Hawa dan Nabila di sidang pada saat mereka kembali ke pesantren bersama Zaenab. Di kantor, sudah ada Maryam dan salah satu pengurus lain yang bernama Fatimah. Mereka memberikan kesempatan untuk Hawa dan Nabila menceritakan semuanya dan alasan mereka pergi begitu saja dari pondok pesantren. Tak ada pilihan lain, berbohong pun pasti akan ketahuan karena Zaenab sudah mengetahui cerita mereka saat Nabila yang menceritakannya.
Hawa dan Nabila terpaksa menceritakan semuanya kepada Maryam.
"Hawa nggak betah di pesantren. Hawa pengin pulang aja, Umi." ujar Hawa jujur, begitu pun dengan Nabila yang mengungkapkannya secara terang-terangan.
Mereka tahu bahwa Maryam memang baik, tetapi Maryam sangat tegas dan membuat para santriwati segan kepadanya.
"Umi tahu, sulit untuk kalian menerima semua ini. Umi tahu, mungkin ada beberapa peraturan yang membuat kalian tidak nyaman. Tetapi, Umi tidak bisa mengubah peraturan yang ada hanya untuk memenuhi standar dan keinginan para santriwati. Pesantren An-Nur ini yang terbaik, setidaknya untuk saat ini terbaik di Kota Karawang. Sudah mulai banyak yang mengenal pesantren kita. Dan, Umi rasa perbuatan yang kalian lakukan ini bisa dengan mudah merusak nama baik pesantren." Maryam menghela napas menatap Hawa dan Nabila bergantian. "Kabur dari pesantren itu bukan hal yang baik, Hawa, Nabila. Hidup memang nggak selalu mudah, tapi Allah janji bahwa setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Itu yang Allah janjikan dalam hidup kita. Sekarang kalian sudah beranjak remaja, tidak lagi anak kecil yang harus merengek meminta ini dan itu." Maryam tersenyum penuh arti. "Hawa, Nabila, ini adalah kehidupan. Nggak semua hal yang kita suka adalah baik untuk kita. Dan, nggak semua hal yang nggak kita suka adalah buruk untuk kita. Manusia nggak pernah tahu apa-apa soal hidupnya. Boleh jadi, apa yang Hawa dan Nabila tidak sukai, ternyata itu yang terbaik, atau mungkin sebaliknya. Satu hal yang ingin Umi katakan bahwa selalu ada hal baik dalam hidup kita." ujar Maryam lagi menghela napasnya gusar.
Hawa dan Nabila hanya bisa diam mendengarkan. Mereka tak lagi membantah ucapan Maryam.
"Ini adalah bagian dari risiko yang kalian dapatkan setelah apa yang kalian lakukan hari ini. Kalian harus berani bertanggung jawab, hal sekecil apa pun, tanggung jawab adalah hal yang penting. Beruntung saat kalian tersesat bisa bertemu dengan Bu Zaenab, coba kalau tidak? Bagaimana nasib kalian di sana? Dengan siapa kalian di sana? Bagaimana jika ada yang berbuat jahat kepada kalian? Umi benar-benar khawatir saat Bu Zaenab mengatakan keberadaan kalian. Umi khawatir kalian kenapa-kenapa. Kalian tanggung jawab Umi. Semua santriwati di sini tanggung jawab Umi selama di pesantren. Jika terjadi apa-apa, Umi yang harus turun tangan." ujar Maryam usai mengambil ponselnya di atas meja. "Umi sudah menghubungi orangtua kalian. Umi meminta orangtua kalian untuk datang ke sini menyelesaikan semuanya dengan baik. Umi harap kalian bisa bertahan dengan baik di pesantren. Tumbuh bersama dengan baik di pesantren. Kalian itu orang-orang pilihan yang ditunjuk Allah untuk berada di pesantren. Masya Allah, kalian harus syukuri itu, ya. Umi yakin tidak ada perjuangan yang sia-sia jika kalian melakukannya dengan sungguh-sungguh. Sesulit apa pun hidup yang kalian jalani, insya Allah selalu ada jalan."
Ada jeda beberapa saat sebelum Maryam kembali bicara. "Janji, ya, tidak akan mengulangi kesalahan hari ini lagi?" tanya Maryam melihat Hawa dan Nabila bergantian yang kini hanya menunduk. "Janji, ya?"
Hawa dan Nabila kompak mengangguk. "Insya Allah, Umi. Nggak akan diulangi lagi."
