening. Humaira mengusap lengan Hawa dan Nabila bergantian. Posisinya saat ini di tengah untuk menenangkan kedua temannya agar tidak bertengkar dengan Lala. Salsabila menghela napas panjang. Menatap Hawa dan Lala bergantian. "Sudah, ya, jangan saling menyalahkan. Nanti lain kali Lala jangan asal ngomong yang bisa aja nyakitin hati temen-temen tanpa Lala sadari. Dipikirkan dulu, ya, sebelum ngomong. Bukan cuma buat Lala aja, tapi buat adik-adik semuanya. Tujuan kita di sini, kan, sama. Sama-sama mencari ilmu dunia akhirat. Kalau niatnya baik, insya Allah semuanya akan baik." Salsabila menatap sekeliling dapur yang luas. "Sebelum ada pengurus pondok yang tahu, lebih baik kalian baikan, ya. Jangan ribut lagi. Saling memaafkan itu indah. Allah aja Maha Pemaaf, masa kalian nggak mau saling memaafkan?" Salsabila tersenyum, di tangannya masih ada sendok sayur. "Bila, udah, ya, sabar. Minta maaf dulu, Bil. Salah atau nggak, yang penting kamu udah minta maaf. Itu lebih baik untuk saat ini, Bil." bisik Humaira membuat amarah Nabila sedikit mereda. Nabila menghela napas gusar, mengulurkan tangan lebih dulu ke hadapan Lala. Cukup lama Lala terdiam, hingga akhirnya suara teguran Salsabila terdengar kembali membuat Lala akhirnya membalas uluran tangan Nabila. "Aku minta maaf." ujar Nabila akhirnya. "Aku juga." balas Lala mengembuskan napas dan kembali duduk di kursinya. "Nah, gitu, kan, adem, tenang dilihatnya. Jangan ribut lagi, ya. Harus ikhlas minta maafnya. Damai, oke?" ujar Salsabila tersenyum lebar, lalu tatapannya menatap sekeliling. "Ayo, adik-adik yang lain silakan duduk lagi, ya. Makanannya udah matang, kita sarapan bareng-bareng dulu." Salsabila kembali ke tempatnya untuk membantu mempersiapkan makanan bersama yang lainnya juga. Usai keadaan lebih membaik, Humaira menenangkan Nabila untuk tidak terpancing lagi. "Udah, ya, Bil. Jangan terpancing lagi. Sabar, oke?" Nabila memejamkan mata, menghela napas sebelum akhirnya mengangguk. Dia benar-benar kesal dengan apa yang diucapkan Lala. Meski apa yang diucapkan Lala ada benarnya, tetapi tetap saja di telinga Nabila, ucapan Lala sungguh mengganggu dan menyakiti hatinya. Seharusnya Lala bisa berucap lebih baik lagi dalam memilih kata. Andai saja Salsabila dan teman-temannya yang lain tidak melerai perdebatan keduanya, mungkin sampai saat ini belum selesai mempertahankan argumen masing-masing. Namun, kini Nabila sadar bahwa dia sudah melakukan kesalahan kemarin. Tidak seharusnya dia memperumit masalah dengan bertengkar dengan Lala seperti tadi. Ah, teringat dengan kejadian kemarin membuat Nabila ingat bahwa hari ini orangtuanya akan datang untuk menemui Maryam atas permasalahan yang sudah Nabila perbuat. Sedangkan Hawa sedari tadi memilih untuk diam saja dengan mata berkaca-kaca. Cepat-cepat dia segera mengusap matanya agar tidak ada orang yang tahu bahwa dia menangis. Hawa menarik napaa dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan hatinya. *** Sepulang bekerja, Aisyah pergi ke klinik di mana tempat ayahnya dirawat kemarin. Aisyah berjalan kaki sendirian. Langkah kaki menuntun dirinya untuk masuk ke ruangan rawat inap ayahnya. Saat masuk ke ruangan, Aisyah mendapati ibunya yang sedang merapikan beberapa pakaian ke dalam tas. "Assalamualaikum, Pak, Bu." Aisyah mencium tangan ayah dan ibunya bergantian. "Waalaikumsalam." Aisyah menatap sekeliling ruang