Part 8

2031 Kata
Zaenab tidak memarahi Hawa maupun Nabila. Dia mengajak Hawa dan Nabila untuk duduk di teras masjid yang letaknya tak jauh dari terminal bus setelah tadi Zaenab memberikan nasi bungkus kepada pemulung dekat terminal. "Saya mau tanya, apa yang membuat kalian pergi dari pondok pesantren?" Pertanyaan itu yang pertama kali keluar dari mulut Zaenab. "Memangnya ada masalah apa di sana sampai kalian memilih untuk pergi?" tanya Zaenab dengan tenang. Nabila menoleh menatap Hawa yang kini terdiam. Nabila tidak tahu harus menjawab apa ketika Hawa juga hanya diam saja. Nabila takut salah bicara. Dia ingin jujur, tetapi ia juga takut untuk mengatakannya. "Hawa?" Suara Zaenab kembali terdengar menatap Hawa, lalu beralih menatap Nabila. "Nabila? Kalian dengar, kan?" Helaan napas keluar dari mulut Hawa, dia tak berani menatap Zaenab dan justru menatap ke arah lain. "Hawa nggak betah di pesantren, Bu. Hawa pengin pulang. Hawa mau ketemu Umi sama Abi di rumah. Hawa kesusahan tiap kali hapalan. Hawa nggak bisa kayak kebanyakan santriwati lainnya yang pintar-pintar." aku Hawa membuat Zaenab menghela napas, lalu menatap Nabila yang menelan salivanya susah payah. "Kalau Nabila ... sama kayak Hawa, Bu. Nabila nggak betah di pesantren. Semuanya harus Nabila kerjain sendiri. Biasanya kalau di rumah, Nabila nggak pernah cuci piring dan beres-beres. Beda waktu Nabila ke pesantren, semuanya jadi harus serba sendiri. Nabila pengin pulang ke rumah, Bu." ujar Nabila dengan perasaan takut. Nabila takut jika Zaenab akan memarahinya meski ia juga tahu bahwa Zaenab orang yang baik. Ada jeda beberapa saat sebelum Zaenab balas berbicara. "Hawa, Nabila, lihat dan dengar Ibu." ujar Zaenab tenang, tapi tetap tegas hingga membuat Hawa dan Nabila refleks menatapnya. "Ibu tahu ini semua nggak mudah untuk kalian berdua yang masih sangat belia. Ibu tahu ini pertama kalinya kalian merasakan dunia pesantren. Semuanya harus dilakukan mandiri dan berjuang menyelesaikan tanggung jawab di pesantren. Dulu, Ibu juga pas pertama masuk pesantren takut dan nggak betah. Takut karena nggak pintar seperti kebanyakan santri lainnya. Nggak betah karena belum terbiasa dengan kehidupan baru di sana. Tapi Ibu berusaha untuk bertahan di pesantren, menyelesaikan sekolah, bahkan sampai kuliah pun, Ibu tetap pesantren juga. Ibu selalu ingat dengan teman-teman Ibu yang belum bisa sekolah seperti kebanyakan orang yang lebih beruntung. Mereka harus bekerja di saat teman-temannya yang lain sekolah. Itu bikin Ibu sadar kalau Ibu lebih beruntung dari teman-teman Ibu." "Kalian harus bersyukur karena masih diberi kesempatan. Masuk pesantren itu kalian dapat manfaatnya dua kali lipat, lho. Dapat ilmu dunia dan juga ilmu akhirat. Insya Allah berkah dunia akhirat. Hapalan-hapalan yang dirasa susah, justru itu yang insya Allah akan membantu kita ke surganya Allah. Kita bisa ajak orangtua kita untuk bareng-bareng ke surga, kasih mahkota untuk orangtua di surga. Itu semua memang nggak mudah, tapi ada harga di balik itu semua. Ibu nggak tahu gimana caranya kalian bisa pergi begitu saja dari pesantren tanpa ketahuan. Ibu yakin, pasti orang-orang di pesantren nyari kalian berdua." Hawa dan Nabila hanya terdiam mendengarkan, tidak tahu harus merespons apa. "Dan kenapa kalian bisa ada di Purwakarta? Bukannya Hawa rumahnya di Bandung, kan? Dan Nabila rumahnya di mana? Ibu lupa." Nabila melirik Hawa yang menatapnya. Dengan ragu, Nabila