Sedari tadi kepala Hawa terus tertunduk. Tidak berani menatap kedua mata orangtuanya yang kini sudah ada di hadapannya. Setelah orangtuanya bicara dengan Maryam, kini Hawa hanya bisa diam ketika berhadapan dengan mereka.
Hingga helaan napas keluar dari mulut abinya. Menatap anak bungsunya yang terus menunduk. "Abi hanya ingin yang terbaik untuk Hawa."
Hawa tahu bahwa orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Hawa tahu bahwa orangtua pasti menyayangi anaknya, menginginkan anak-anaknya hidup bahagia. Begitupun dengan kedua orangtuanya. Hawa berusaha untuk memahami itu.
"Abi dan Umi hanya ingin Hawa hidup dengan baik. Bukan hanya untuk dunia, tapi juga untuk bekal di akhirat. Hawa harus paham itu." ujar abinya lagi membuat Hawa mengangguk pelan. "Sekarang lihat Abi!" Hawa mendongak memberanikan diri menatap abi dan uminya bergantian. "Alasan apa yang membuat Hawa sampai harus kabur dari pesantren? Kenapa? Tolong ceritakan sama Abi dan Umi."
Hawa terdiam, menelan salivanya susah payah. Dia tahu bahwa hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Namun, sebelumnya yang dia pikirkan hanyalah pergi dari pesantren dan memberontak pada abinya bahwa dia tidak betah. Hawa sudah merencanakan semuanya sejak lama. Sayangnya ketika mereka saling berhadapan di situasi seperti ini, sulit bagi Hawa untuk memberontak seperti apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Setidaknya, orangtuanya harus tahu bahwa Hawa tidak betah.
"Hawa dengar Abi, kan?" Suara abinya terdengar lagi membuat Hawa terdiam.
Melihat hal itu membuat uminya mengusap punggung tangan Hawa lembut. "Hawa, cerita sama Abi dan Umi. Nggak apa-apa kok."
Hawa menarik napas dalam-dalam, meyakinkan dirinya untuk mengatakan sesungguhnya apa yang dia rasakan.
"Hawa nggak betah di sini, Abi, Umi. Hawa mau pulang. Hawa mau sekolah seperti biasa. Di sini semuanya banyak peraturan yang harus Hawa ikuti. Bahkan untuk ketemu Abi sama Umi aja harus nunggu waktu tiga bulan sekali. Setiap hari Hawa harus antre untuk mandi, mencuci, makan, dan lain-lain sebagainya. Beda sama di rumah, Hawa bisa melakukan apa pun yang Hawa mau. Ketemu Abi dan Umi setiap hari, dimasakin makanan kesukaan Hawa sama Umi. Hawa cuma kangen sama Abi dan Umi." ungkap Hawa membuat abi dan uminya saling pandang.
Berat untuk Hawa menerapkan kebiasaannya di pesantren. Selama ini, Hawa tumbuh menjadi anak yang memiliki kasih sayang penuh dari keluarga. Selain karena anak bungsu, Hawa yang paling menyita semua perhatian orang-orang rumah hanya untuk Hawa. Hawa merasa menjadi anak yang spesial ketika di rumah. Orangtuanya tak pernah tak ada untuk Hawa. Di saat Hawa sedih dan tidak baik-baik saja, dia akan menceritakan pada uminya. Menangis tanpa harus menahan malu. Tidak memendam luka dan masalah seorang diri. Hawa merasa semua orang di rumahnya ada untuk Hawa.
Hingga dia berada di pesantren, Hawa merasa kehilangan perhatian keluarganya. Kebiasaan yang harus Hawa lakukan di pesantren sangat jauh dari kebiasaan saat dia di rumah.
Sebelumnya, Hawa tidak pernah jauh dari orangtuanya. Hawa tidak pernah ditinggal jauh. Hawa selalu berada dekat dalam domain keluarganya. Keluarga yang hangat untuk Hawa, keluarga yang selalu dirindukannya setiap saat.
"Hawa mau pulang, Umi, Abi. Hawa nggak mau pisah sama Umi dan Abi."
