"Raa baju aku mana?" tanya Nico saat istrinya itu tengah menyisir rambutnya. "Itu aku gantung deket lemari" jawab Maira sekenannya.
Setelah bersiap, Maira meninggalkan Nico yang masih sibuk bersiap. Ia segera turun ke ruang makan untuk menyiapkan sarapan.
Maira menaruh tasnya di kursi tempat ia biasa duduk lalu menuju dapur untuk menyiapkan s**u untuk dirinya dan segelas kopi untuk Nico.
Melihat Maira yang sibuk di dapur, pembantu rumah tangganya itu langsung menghampiri Maira. "Non, sudah saya aja. Non tunggu aja di meja" ujar pembantu tersebut. "Gak usah Mbak, saya masih bisa sendiri kok. Mbak urus yang lain aja" ujar Maira sambil tersenyum.
"Mbak!!" tiba-tiba teriakan melengking di pagi hari membuat Maira dan pembantu rumah tangga itu menoleh ke sumber suara.
Pembantu itu buru-buru menuju ruang makan dan mendapati Hilda tengah berdiri dengan wajah jengkel.
"s**u buat saya mana Mbak?" tuntut Hilda.
"Loh Non, minum s**u juga? Kayak Non Maira?" tanya pembantu tersebut sambil menunduk.
"Ya iyalah! Emang dia doang yang hamil?!" ujar Hilda ketus. "Udah sana bikinin!" usir Hilda.
"Susunya Non apa? Sama atau beda sama punya Non Maira?" tanya pembantu tersebut. "Belom beli! Minta aja sih sedikit sama Mairanya" sahut Hilda. Pembantu tersebut langsung kembali ke dapur untuk membuat s**u untuk Hilda.
"Non, boleh minta susunya buat Non Hilda?" tanya pembantu itu tidak enak. "Iya boleh kok Mbak, ambil aja" jawab Maira tenang sambil menunggu kopi untuk Nico setelah di buat di mesin kopi.
Maira hanya bisa menghela napas melihat tingkah Hilda. Bisa-bisanya wanita itu seenaknya menyuruh semua pembantu di rumah ini.
Dirinya yang berstatus anggota keluarga saja tidak pernah main asal perintah semaunya ke para pembantunya.
Sedangkan Hilda yang jelas-jelas hanya menumpang di sini justru bersikap semaunya.
Selesai dengan dua minuman itu, Maira membawanya ke meja makan. Saat itu sudah ada ibu dan ayah mertuanya, serta suaminya dan Hilda.
Saat itulah Maira dan Hilda pertama kali bertatap muka, kedua mata mereka bertemu.
Maira pun duduk di antara Nico dan Hilda.
Ia tidak mau peduli dengan kehadiran Hilda.
Ia bisa mendengar dengusan halus Hilda saat ia duduk di antara Nico dan Hilda. Sempat befikir juga Nico dan Hilda menganggap dirinya sebagai penghalang.
Ia meletakkan cangkir kopi milik Nico di hadapan suaminya itu. Lalu megambil semangkuk oat meal untuk Nico di mangkuk kecil.
Maira baru menyadari ketidak hadiran Arya. Ia hanya berharap adik iparnya itu memilih keputusan yang benar.
"Papa berangkat dulu" Sutedja berdiri lalu meninggalkan meja makan. Nitya menyusul suaminya untuk mengantarkannya sampai ke mobil. Maira yang juga sudah selesai sarapan bergegas meninggalkan ruang makan.
"Aku pergi dulu" pamit Maira.
Seperti biasa, Nico akan mengacuhkannya, begitu juga Hilda.
Setelah Maira memakai sepatunya, ia languns menuju garasi untuk segera berngkat ke kantor.
"Mau ngantor yah?" tanya Hilda sambil mengangkat dagu tinggi.
Maira hanya menatap wanita berrambut lurus itu dengan tatapan datar.
Kalo gue dan dia lagi gak hamil, udah gue botakin pake tangan gue sendiri itu rambut batin Maira dalam hatinya.
"Paling gak, saya ada pekerjaan yang menghasilkan uang" ujar Maira.
"Menghasilkan uang? Bagus deh, lumayan buat bayar hutang perusahaan keluargamu" sahut Hilda sombong.
"Setidaknya, saya gak hamil di luar nikah dan numpang di rumah orang. Mana rumah yang saya tumpangi gak ada hubungan apa-apa sama saya lagi. Permisi" Maira yang mulai merasa emosi memilih untuk tidak menghiraukan Hilda lebih lanjut.
****
"Mbak, di rumah gimana?" tanya Arya yang datang berkunjung ke kantornya di siang hari.
Setelah meninggalkan rumahnya selama dua minggu, Maira adalah anggota keluarga pertama yang di temui oleh Arya. Ia selalu menghindar dari Nico saat di kantor. Sebisa mungkin tidak bertemu dengan kakanya sendiri karena ia kesal setengah mati.