menjawab. "Di Bandung juga, Bu." "Lho, lho, di Bandung?" Zaenab mengernyit. "Tapi kenapa kalian bisa ada di Purwakarta? Ini, kan, jauh sekali dari Bandung?" tanya Zaenab menatap Hawa dan Nabila bergantian. "Kami tersesat, Bu. Salah naik bus." "Mungki Allah yang nggak mengizinkan kalian untuk pergi dari pesantren. Allah pasti lebih senang kalian ada di pesantren." Zaenab tersenyum penuh arti. "Sebenarnya hari ini Ibu mau persiapan untuk acara kajian besar besok di pesantren tempat Ibu sekolah dulu. Tapi melihat kalian berdua ternyata ada di sini, sepertinya Ibu yang harus mengantarkan kalian." ujar Zaenab yang lagi dan lagi tak mendapat respons dari keduanya. "Mau, kan, kembali ke pesantren?" "Kalau nggak kembali ke pesantren, kalian mau pulang ke rumah masing-masing?" tanya Zaenab yang diangguki oleh Hawa dan Nabila. "Memangnya kalian tahu bagaimana cara ke Bandung naik angkutan umum? Ini saja kalian sudah salah naik bus, lho. Bagaimana kalau di luaran sana ada yang jahat sama kalian? Bagaimana kalau kalian nggak bertemu sama Ibu di sini terus kalian bertemu orang-orang yang ingin menculik kalian? Ibu nggak bermaksud untuk menakuti kalian. Dunia ini mengerikan kalau kita tidak hati-hati, Hawa, Nabila. Kalian masih terlalu dini untuk mampu menjaga diri dengan baik. Ibu takut sesuatu terjadi pada kalian. Hal-hal yang tidak diinginkan seperti berita-berita di televisi mengenai kasus pelecehan pada gadis remaja, itu benar-benar mengerikan. Ibu takut kalian kenapa-kenapa. Dan alhamdulillah, kalian bertemu Ibu di sini." "Kami sebenernya udah nanya ke orang-orang yang ada di sini, gimana caranya pulang ke Bandung naik bus. Tapi sayangnya waktu kami mau naik bus, kami kecopetan, Bu. Uang Hawa dicopet dan akhirnya kami nggak bisa pulang karena nggak punya ongkos buat pulang." ujar Nabila jujur membuat Hawa menghela napas gusar. Wajah Zaenab terlihat terkejut, kerutan di dahinya terlihat jelas. "Kalian dicopet?" tanya Zaenab membuat Hawa pun akhirnya ikut menganggukkan kepala. "Terus kalau kalian tidak bertemu Ibu di sini, kalian nggak tahu mau ke mana?" Hawa dan Nabila mengangguk lagi. Zaenab mengambil ponsel dari dalam tasnya untuk menelepon seseorang. Hal itu tak lepas dari pandangan Hawa dan Nabila yang kini menunggunya. Tak lama kemudian, Zaenab menutup sambungan telepon dan menatap Hawa dan Nabila bergantian. "Saya akan kembali ke sini lagi besok. Dan sekarang saya antar kalian kembali ke pesantren, ya. Mau?" Hawa dan Nabila diam lagi. "Saya nggak bisa mengatarkan kalian pulang ke rumah masing-masing begitu saja. Saya nggak bisa melanggar ketentuan pondok pesantren yang ada. Hawa, Nabila, kalian sudah melakukan kesalahan dan itu tidak bisa dibenarkan. Satu-satunya caranya yang bisa saya lakukan adalah mengantarkan kalian kembali ke pesantren. Suka atau tidak suka, seperti yang sudah saya katakan tadi kepada kalian. Selesaikan tanggung jawab kalian. Belajar untuk bertanggung jawab atas apa yang telah kalian lakukan." Karena tak ada pilihan lagi, akhirnya Hawa dan Nabila hanya menurut untuk kembali ke pesantren. Percuma saja mereka kabur lagi jika pada akhirnya mereka saja tak memiliki ongkos untuk pulang ke Bandung. Dan mengingat kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi juga membuat mereka takut. Mungkin mereka tak akan pernah bisa pulang ke rumah selama pendidikannya belum selesai. Mungkin rencana mereka tak akan berhasil. Satu-satunya jalan untuk saat ini adalah