"Lain kali, kalau ada apa-apa bilang sama Umi. Atau kalian bisa bilang sama Ibu Zaenab, Ibu Fatimah, atau pengurus pondok lainnya. Jangan melarikan diri seperti ini. Umi benar-benar khawatir sekali. Alhamdulillah kalian baik-baik saja." ujar Maryam mengembuskan napasnya gusar. "Ya sudah, kalau gitu sekarang kalian kembali ke kamar dan bereskan barang-barang kalian kembali. Diantar oleh Ibu Fatimah ya karena Umi mau bicara dulu dengan Ibu Zaenab." Maryam menyuruh Fatimah untuk mengantarkan Hawa dan Nabila ke kamarnya merapikan barang-barang mereka kembali. "Tolong, ya, Bu Fatimah."
"Baik, Umi."
Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Semua rencananya gagal di tengah jalan. Kini uang yang mereka miliki juga sudah habis. Rencana pulang ke Bandung pun tak terwujud. Hawa dan Nabila hanya bisa pasrah. Sesekali Nabila melirik Hawa yang tampak murung sekali. Namun, Nabila juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini. Terlebih lagi besok atau lusa, orangtuanya akan datang untuk membicarakan masalah ini. Beruntung pesantren sepi karena para santriwati dengan ada kelas hapalan. Hawa dan Nabila tidak harus menjadi pusat perhatian teman-temannya yang lain.
Untuk saat ini hanya berharap semuanya segera membaik.
***
"Hawa? Nabila?" seru Aisyah dan Humaira bersamaan ketika Azizah memberitahu ketika kedua temannya itu baru saja masuk ke kelas.
Mereka baru saja menyelesaikan hapalannya hari ini, dilanjutkan dengan mata pelajaran lain yang kebetulan gurunya belum datang.
"Kalian ke mana aja? Kita nyariin dari tadi tau." seru Humaira menatap Hawa dan Nabila bergantian.
"Kalian baik-baik aja?" tanya Aisyah.
Hawa dan Nabila duduk di tempatnya dengan raut wajah muram. Kejadian hari ini membuat perasaan mereka resah dan tidak keruan. Terlebih lagi mereka masih mengingat kejadian saat uang Hawa dicuri oleh seorang preman dan tersesat di kota orang. Bahkan untuk menjawab pertanyaan teman-temannya saja rasanya tidak tahu harus menjawab apa.
Setelah diantar oleh Fatimah ke kamarnya, mereka harus mengikuti kelas hari ini kembali. Dan sepertinya akan ada hukuman yang harus mereka terima mengingat pesantren ini cukup ketat dengan peraturan.
"Hawa? Nabila?" panggil Aisyah lagi ketika Hawa dan Nabila hanya diam saja. "Kalian beneran ada di Purwakarta tadi? Ngapain? Sama siapa?" Pertanyaan beruntun Aisyah hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Nabila. Sedangkan Hawa memilih untuk diam saja.
Hawa tahu ini salahnya. Tidak seharusnya dia mengajak Nabila untuk ikut serta mengikutinya meski dia tahu bahwa Nabila juga menginginkan pulang ke rumahnya. Namun, tetap saja karenanya Nabila jadi terlibat dengan kejadian hari ini.
Azizah yang melihat itu menghentikan Aisyah dan Humaira agar tak mengganggu Hawa dan Nabila yang baru saja datang. "Mungkin Hawa sama Nabila belum mau cerita."
Azizah selalu menjadi pengamat teman-temannya. Di antara mereka, hanya Azizah yang selalu pandai mengamati sekitar sebelum berbicara. Namun, setelah ia merasakan duka yang menyakitkan, Azizah benar-benar berubah menjadi sosok pendiam. Azizah semakin tak banyak bicara, Azizah lebih banyak menyendiri, dan menghindar untuk berinteraksi dengan teman-temannya yang lain. Berat untuk Azizah melewati ini semua. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain menjalani hidupnya yang sekarang.
***
Setelah adzan isya, Aisyah mendapatkan kabar dari adiknya yang datang ke pondok pesantren dan mengatakan bahwa ayahnya pingsan saat bekerja. Aisyah yang mendapat berita itu langsung terburu-buru dan meminta izin kepada Maryam untuk ke klinik, tempat ayahnya dirawat.