"Baik, kamu sendiri?" tanya Maira ramah.
Arya hanya mengangguk.
"Mbak, Mbak beneran gak di apa-apain kan?" Arya memastikan. Maira menggeleng. "Enggak kok, kamu tenang aja" jawab Maira santai.
"Kamu gak mau ke rumah? Ya cuman main sebentar gitu?" tanya Maira pada adik iparnya. Arya bergeming. "Belom ada Mbak, aku masih kesel sama Mas Nico. Rencananya emang Mas Dennis mau main ke rumah. Tapi waktu aku ceritain, dia ogah ke rumah" ujar Arya.
Apa Hilda menjijikkan banget di mata keluarga Nico? batin Maira.
"Dari dulu padahal Mama, Papa, Mas Dennis dan aku gak pernah setuju Mas Nico pacaran sama Hilda" Arya akhirnya menceritakan sejarah Nico dan Hilda terhalang restu.
"Coba Mbak bayangin, dia pertama kali nginjek kaki di rumah udah gak sopan banget. Belum lagi dia bergantung semuanya sama Mas Nico. Padahal orang tuanya termasuk mampu" ujar Arya. "Orang tuanya dimana? Gak kaget tau Hilda hamil duluan begitu?" tanya Maira. "Di luar kota Mbak, soal itu aku gak tau. Hilda udah keterlaluan banget pokoknya" sambung Arya.
"Berulang kali Mas Nico coba untuk meyakinkan Mama Papa, tapi tetep aja hasilnya nihil" ujarnya lagi.
"Makasih ya Mbak udah mau nerima Mas Nico, biarpun kelakuannya kayak kampret begitu" tambah Arya lagi. "Aku ngerti, Mbak nikahin Mas Nico juga terpaksa, tapi yang aku perhatiin, Mbak sabar banget ngadepin dia. Padahal ini masih permulaan, pasti perjalanan masih panjang" Arya melempar tatapannya pada kakak iparnya itu.
"Kayaknya mantan pacarnya Mbak Maira bego ya, mutusin Mbak" ujar Arya sambil tertawa kecil.
Maira tertawa mednengar ucapan adik iparnya.
"Ada juga Mbak yang mutusin, abisnya gak bisa diem matanya kalo ngeliat cewek cantik" jawab Maira.
"Mungkin aku bakal main ke rumah, kalo gak ada si nenek lampir itu. Kita kontak-kontakan aja Mbak" ujar Arya sambil berdiri, bersiap untuk kembali ke kantornya.
Agung tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Maira.
"Selamat siang Om" sapa Arya ramah dan sopan. Agung tersenyum kecil dan mengangguk. "Sudah mau pulang Arya?" tanya agung. "Iya Om, tadi udah makan siangnya. Sekarang harus balik ke kantor lagi" jawab Arya sopan.
Ia sangat menghormati ayah mertua kakaknya itu.
"Saya permisi dulu Om" Arya pamit kepada Agung dan juga Maira.
Agung menatap punggung Arya yang menghilang saat berjalan melewati lorong gedung.
Bahkan kakaknya gak pernah datang ke sini untuk sekedar berkunjung
****
Maira pulang lebih awal dari biasanya.
Tidak biasanya Sutedja sudah berada di rumah lebih dulu dari biasnaya. Maira menyapa ayah mertuanya itu. Meskipun hanya di balas dengan anggukan, Maira tetap menghargai status rekan ayahnyA itu sebagai ayah mertuanya.
Nampaknya Hilda sedang tidak di rumah, karena suasana rumah nampak sangat damai.
Ia bergegas mandi setelah menghapus riasannya.
Air dingin yang mengguyur tubuhnya meluruhkan seluruh lelah yang ia rasakan di hari itu.
Selepas mandi, Maira langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah. Toh ia tidak akan kemana-mana juga setelah ini.
Ia bersandar pada headboard tempat tidurnya sambil bermain dengan ponselnya. Membalas beberapa pesan dan iseng melihat-lihat pakaian dan perlengkapan bayi.
Belum apa-apa, Maira sudah gemas dengan beberapa pakian, selimut dan peralatan lainnya. Ingin sekali ia membelinya, namun usia kandungannya yang masih terllua muda membuatnya mengurungkan niatnya itu.
Sebuah pesan dari Nico masuk saat ia tengah asyik wara-wiri di salah satu toko online.
Nico
Kamu periksa di dokter mana?
Maira mengerutkan keningnya. Tumben sekali Nico menanyakan hal penting ini padanya. Apa suaminya itu mulai perhatian padanya?
"Ah iya, pasti dia lagi nyariin dokter buat Hilda" ujar Miara sambil mengangguk mengerti.
Saat hendak membalas, sebuah ketukan pintu membuat Maira menoleh.
"Maira, Mama boleh masuk ?"