kembali ke pesantren. Berharap bahwa ketika kembali ke pesantren, semuanya akan baik-baik saja dan terbiasa dengan kehidupan di sana. "Ya sudah, beberapa menit lagi sudah masuk waktu dzhur, kira salat bersama-sama di masjid, ya." *** Sudah dzuhur, Aisyah dan Humaira tidak melihat keberadaan Hawa dan Nabila. Bahkan saat ini mereka baru saja melaksanakan salat dzuhur bersama dan sedang istirahat sebelum kembali belajar. "Zah, kamu nggak lihat Hawa dan Nabila?" tanya Aisyah kepada Azizah yang sedari tadi memilih untuk diam saja di sampingnya. Beberapa orang terdekat Azizah mungkin bisa menyadarinya dengan mudah perubahan sikap Azizah yang berbeda dari sebelumnya. Azizah lebih banyak diam dan membuat teman-temannya yang lain kadang segan untuk menanyakan keadaannya. Hanya Aisyah, Humaira, Hawa, dan Nabila yang mencoba merangkul Azizah untuk semangat kembali meski sampai saat ini masih sulit untuk Azizah menerima apa yang terjadi dalam hidupnya. "Nggak." Azizah menggelengkan kepalanya, menghela napas. Aisyah pun ikut menghela napas. Lalu matanya melirik Humaira yang duduk di sampingnya sembari melamun. Sejak semalam, Humaira juga lebih banyak melamun dan tidak fokus ketika diajak berbicara. Aisyah tidak mengerti dan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Humaira karena perempuan itu tak menceritakannya. "Masalah hidup itu berat, ya." Aisyah tidak bertanya, melainkan mengungkapkan sebuah pertanyaan alih-alih mencari keberadaan Hawa dan Nabila yang masih belum mereka temui. "Apa semua orang punya masalah di dunia ini?" Azizah dan Humaira yang mendengarnya hanya terdiam. Lagi, Aisyah bersuara. "Atau cuma aku aja?" "Nggak ada yang lebih menyakitkan dari rasanya kehilangan." ucap Azizah pelan, tapi tetap terdengar oleh dua temannya hingga membuat Humaira menoleh. "Rasanya sakit banget." Azizah mengembuskan napas pelan. "Kalian lebih beruntung karena masih punya orangtua yang ada buat kalian. Yang bisa temenin kalian di saat ada masalah." Salah satu sudut bibir Azizah terangkat, ia tersenyum tipis. "Nggak kayak aku yang kesepian, nggak punya siapa-siapa." Aisyah mengerjapkan matanya, menggeleng. "Kamu punya kita kok, Zah. Aku, Humaira, Hawa, dan Nabila. Kamu bisa cerita kapan pun dan apa pun sama kita. Kamu nggak kesepian, Zah. Ada kita." ucap Aisyah membuat Azizah menghela napasnya. "Orang-orang nggak akan pernah ngerti dan paham apa yang kita rasain sedekat apa pun mereka. Mungkin mereka tahu, tapi mereka nggak akan bisa paham. Nggak ada orang yang jauh lebih memahami kita selain diri kita sendiri, kan?" Azizah menatap lurus ke depan. "Nggak ada." Dia menggelengkan kepalanya, tersenyum miris. Aisyah dan Humaira tidak membalas lagi, takut jika mereka akan menyakiti hati Azizah yang sedang dalam mode tidak baik-baik saja. Mungkin butuh waktu yang tidak sebentar untuk Azizah menyembuhkan luka-luka di hatinya selama ini. Cukup lama mereka terdiam, memikirkan hal-hal dan banyak pertanyaan yang ada di kepala mereka masing-masing. Hingga akhirnya Aisyah berinisiatif untuk mengajak mereka melanjutkan hafalan Al-Quran sebelum tes. "Tapi sebelum ke majelis, anter ke Umi Maryam dulu yuk? Kita pastiin keberadaan Hawa dan Nabila dulu. Soalnya dari tadi, kan, aku nanya-nanya ke yang lain juga nggak ada yang tahu di mana mereka. Aku khawatir aja sama mereka, nggak biasanya kayak gini, kan?" tanya Aisyah yang akhirnya disetujui oleh Humaira dan Azizah. Sebelum ke majelis, mereka