Tempat tinggal Aisyah memang dekat dengan pondok pesantren. Aisyah hanya seorang gadis remaja yang nyaris putus sekolah jika saja Maryam tidak membantunya. Maryam menawarkan Aisyah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren yang dikelola olehnya. Awalnya, Aisyah tidak mau dan bersikeras ingin bekerja saja agar membantu orangtuanya. Namun, setelah dibujuk oleh keluarganya, akhirnya Aisyah mau melanjutkan pendidikan di pesantren. Terlebih lagi Maryam mengizinkan Aisyah sambil bekerja menjadi buruh cuci asalkan Aisyah bisa membagi waktunya dengan baik. Kesempatan itulah yang membuat Aisyah akhirnya memutuskan berada di pesantren.
"Bapak kok bisa pingsan sih, Dek?" tanya Aisyah dengan napas tersengal ketika berjalan cepat menuju klinik bersama adiknya yang baru saja menjemputnya di pesantren.
Mereka hanya berjalan kaki menuju klinik tempat ayahnya dirawat saat ini. Perasaan Aisyah tidak keruan, dia benar-benar mengkhawatirkan ayahnya.
"Nggak tahu, Kak. Kayaknya Bapak terlalu capek."
Aisyah mempercepat langkahnya menuju klinik. Bahkan dia berlari untuk segera sampai. Aisyah ingin memastikan keadaan ayahnya baik-baik saja.
Aisyah dan adiknya langsung berlari mencari ruangan setelah sampai di klinik. Dengan tergesa, akhirnya Aisyah sampai di ruang inap ayahnya.
"Bapak!" Napas Aisyah tersengal, ia mencoba mengatur napasnya. Menghampiri sang ayah yang sedang terbaring di atas brankar ditemani oleh ibu dan adik-adiknya.
Aisyah mencium tangan ibunya. "Bu, Bapak gimana?" tanya Aisyah khawatir, matanya berkaca-kaca. Lalu, tatapannya tertuju pada sang ayah. "Bapak? Bapak kenapa kok bisa pingsan?" tanya Aisyah usai mencium tangan ayahnya.
"Bapakmu itu, Syah. Susah dibilangin. Dari kemarin memang nggak enak badan, Ibu udah larang Bapak untuk kerja, tapi Bapak tetap maksa ingin berangkat kerja. Karena terlalu capek, ya beginilah." ujar ibunya geleng-geleng kepala seraya menghela napas. "Kalau udah sakit begini, kan, semuanya yang repot. Kamu juga jadi harus izin ke Umi Maryam untuk pulang jenguk Bapak."
"Bapak." Aisyah menghela napas menatap ayahnya. "Bapak, tuh, jaga kesehatan jangan capek-capek. Aisyah udah minta buat Bapak istirahat di rumah aja, nggak usah kerja. Biar Aisyah aja yang kerja, Pak. Bapak di rumah aja. Kalau Bapak sakit, kan, semuanya yang repot, Pak." Aisyah memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Kalau Bapak nggak kerja, bagaimana adik-adik kamu mau sekolah, Aisyah?" Ayahnya tersenyum penuh arti. "Lagi pula Bapak nggak apa-apa kok, Bapak sehat. Bapak cuma kurang istirahat aja." Suara batuk ayahnya membuat Aisyah khawatir dengan keadaannya meski ayahnya sudah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
Selalu itu yang ayahnya katakan kepada anak-anaknya.
Aisyah tahu bahwa ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Namun, ayahnya selalu berpura-pura untuk baik-baik saja di hadapan anak-anaknya. Tentu saja itu membuat Aisyah khawatir. Sebagai anak pertama, Aisyah harus menanggung beban yang dipikulnya sendirian. Adik-adiknya masih sangat kecil dan belum mengerti banyak hal. Jika Aisyah tidak bekerja, uang yang didapatkan orangtuanya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan sekolah adik-adiknya, terlebih lagi harus membayar uang sewa rumah setiap bulan. Salah satu alasan Aisyah bersikeras untuk bekerja karena ingin membantu meringankan beban orangtuanya.
"Pokoknya Bapak harus banyak istirahat, jangan banyak pikiran dulu, Pak. Bapak harus sehat, itu yang terpenting." ujar Aisyah menggenggam tangan sang ayah yang kini tersenyum mengangguk.
Aisyah membiarkan ayahnya untuk istirahat usai berbicara sebentar. Aisyah ingin ayahnya kembali sehat dan baik-baik saja. Rasa rakut selalu menghantui hati Aisyah. Aisyah tidak ingin kehilangan siapa pun orang yang berarti dalam hidupnya.
Ketika ayahnya sudah tertidur bersama adik-adiknya yang tertidur di lantai menggunakan karpet, Aisyah dan ibunya keluar dari ruangan dan duduk di kursi panjang.