Pernah saat hari pertama Hawa berada di pesantren, malamnya dia tidak bisa tidur dan menangis semalaman hanya karena merindukan orangtuanya. Sampai-sampai hal itu membuat Maryam dan para pengurus pondok lainnya tidak bisa tidur karena harus memastikan keadaan Hawa. Bahkan di minggu pertama Hawa berada di pesantren, dia selalu menangis setiap hari dan meminta Maryam untuk menelepon kedua orangtuanya. Awalnya Maryam membiarkan hal itu, memberikan kesampatan di awal pertama kali Hawa berada di pesantren. Namun, hal itu tidak lagi dilakukan seperti menelepon kedua orangtuanya setiap saat karena akan menganggu fokus belajar Hawa dan juga harus tetap memberlakukan ketentuan dan peraturan yang sudah ditetapkan.
"Abi ingin Hawa belajar mandiri. Hawa sudah besar sekarang, sudah jadi anak gadis. Abi ingin lingkungan pergaulan Hawa baik dan bisa mengarahkan Hawa ke arah yang jauh lebih baik lagi. Abi tidak ingin Hawa terlena dengan nikmatnya dunia. Abi melakukan ini karena Abi sayang sama Hawa, Abi peduli sama Hawa. Abi ingin yang terbaik untuk Hawa." Helaan napas keluar dari mulut abinya, dia menyuruh Hawa untuk duduk mendekat.
Dengan air mata yang membasahi pipi, Hawa menghampiri abinya dan duduk. Dekapan sang Abi membuat Hawa sedikit lebih tenang. Kedekatan mereka sangat dekat. Hal itu juga yang membuat Hawa selalu ingin pulang ke rumah untuk bertemu dengan orangtuanya.
"Abi tahu Hawa anak yang sangat baik. Abi yakin bahwa di sini, Hawa akan tumbuh menjadi perempuan yang shalehah, perempuan yang cerdas, perempuan yang berakhlak mulia. Tidak ada hal di dunia ini yang mudah, Hawa. Semuanya butuh waktu dan proses. Hawa butuh waktu untuk beradaptasi dan berproses di pesantren ini. Jika memang niat Hawa baik karena Allah, insya Allah apa yang Hawa lakulan ini berkah dan tidak akan sia-sia." ujar abinya panjang lebar membuat Hawa semakin menangis. "Dan memangnya Hawa mau kembali ke sekolah biasa?"
Pertanyaan abinya membuat Hawa seketika teringat dengan kepingan memori pahit dalam kepalanya. Saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar kelas dua, Hawa tidak diajak oleh teman-temannya. Hawa bahkan tak memiliki teman. Teman-teman sekolahnya selalu mengolok-olok Hawa di kelas. Yang Hawa lakukan hanyalah menyendiri karena Hawa pendiam. Hal itu berlangsung sampai kelas enam SD. Hawa merasakan kesepian tak ada teman bertahun-tahun lamanya. Beruntung ketika di rumah, dia selalu disapa hangat oleh orangtuanya. Hawa mendapatkan keluarga yang baik dan peduli padanya.
Hawa hanya bisa terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Hawa tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.
Sedangkan di tempat lain, Nabila juga sedang disidang oleh kedua orangtuanya. Lebih tepatnya ayahnya. Nabila sadar betul bahwa dia bisa berada di pesantren ini atas keinginan ayahnya. Nabila sudah menolak, tapi keputusan ayahnya tidak bisa diganggu gugat. Sejak dulu, keputusan ayahnya adalah hal mutlak untuk Nabila. Meski beberapa kali ayahnya juga harus mempertimbangkan keinginan Nabila, tapi untuk kali ini tidak.
"Ayah ingin Nabila jadi anak yang baik."
Semua orangtua pasti menginginkan anak-anak yang berbakti dan penurut. Begitupun dengan orangtua Nabila yang juga menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Nabila adalah anak satu-satunya. Ayahnya menginginkan Nabila menjadi anak yang mandiri. Berbeda dengan ibunya yang justru terlalu memanjakan Nabila karena dirasa anak satu-satunya.
"Nabila nggak betah, Yah, Bun. Nabila nggak betah ada di sini. Semua hal harus Nabila lakuin sendiri. Nabila harus cuci baju, cuci piring, beres-beres, nyapu, belum lagi Nabila harus bangun sebelum subuh dan banyak hapalan yang harus Nabila hapalkan." Nabila menangis, air mata membasahi pipinya yang gembil.