bertiga pergi ke kantor pondok pesantren untuk menemui Maryam. Belum sampai mereka ke kantor, mereka sudah bertemu dengan Maryam di depan kelas. "Ada apa, Aisyah?" tanya Maryam ketika Aisyah memanggil dan menghampiri bersama kedua temannya. "Uhm, begini, Umi. Apa Umi melihat Hawa dan Nabila? Soalnya sejak kelas pagi tadi sampai sekarang, kami belum lihat keberadaan Hawa dan Nabila lagi, Umi. Awalnya mereka ada di kelas jam pertama, tapi izin ke toilet dan sampai sekarang belum balik lagi. Atau mungkin mereka izin ada keperluan sama Umi mungkin?" tanya Aisyah membuat Maryam mengerutkan keningnya bingung. "Lho, Aisyah, sejak pagi tadi, Umi ada rapat dengan para donatur. Umi nggak tahu sama sekali keberadaan Hawa dan Nabila." Maryam menatap Aisyah, Humaira, dan Azizah bergantian. "Memangnya mereka nggak bilang apa-apa sama kalian? Biasanya, kan, kalian selalu bareng." "Kami nggak tahu, Umi. Mereka bilangnya cuma mau izin ke toilet aja waktu pagi, bahkan buku-buku mereka juga masih ada tertinggal di kelas. Kami juga udah nanya ke teman-teman yang lain, tapi nggak ada yang lihat katanya, Umi." ujar Aisyah membuat Maryam menatap sekitar dan menghela napasnya. Belum sempat Maryam berbicara, suara ponsel sederhana berdering nyaring menandakan ada telepon yang masuk. Dengan segera Maryam mengangkat teleponnya. "Waalaikumsalam, halo! Ada apa, Zaenab?" tanya Maryam ketika sambungan telepon menyala. "..." "Apa?" Maryam terkejut mendengar suara di seberang telepon. "Kamu nggak salah, Nab?" "..." "Kok bisa Hawa dan Nabila ada di Purwakarta?" Mendengar hal itu membuat ketiganya kompak terkejut dan mengerjapkan mata. Mereka saling tatap, tidak tahu harus bereaksi apalagi selain terkejut. "..." "Ya Allah, ada-ada saja. Ya sudah, tolong antarkan ke sini dengan baik, ya, Nab." Suara Maryam terdengar khawatir dan panik. Bagaimana tidak? Hawa dan Nabila adalah santriwati di Pesantren An-Nur dan sudah jelas menjadi tanggung jawab Maryam sebagai kepala pengurus pondok pesantren jika terjadi apa-apa pada santriwatinya. Maryam geleng-geleng kepala, menghela napas. Lalu menatap ketiga muridnya yang masih menunggu. "Hawa dan Nabila ada di Purwakarta, mereka kabur dari pondok pesantren. Untungnya Bu Zaenab bertemu dengan mereka saat beliau akan ke Purwakarta untuk menghadiri acara tablig akbar di pesantrennya yang terdahulu." "Kok bisa, Umi?" tanya Humaira yang dibalas gelengan kepala oleh Maryam. "Umi juga tidak tahu, tapi semoga mereka baik-baik saja dan kembali ke pondok dengan selamat." Maryam menghela napas panjang. "Aisyah, Humaira, dan Azizah, tolong jangan beritahukan masalah ini kepada yang lain, ya. Biarkan ini tidak usah diketahui mereka." Ketiganya kompak mengangguk, lalu pamit untuk kembali ke majelis dengan penuh pertanyaan di kepala mengenai keberadaan Hawa dan Nabila yang ternyata berada di Purwakarta. "Kok bisa sih mereka ada di Purwakarta?" tanya Humaira mengerutkan keningnya. "Kok bisa juga mereka kabur gitu aja?" "Dari awal juga perasaan aku udah nggak enak sih pasti ada yang aneh di antara mereka berdua. Soalnya nggak mungkin ke toilet berjam-jam lamanya dan kita nyari ke mana-mana juga nggak ada. Eh, ternyata ada di Purwakarta." balas Aisyah membuat Azizah yang sedari tadi diam saja jadi menoleh. "Kalau mereka kabur, pasti tujuannya untuk pulang ke rumah. Tapi, bukannya rumah mereka itu ada di Bandung, ya, bukan Purwakarta?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN