"Bapak kamu gimana, Syah?" Humaira yang menyadari kedatangan Aisyah kini menghampiri perempuan itu dan duduk di sebelahnya.
"Alhamdulillah, Ra. Kayaknya Bapak cuma terlalu capek aja, kurang istirahat." Aisyah tersenyum, berusaha untuk baik-baik saja di hadapan orang lain.
Aisyah tidak ingin semua orang tahu apa yang dirasakannya. Cukup dirinya sendiri yang bisa merasakannya. Sejatinya, Aisyah tahu bahwa tidak ada yang memahaminya dengan lebih baik selain dirinya sendiri. Aisyah mencoba untuk menahan dan memikul semua bebannya sendirian. Meski kerap kali Aisyah harus tertatih berjalan dalam hidupnya yang tidak mudah.
"Alhamdulillah kalau gitu. Kamu nggak nginep di sana?" tanya Humaira lagi membuat Aisyah menggeleng pelan.
"Besok, kan, aku harus kerja. Bapak udah dijagain sama Ibu dan adik-adik kok. Bapak dan Ibu juga nyuruh aku buat balik ke pesantren."
Humaira menganggukan kepala, menatap Aisyah yang kini kembali diam setelah berbicara. Cukup lama Humaira memerhatikan raut wajah Aisyah hingga sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari mulutnya.
"Kamu pernah ngerasa berat buat jalani hidup, Syah?"
Pertanyaan Humaira berhasil membuat Aisyah menoleh, alisnya terangkat seolah sedang mencerna pertanyaan Humaira. Bola mata Aisyah bergerak, melihat teman-teman satu kamarnya yang lain sudah tertidur, ada juga yang sedang mengaji. Ada jeda beberapa saat sebelum Aisyah menjawab pertanyaan Humaira.
Aisyah tidak tahu mengapa Humaira justru menanyakan hal itu tiba-tiba. "Aku kelihatan banyak beban, kah?" Bukannya menjawab, Aisyah justru balik bertanya membuat Humaira tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Nggak juga. Aku cuma mau nanya aja, apa hidup kamu terasa berat, Syah? Atau kamu merasa punya banyak beban?" tanya Humaira membuat Aisyah mengerjapkan matanya. Aisyah berusaha mencerna pertanyaan Humaira, mencari jawaban yang tepat.
Pertanyaan Humaira barusan sangat relate dengan apa yang dirasakan Aisyah. Pertanyaan sederhana yang ternyata punya dampak besar buat orang yang akan menjawabnya seperti Aisyah. Aisyah bahkan tidak tahu bagaimana cara merangkai kata yang tepat. Dia tidak yakin.
"Bapakku bilang, hidup itu nggak mudah. Tapi, nggak mudah bukan berarti nggak bisa dilakukan. Bapakku selalu bilang kalau hidup nggak selamanya mulus dan baik-baik aja, selalu ada hal-hal nggak terduga yang mengejutkan dalam hidup kita. Aku pikir mungkin iya bebanku berat, tapi aku berpikir lagi kayaknya beban orangtuaku yang jauh lebih berat, Ra. Aku pikir kayaknya apa yang aku rasain sekarang nggak seberapa dengan apa yang orangtua aku rasain. Bapakku juga selalu bilang kalau kita di uji, harus bersyukur. Itu artinya Allah sayang sama kita, inget sama kita, peduli sama kita. Harus bersyukur karena bisa diingat Allah. Justru kalau hidupnya lancar tanpa kendala padahal seseorang itu nggak pernah ibadah dan melakukan hal baik dalam hidupnya, itu yang paling bahaya."
Humaira terdiam mendengarnya. Perlahan, salah satu sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum miris membayangkan hubungan keluarganya yang kini tak lagi harmonis. Humaira selalu mendengar Aisyah bercerita mengenai nasihat-nasihat ayahnya. Terkadang Humaira juga ingin bisa merasakan kedekatan dengan sang ayah. Namun, rasanya setelah mendengar kalimat perceraian dari orangtuanya kemarin, Humaira merasa ragu bahwa dia akan dekat dengan sang ayah.
Rasa kecewa yang Humaira rasakan begitu menyakitkan. Humaira selalu berpikir bahwa keluarganya akan baik-baik saja, tapi ternyata ada sesuatu hal yang tidak pernah Humaira duga akan menjadi kenyataan. Sebuah perceraian kedua orangtua yang tak pernah Humaira inginkan.