rawat inap ayahnya yang kecil. "Adik-adik udah berangkat sekolah?" tanya Aisyah yang dibalas anggukan oleh ibunya. "Iya, adik-adik kamu tadi sudah berangkat, Syah. Tadinya mereka nggak mau sekolah karena pengin jagain Bapak di sini, tapi Ibu sama Bapak nolak. Biar mereka sekolah." Aisyah menganggukan kepalanya. "Bapak keadaannya gimana sekarang?" tanya Aisyah menatap ayahnya. "Alhamdulillah, Bapak udah sehat kok. Bapak, kan, sudah bilang kalau Bapak tidak apa-apa, Aisyah." Ayahnya terkekeh sembari terbatuk membuat Aisyah cepat-cepat mengambil air dalam gelas yang terletak di atas nakas. Aisyah membantu ayahnya untuk minum. "Bapak tidak apa-apa." ujar ayahnya lagi usai minum. Aisyah menghela napas panjang. Selalu kalimat itu yang keluar dari mulut ayahnya. "Bapak nggak apa-apa kok kalau Bapak bilang lagi nggak baik-baik saja." ujar Aisyah yang dibalas senyuman oleh ayahnya. Jelas terlihat sorot khawatir Aisyah melihat keadaan ayahnya saat ini. Tatapan Aisyah jatuh pada aktivitas ibunya yang sedang menutup resleting tas. "Ibu beres-beres emang mau ke mana?" tanya Aisyah ketika ibunya sudah mengumpulkan barang-barang yang sudah dirapikan, dan beberapa dimasukan ke tas. "Bapak hari ini pulang." ujar ibunya tanpa menoleh. "Bapak udah boleh pulang ke rumah sama dokter, Bu?" tanya Aisyah antusias, lalu menatap ayahnya. "Beneran, Pak?" Ayahnya mengangguk membuat Aisyah tersenyum lebar. Melihat hal itu membuat ibunya hanya bisa menghela napas pasrah tanpa mengatakan apa-apa. Dia bahkan tidak tahu harus bagaimana. "Dokter bilang kalau Bapak sudah boleh pulang hari ini." Sang ayah tersenyum hangat yang otomatis menular pada Aisyah. "Alhamdulillah kalau Bapak udah boleh pulang. Nanti di rumah Bapak nggak boleh capek-capek, Pak. Bapak harus banyak istirahat. Kalau bisa Bapak berhenti bekerja. Biar Aisyah aja yang tetap kerja, Pak." ujar Aisyah yang langsung mendapat gelengan kepala dari ayahnya. "Nggak bisa begitu, Aisyah. Bapak ini, kan, kepala keluarga. Sudah seharusnya Bapak yang cari nafkah buat kalian semua. Bapak nggak bisa berhenti bekerja begitu saja. Ada tanggung jawab yang harus Bapak penuhi. Bapak baik-baik aja kok. Bapak senang melakukan pekerjaan Bapak. Kamu nggak usah khawatir, Bapak akan jaga kesehatan kok." Aisyah menghela napas. Memaksa pun tidak akan ada gunanya untuk saat ini. Ayahnya akan keras kepala untuk tetap bekerja. Jika saja Aisyah bisa memilih, Aisyah ingin menggantikan posisi ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Aisyah tidak ingin ayahnya menganggung beban yang begitu berat. Terlebih adik-adiknya juga masih sekolah dan membutuhkan biaya. "Tapi Bapak nggak boleh terlalu capek. Jangan langsung kerja dulu, Pak. Bapak harus pulih dulu, istirahat yang banyak di rumah biar tenaganya kuat lagi. Aku tahu Bapak itu orang yang kuat, tapi bukan berarti Bapak nggak istirahat." "Siap, Tuan Putri. Bapak akan banyak istirahat seperti yang Tuan Putri katakan." Aisyah tersenyum mendengar kalimat itu keluar dari mulut ayahnya. Ayahnya selalu tahu cara menenangkan Aisyah. Meski semua terlihat sederhana, tetapi Aisyah bersyukur bisa memiliki keluarga yang selalu ada untuknya, keluarga yang bisa mendukungnya, membantunya. Aisyah berharap bahwa suatu hari nanti dia bisa membawa kedua orangtuanya pada kehidupan yang lebih layak dari hari ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN