"Masuk aja Ma" Maira mempersilahkan Nitya untuk masuk ke dalam kamarnya itu.
Nitya masuk sambil tersenyum melihat menantunya itu.
Wanita baik hati sepertinya pantas mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik daripada putranya itu.
"Kamu gimana? Baik-baik aja?" tanya Nitya sambil mengelus tangan Maira dengan lembut. Sentuhan keibuan Nitya membuat Maira rindu dengan mendiang ibunya.
Maira mengangguk sambil tersenyum.
"Ma, maaf ya aku gak ngomong sama Mama dari awal. Aku dan Nico gak pernah nyangka aku bakalan hamil begini" ujar Maira.
Ia sangat merasa bersalah karena harus menyembunyikan ini dari ibu mertuanya yang sudah baik hati kepadanya.
"Seharusnya Mama yang minta maaf sama kamu. Mama seharusnya jujur dari awal tentang Nico dan Hilda" ujar Nitya yang tidak bisa menahan air matanya.
Maira jadi salah tingkah karena ibu mertuanya ini pertama kalinya menangis di hadapannya.
"Mama dan Papa gak pernah setuju Nico dengan Hilda. Mana bisa Mama menerima perempuan gak punya sopan kayak Hilda? Sejak awal dia datan gkemari, Mama sudah tidak suka, tapi Nico masih terus bawa dia ke sini, berharpa Papa dan Mama luluh, tapi tetep aja gak akan pernah, dia begini bukan sekali dua kali. Sudah sering. Kamu lihat sendiri kan? Berani-beraninya dia datang kemari, nangis-nangis ke Nico, mengadu kalo dia hamil. Bodohnya Nico mau aja tanggung jawab"
"Mama bisa ngerti sakit hatinya kamu di perlakukan begini sama Nico" ujar Nitya menatap Maira sambil berlinangan air mata.
"Maafin Mama ya" Nitya meminta maaf untuk kesekian kalinya pada Maira.
"Gak bisa apa dia dengerin Mama sekali ini aja, ini juga demi dia juga. Orang tua mana yang gak mau anaknya berjodoh dengan pasangan yang baik-baik" lanjut Nitya.
"Mama dari kemarin mikirin kamu, mikirin cucu Mama, mikirin perasaan Papa dan adikmu kalau tahu Nico begini" ujar Nitya.
"Papa sama Dito udah tau Ma" sahut Maira cepat.
Nitya langsung menoleh ke arah Maira.
"Aku gak bisa nyimpen sendiri. Selama ini, apapun yang aku alamin pasti aku cerita ke Papa dan Dito" ujar Maira.
Nitya tidak bisa menyalahkan Maira.
Menantunya itu pasti butuh sandaran dengan semua nasib buruk yang di ciptakan oleh Hilda dan Nico, dan tentunya keluarga menjadi tempat pertama bagi Maira untuk bersandar.
Nitya semakin merasa bersalah terhadap besannya itu.
****
"Kamu tumben pulangnya malem banget?" tanya Maira yang baru saja keluar dari kamar mandi saat mendapati Nico yang baru pulang.
"Ngantri dokter kandungan lama juga ya" ujar Nico yang berjalan melewati Maira begitu saja.
Seketika Maira sadar diri posisinya.
Tentu saja Nico lebih memikirkan Hilda ketimbang dirinya.
"Hilda di rumah sakit mana?" tanya Maira sambil mempersiapkan pakaian salinan untuk Nico. "Rumah sakit yang deket rumahnya Mas Dennis" jawab Nico sambil membuka kemeja kerjanya dan melemparnya begitu saja ke laundry basket.
Rumah sakit tersebut terkenal mahal dan ekslkusif. Biaya konsultasinya pun mahal, dokter dan juga perawat yang di pekerjakan pun lulusan terbaik dan profesional di bidangnya. Tentu saja Nico memilihkan dokter terbaik untuk Hilda.
Maira memilih dokter kandungan yang pernah menangani kakak Jenita ketika mengandung. Meskipun bukan di rumah sakit mahal seperti Hilda, namun rumah sakit tersebut juga tidak kalah bagus.
Tanpa menunggu Nico selesai mandi, Maira memilih untuk langsung tidur.
Raganya lelah, begitu juga dengan hatinya.
"Ini buat kamu" ujar Nico memberikan sebuah amplop pada Maira sebelum keduanya tuurn ke ruang makan.
"Ini apaan?" tanya Miara yang terlihat bingung menerima amplop tersebut.
"Buka aja" jawab Nico sambil merapihkan rambutnya.
Sebuah kartu debit berserta buku tabungan dan juga nformasi lain terkait kartu debit tersebut menyembul keluar dari amplop.
"Ini buat apa?" tanya Maira semakin heran.
"Buat biaya itu" Nico menunjuk ke perut Maira.
Maira mengikuti arah telunjuk Nico.
"Buat biaya periksa ke dokter, beli peralatan, biaya lahiran. Pokoknya buat semuanya deh" ujar Nico pada Maira.
"Tiap bulan aku transfer. Gausah khawatir" ujar Nico sambil melenggang keluar dari kamarnya.
Tanpa di sadari, Maira meneteskan air matanya.
Apa Nico sangat tidak mengharapkan anaknya sendiri hingga lebih kata "itu" ketimbang "bayi"?