"Ibu pulang aja nggak apa-apa istirahat di rumah. Biar Aisyah yang jagain Bapak di sini." ujar Aisyah kepada ibunya. "Ibu juga pasti capek, kan, harus keliling jual sayur. Ibu juga harus jaga kesehatan, jangan sampai sakit."
"Biar Ibu aja yang jaga Bapak, kamu kembali ke pesantren saja, Aisyah. Bapak juga, kan, bilang supaya kamu kembali ke pesantren saja. Nggak enak dengan teman-teman kamu nanti kalau kamu keseringan pulang, apalagi kamu juga, kan, sambil kerja. Nggak enak juga dengan Umi Maryam yang sudah baik sama kita. Kamu harus baik-baik di pesantren, jangan buat ulah. Besok pagi juga, kan, kamu harus kerja ke rumah Bu Sania. Jangan mengecewakan orang-orang yang udah baik sama kamu, Aisyah. Kita harus sadar diri." ujar ibunya membuat Aisyah mengangguk pelan.
"Tapi Ibu beneran nggak apa-apa di sini sendirian sama adik-adik?" tanya Aisyah khawatir. "Ibu—"
"Ibu nggak apa-apa, Aisyah. Sudah, kamu jangan banyak pikiran. Kamu harus fokus juga sama sekolah. Ibu, Bapak, dan adik-adik baik-baik aja."
Helaan napas keluar dari mulut Aisyah. Sebenarnya dia tidak tega jika harus meninggalkan keluarganya menginap di klinik untuk menjaga ayahnya, tetapi orangtuanya meminta Aisyah untuk kembali ke pesantren karena merasa tidak enak jika terus-menerus meminta izin meski sebenarnya Maryam pasti memahami masalah Aisyah.
Ada jeda beberapa saat sebelum Aisyah pamit untuk kembali ke pesantren. Dia merogoh sesuatu dari dalam saku gamis yang dikenakannya. Menyodorkan uang yang ia kumpulkan dari hasil upah harian menjadi buruh cuci.
"Untuk biaya klinik Bapak, Bu. Aisyah cuma punya tabungan segini, Bu. Nanti kalau uangnya kurang, Ibu bilang sama Aisyah biar Aisyah yang cari. Ibu nggak usah pikirin itu."
Ibunya menatap uang yang disodorkan anaknya begitu saja. "Aisyah, uangnya kamu simpan saja. Kamu nggak usah pikirin biaya klinik Bapak." Ibunya menggelengkan kepala menatap Aisyah.
"Bu, Aisyah nggak apa-apa. Aisyah bisa nabung lagi lain kali. Sekarang uangnya Ibu pakai dulu untuk tambah-tambah biaya Bapak. Semoga aja uangnya cukup." Aisyah meletakkan uang itu ke telapak tangan ibunya. "Kalau ada apa-apa, kabari Aisyah, ya, Bu." ujar Aisyah kemudian berdiri membuat ibunya terdiam. "Aisyah pamit pulang ke pesantren, ya, Bu."
"Aisyah." Suara ibunya menahan gerakan tangan Aisyah. Ada jeda beberapa saat sampai akhirnya Aisyah menyadari air mata ibunya.
"Ibu kok nangis?" tanya Aisyah khawatir.
"Maafin Ibu, ya. Karena keadaan keluarga kita, kamu jadi harus capek bekerja. Harusnya kamu bisa fokus sekolah, nggak harus mikirin hal-hal seperti ini. Harusnya Ibu yang nanggung semuanya, bukan kamu." ujar ibunya menangis membuat Aisyah ikut sedih melihatnya.
Aisyah duduk kembali, menatap sang ibu seraya mengusap tangannya. "Aisyah nggak apa-apa kok, Bu. Aisyah ikhlas. Aisyah baik-baik aja. Ibu nggak usah khawatir sama Aisyah." Aisyah berusaha menenangkan meski sebenarnya jauh dari lubuk hati terdalam, ia ingin sekali menangis. Namun, Aisyah harus meyakinkan ibunya bahwa dia baik-baik saja.
Aisyah tidak ingin membuat keluarganya mengkhawatirkan Aisyah. Aisyah tidak pernah menyesal dilahirkan dari keluarga yang sederhana saja. Selama ia masih bisa merasakan kasih sayang dari keluarganya, selama orangtuanya baik-baik saja, maka Aisyah juga akan merasa cukup dan baik-baik saja.
"Aisyah baik-baik aja, Bu."
***