Humaira tidak tahu bagaimana cara meminta kedua orangtuanya untuk tidak berpisah. Bahkan kedua orangtuanya pun saat ini tidak menghubungi Humaira atau sekadar menanyakan keadaan Humaira setelah mereka datang untuk mengatakan perceraian. Mungkin orangtuanya sedang sibuk mengurus perceraian yang Humaira bahkan tak tahu apa alasan mereka memilih bercerai.
"Bapak kamu itu luar biasa ya, Syah." ujar Humaira membuat Aisyah menoleh dan tersenyum. Humaira menghela napas, kemudian berbicara lagi. "Apa jadi dewasa itu menyenangkan, ya, Syah?" tanya Humaira menatap lurus ke depan. "Apa orang-orang dewasa itu senang dengan hidupnya?"
Aisyah menggelengkan kepalanya. "Mungkin iya, mungkin juga nggak. Aku nggak tahu gimana rasanya, tapi Bapakku bilang kalau jadi dewasa itu jauh lebih rumit. Tantangannya lebih besar. Ya, kita baru aja kelas satu SMP, masih proses buat jadi dewasa. Nikmatin dulu aja kita yang sekarang, Ra. Semua akan kebagian kok."
Selama berteman dengan Aisyah, Humaira jarang mendengar Aisyah mengeluh. Bahkan Aisyah nyaris tidak pernah mengeluh dengan hidupnya. Aisyah selalu bisa menerima apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Namun, meski begitu Aisyah juga tetap bisa merasakan sedih. Aisyah hanya manusia biasa yang juga seperti kebanyakan manusia lainnya. Aisyah hanya berusaha untuk bertahan dalam keadaannya saat ini.
"Kenapa kamu nggak pernah ngeluh, Syah?" tanya Humaira lagi. Entah mengapa dia ingin sekali banyak bertanya dan mengajak Aisyah mengobrol. Humaira ingin mendengar nasihat-nasihat yang selalu ayah Aisyah sampaikan yang barangkali bisa membuat hati Humaira setidaknya sedikit lebih baik.
Pertanyaan Humaira tadi membuat Aisyah tertegun. Dia mengerjapkan matanya, terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab. "Aku berusaha untuk menjalani hidup aku, Ra. Alasan aku cuma Bapak dan Ibuku. Mereka yang jadi penyemangat aku buat bertahan sampai detik ini. Cuma mereka, Ra. Mungkin kamu juga merasakan hal yang sama." balas Aisyah tersenyum lagi.
Mendengar hal itu, Humaira lagi-lagi tersenyum miris. Dia menunduk, tanpa terasa air matanya menetes dan terisak membuat Aisyah yang duduk di sebelahnya langsung menyadari hal itu.
"Ra, kamu kenapa?" tanya Aisyah khawatir. Dia langsung mengusap punggung temannya itu.
"Aku nggak tahu alasan aku apa, Syah. Aku nggak yakin sama alasan hidupku sendiri." Humaira terisak, tapi dengan cepat dia menghapus air matanya dan berhenti menangis karena takut membangunkan teman-temannya yang lain yang sudah tertidur.
"Kamu kalau mau nangis, nangis aja, Ra. Jangan dipendem kalau emang nangis bisa bikin kamu setidaknya jadi lebih baik. Kata Bapak aku, nangis bukan berarti kita cengeng, nangis itu perasaan kita yang sebenarnya tentang keadaan, nangis itu anugerah supaya kita tahu nikmatnya senyum dan bahagia."
Humaira tersenyum mendengarnya. "Kamu deket banget, ya, sama Bapak kamu, Syah?"
"Dari kecil, aku emang paling deket sama Bapak aku, Ra. Bapak selalu jadi idola aku, Bapak selalu ada buat aku dan jadi pahlawan buat anak-anaknya. Meski semua yang dilakukannya terlihat sederhana di mata orang lain, tapi di mata aku, Bapak itu luar biasa banget. Bapak aku nggak pernah marahin aku. Bukan karena Bapakku nggak sayang, tapi itulah cara Bapak menunjukkan kasih sayangnya dengan penuh kasih. Bapak aku bilang, tiap orangtua itu selalu punya cara buat nunjukkin kasih sayangnya sama anak. Ada yang memang kelihatannya biasa saja, tapi jauh dari kata itu, orangtua selalu cinta sama anak-anaknya." ujar Aisyah yang berhasil membuat Humaira terdiam mendengarnya. "Cinta pertamanya anak perempuan, kan, Bapak, Ra."