"Itulah alasan Ayah meminta kamu untuk berada di pesantren, Sayang. Ayah ingin kamu jadi anak yang mandiri. Belajar bertahan dari kerasnya dunia. Kamu anak satu-satunya untuk Ayah dan Bunda. Kami mengirimkan kamu ke pesantren bukan karena kami udah nggak sayang, tapi justru kami sangat peduli dengan kamu, Sayang. Ayah ingin anak ayah satu-satunya ini bisa menjadi seorang penghapal Al-Qur'an. Kelak, kamu akan ajak Ayah dan Bunda ke syurganya Allah. Insya Allah, Nak."
Nabila terus menangis mendengar ucapan ayahnya. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana.
"Ayah paham dengan apa yang kamu rasakan saat ini. Ayah tahu kamu merasa kesulitan. Ingatlah, Nabila, bahwa di dunia ini tidak ada yang mudah. Selalu ada liku dalam setiap perjalanan. Ayah ingin kamu belajar makna kehidupan yang sesungguhnya. Ayah tahu kehidupan kamh di pesantren dengan di rumah sangat jauh berbeda. Ayah ingin kamu tumbuh menjadi anak yang mandiri dan berbakti."
Nabila menangis di pelukan sang ibu. Tangan ibunya mengusap punggung Nabila, berusaha menenangkan. "Apa yang Ayah katakan itu benar, Sayang. Kami hanya ingin kamu tumbuh baik. Kami sayang sekali sama kamu, Nak. Tapi mungkin ini cara yang terbaik untuk mendidik kamu jadi lebih baik lagi seperti yang Ayah katakan." Mata ibunya berkaca-kaca membuat ayahnya menghela napas.
Ada jeda beberapa saat sebelum suara ayahnya kembali terdengar.
"Nabila, tolong bertahan di sini demi kebaikan kamu. Ayah dan Bunda akan selalu memantau dan memastikan kamu baik-baik saja. Kamu nggak usah khawatir sama Ayah dan Bunda. Kami akan baik-baik saja." Tangan ayahnya mengusap kepala Nabila pelan. "Berikan Ayah dan Bunda kesempatan untuk mendidik dan membesarkan anak dengan baik. Jangan mengulang kesalahan yang sama. Jangan kabur lagi, Sayang. Ayah dan Bunda selalu mendoakan kamu untuk tetap baik-baik saja. Jangan coba-coba nekat pulang ke Bandung, Ayah tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Nabila. Tolong nurut sama Ayah."
Nabila kesulitan untuk menjelaskan semua apa yang dirasakannya pada orangtuanya. Nabila tidak tahu harus memulai menjelaskan semua perasaannya dari mana. Lidahnya terasa kelu usai mendengar perkataan ayahnya. Nabila tahu bahwa berbicara dengan ayahnya tak akan mungkin menang dalam hal seperti ini. Jika sudah seperti ini, Nabila tidak bisa memaksakan kehendaknya lagi. Sudah tidak ada pilihan lagi selain menerima apa yang sudah menjadi nasibnya.
"Insya Allah berkah untuk kehidupan kamu." ujar ayahnya lagi. "Oh iya, gimana untuk hapalan kamu? Lancar?"
Nabila melepaskan dekapan ibunya. Menatap lurus ke depan dan mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Nabila kesulitan mengapal, Yah."
"Nggak apa-apa. Ayah yakin Nabila pasti bisa melewati semua ini dengan baik. Ayah yakin kamu pasti bisa menjadi seorang penghapal Al-Qur'an." Ayahnya tersenyum, menatap putri semata wayangnya. "Nabila, Ayah titip satu hal sama kamu, tolong jangan sia-siakan kesempatan ini. Jaga dengan baik amanah Ayah dan Bunda."
Untuk yang ke sekian kalinya, Nabila hanya bisa mengangguk pasrah. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menerima semuanya dengan sabar. Nabila tahu ini semua akan sangat sulit dijalani. Namun, permintaan ayah dan bundanya membuat Nabila tidak boleh mundur begitu saja.
"Jadi anak yang baik, ya, Nak." pesan ibunya membuat Nabila mengangguk lagi. "Kami sayang sama kamu, Nak. Kamu satu-satunya yang berharga buat kami. Kamu boleh merasa bahwa keadaan kamu sedang sulit, tapi Bunda mohon sama kamu untuk tidak menyerah, Sayang. Bunda percaya kamu bisa melakukannya dengan baik. Ayah dan Bunda akan selalu ada untuk kamu."
Nabila menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk menenangkan hatinya sendiri.
"Maafin Nabila, Yah, Bun."
***