Maira begitu terluka dengan sikap Nico pagi ini.
Ia melihat jumlah yang akan di transfer setiap bulannya pada buku tabungan tersebut. Jumlah yang cukup besar itu bisa cukup untuk membiayai anaknya hingga masuk TK, jika saja Nico rajin memberinya selama sembilan bulan kedepan.
Maira berusaha untuk menenangkan dirinya agar saat sarapan nanti tidak ada keluarg ayang curiga terhadap dirinya bahwa ia baru saja menangis.
"Lu jadi udah gak pulang berapa lama?" tanya Dennis pada adiknya itu. "Dua bulan ada kali" jawab Arya. "Lu bener-bener gak ketemu ama Nico? Gak ngomong juga ama dia?" tanya Dennis lagi. "Ngomong seperlunya aja, gak lebih" jawab Arya.
Dennis hanya bisa menggeleng tidak percaya dengan apa yang di lakukan oleh adiknya ini.
"Pengen gue culik tuh cewek, gue buang kemana gitu kek. Sumpah keterlaluan banget" ujar Arya.
"Gue kemaren sempet nelfon pembantu di rumah, katanya tingkahnya makin hari makin jadi. Makin sok banget. Sejauh ini dia sih gak ngapa-ngapain sama Mbak Maira. Sampe dia berani ngapa-ngapain ama Mbak Maira, gue pastiin dia busuk di penjara" ujar Arya.
Dennis hanya bisa mengangguk.
"Gue rencananya besok mau ke rumah. Mama bilang weekend nanti Nico sama mak lampir itu pergi" ujar Dennis.
"GUE IKUT!" jawba Arya spontan tanpa berpikir panjang.
Setelah kakak dan adik iparnya datang berkunjung, Maira iseng membuat makanan untuk menemani malam minggunya nanti. Karena sudah mulai kelelahan jika harus berpergian ke sana kemari, perutnya sudah semakin membesar.
"Ada yang lagi masak nih" suara yang paling Maira benci itu terdengar dari arah belakang.
Maira hanya menoleh sekilas dan mendapati Hilda yang berdiir sambil bersandar pada lemari berisi cangkir koleksi Nitya.
"Masakin juga dong, laper nih" ujar Hilda seenakknya.
"Masak aja sana sendiri, saya siapin bahan buat satu porsi aja soalnya" sahut Maira tanpa melihat waah Hilda.
"Jangan pelit gitu dong, kita kan sama-sama lagi hamil. Sesama bumil seharusnya saling membantu dong" sungut Hilda tidak terima.
Maira terdiam dan hanya bisa menghela napas.
"Yaudah suruh pembantu aja sana, kamu pikir kamu siapa berani-beraninya nyuruh saya?" sahut Maira tidak mau kalah. Ia tidak sudi jika harga dirinya di injak-injak oleh wanita yang lebih sesuai disbeut dengan panggilan "pelakor" ini.
"Sadar diri ya, kamu di sini numpang. Untung aja Nico masih mau perhatian sama kamu, kalo gak? Luntang lantung kamu di jalanan sekarang" ujar Miara kesal.
"Heh! Jaga itu mulut ya!" Hilda sudah berancang-ancang untuk menampar Maira.
"Siapa yang harusnya jaga mulut? Saya apa situ?" sergah Maira lagi.
"Gimana pun ceritanya, saya di sini lebih punya hak. Kamu di sini cuman numpang! Status saya istri sah! Masa bodo Nico menikah sama saya karena di jodohin atau enggak. Saya lebih punya kuasa di banding kamu!" ujar Maira lagi.
Maira mengutarakan seluruh kekesalannya sambil mencoba untuk membuat Hilda tersadar posisinya di rumah ini.
"Tetep aja kan, Nico lebih sayang ke saya ke timbang kamu?" balas Hilda congkak. "Emang pernah di temenin Nico ke dokter? Pernah di ajakin Nico jalan? Pernah gak di manjain Nico? Pernah di beliin ini itu?" Hilda semakin membakar amarah Maira.
"Saya masih mampu beli ini itu sendiri, gak kayak kamu. Cuma numpang, udah gitu anaknya si bapak gak jelas lagi siapa" ucapan Maira kali ini semakin membuat Hidla kesal.
"Kenapa marah? Atau akhirnya justru sadar?" Maira menantang Hilda.
"Arrgh!!" suara teriakan Hilda rupanya membuat Nico yang tadinya hendak ke garasi jadi berbelok ke dapur.
"Ada apaan sih?" tanya Nico yang di sambut oleh tatapan kesal dari Maira dan Hilda. Nico menatap bergantian kedua wanita hamil itu.
Hilda buru-buru menghampiri Nico.
"Itu tuh, aku kan cuman mau bantuin Maira buat bikin makanan, tapi dia nolak, bilangnya aku gak bisa masakan. Nanti gak enak" ujar Hilda.
Ini jalang satu bener-bener ya Maira hanya bisa mengumpat dalam hatinya.
Nico hanya terdiam dan menatap Maira dan Hilda bergantian.
"Udah kamu gak usah nemenin dia masak. Mendingan istirahat sana di kamar. Biarin aja dia masak, dia sendiri juga yang capek" ujar Nico merangkul Hilda.
Hilda sempat melempar senyuman meremhkan sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Miara sendirian di dapur.