Kalimat terakhir yang diucapkan Aisyah membuat hati Humaira sedikit tersayat. Ada luka yang Humaira tak tahu mengapa tiba-tiba hadir tanpa sebab. Seperti orangtuanya yang mengatakan akan bercerai tanpa Humaira tahu apa sebabnya.
Cinta pertama seorang anak adalah ayah.
Kalimat itu sering sekali Humaira dengar dari banyak orang. Dulu, Humaira bersikap biasa saja saat mendengar kalimat itu. Namun, setelah dia mengetahui bahwa ayah dan ibunya akan bercerai, kalimat itu terdengar mengerikan di telinga Humaira.
Humaira dan ayahnya tidak begitu dekat seperti Aisyah. Ayahnya terkadang sibuk bekerja hingga menyita banyak waktu dengan keluarga. Mereka akan menghabiskan waktu di akhir pekan bersama. Selebihnya ayahnya harus bekerja bahkan terkadang ke luar kota.
Komunikasi yang terjalin di antara keluarganya sangat baik. Namun, Humaira terkadang segan untuk mengatakan secara langsung bahwa dia menyayangi ayahnya. Humaira merasa malu untuk mengungkapkan kasih sayang kepada orangtuanya. Komunikasi yang terjalin di antara Aisyah dengan ayahnya membuat Humaira juga menginginkan hal yang sama.
"Gimana kalau seorang ayah itu ternyata mematahkan cinta pertama anak perempuannya?" tanya Humaira menatap Aisyah. "Gimana nasib anak perempuannya untuk percaya lagi dengan kasih sayang dan cinta kalau semua itu udah dipatahkan oleh ayahnya?"
Pertanyaan Humaira membuat Aisyah terkejut. Terlebih ekspresi wajah Humaira terlihat sedikit muram, berbeda dari biasanya. Aisyah menyadari perubahan raut wajah Humaira beberapa hari belakangan ini. Namun, Aisyah juga tidak bisa memaksa Humaira untuk menceritakannya.
Aisyah bingung harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu pasti dengan apa yang akan diucapkannya. Aisyah takut jika ucapannya akan meyakiti atau menyinggung hati Humaira.
"Aku jadi pengin ngerasain rasanya deket sama Ayahku. Kayak kamu dan Bapak kamu, Syah. Kayaknya menyenangkan. Ayahku kadang sibuk sama kerjaan. Aku maklumi itu kok. Ibu selalu bilang kalau Ayah kerja juga buat aku dan adik. Buat sekolah kami. Tapi, aku merasa jauh." Humaira menghela napas panjang.
"Jangan banding-bandingin hidup kita sama hidup orang lain, Ra. Kita nggak akan pernah merasa cukup nantinya, kita akan capek, kita akan sakit hati. Itu nggak sehat buat hati kita. Bapak aku selalu berpesan kayak gitu kalau aku mikir teman-temanku ternyata hidupnya enak, semua serba berkecukupan dan ada, sedangkan aku nggak. Justru aku akan capek dengan perbandingan yang aku buat sendiri." Aisyah menepuk pundak Humaira pelan. "Udah malem, Ra. Kita istirahat yuk? Yang lain udah pada tidur juga kok."
Humaira mengangguk dan beranjak menuju kasurnya dengan isi kepala yang penuh dengan pertanyaan. Dia menghela napas panjang ketika sudah sampai di kasurnya. Dia melihat Humaira sedang merapikan beberapa peralatannya dan tempat tidur.
Humaira tidak bisa tidur. Pikirannya terus tertuju dengan perceraian kedua orangtuanya yang cepat atau lambat akan terjadi. Humaira selalu berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk dan sebentar lagi dia akan terbangun dari mimpinya. Namun sayang, Humaira sadar apa yang dialaminya saat ini adalah kenyataan.
Humaira tidak sadar bahwa sesuatu yang mulanya baik-baik saja ternyata bisa berubah dalam sekejap. Humaira lupa bahwa ternyata hidup ini penuh dengan kejutan dari semesta yang tidak pernah dia sadari.
Cukup lama Humaira terduduk di kasurnya, lalu dia merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit ruangan dengan perasaan hampa. Hingga tak terasa ujung matanya sedikit basah oleh air mata. Humaira mengangkat kedua tangannya, merapalkan doa dan berharap bahwa besok akan ada hal baik yang bisa membuatnya senang. Mungkin untuk saat ini yang bisa dilakukannya hanya berdoa. Berharap semuanya lekas membaik.
***