ENAM BELAS

1216 Kata
Waktu menunjukkan pukul jam setengah enam pagi, Maira bangun lebih awal. Ia menoleh ke samping kanannya, Nico masih terlelap.  Tentu saja Nico masih terlelap, pasti ia pulang sangat larut menemani Hilda. Maira langsung mandi dan bersiap diri, ia pun berjalan pelan-pelan agar tidak membangunkan Nico yang masih terlalp dengan nyenyak. "Non, tumben pagi-pagi sudah rapi, kan hari ini Sabtu" ujar pembantu rumah tangganya itu. Maira menoleh dan tersenyum. "Saya ada urusan" jawab Maira hangat.  Jika kemarin ia membuat s**u untuk dirinya secara diam-diam, kali ini ia sudah tidak perlu lagi menyembunyikan itu semua. Karena semua sudah tahu ia tengah mengandung. Setelah selesai sarapan Maira langsung mencuci piring dan gelas lalu menuju garasi, saat hendak menuju garasi, ia mendengar omelan yang cukup memekik di pagi. Maira menoleh ke belakang dan melihat Hilda berdiri sambil berkacak pinggang dan mengomel di pagi hari. "Gimana sih? Masa tadi di kamar saya masih kotor? Masih ada debu begitu, kamu mau nyelakain saya ya?!" omel Hilda.  Mendengarnya saja darah di otak Maira sudah mendidih.  Sejak semalam, ia tidak bertatap wajah dengan Hilda dan juga tidak mengetahui rupa Hilda. Semalam pun ia tidak bisa melihat wajah Hilda. Ia memilih untuk segera pergi menuju garasi. Maira berjalan-jalan kecil di sebuah taman. Taman favoritnya seumur hidup, dimana ia dulu sering menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia rindu masa-masa itu, masa-masa kedamaian dalam hidupnya. "Nih Ra" Jenita memberikan Maira segelas teh hangat yang di beli oleh Jenita dalam perjalanan. "Gue bukan gak mau kasih tau lu Jen, tapi gue sama Nico pun bingung" ujar Maira. "Ra, santai aja. Gue bisa ngerti kondisi lu kok" Jenita menepuk paha Maira pelan. Maira terdiam.  Jenita merasa aneh dengan Maira.  Meskipun tidak tahu apa isi hati dan pikiran Maira, namun Jenita bisa merasakan kesedihan yang di rasakan oleh Maira.  Seketika air mata Maira tumpah. Ia mencurahkan seluruh pilunya dengan Jenita. Sahabatnya itu hanya bisa terdiam sambil mengelus-elus punggung Maira. Mencoba untuk mencerna setiap ucapan dan curahan hati Maira. "Jadi si cewek gatel itu sekarang serumah gitu sama kalian?" Jenita menghapus air mata Maira dengan tisu. Maira mengangguk. "Ya Nico emang masih tidur sama gue, tapi gimana pun gue sakit Ta di giniin" ujar Maira. Jenita tidak bisa membayangkan jika dirinya menjadi Maira. Mungkin ia sudah langsugn mengurus gugatan perceraian saja ketimbang sakit hati begini. "Ra inget ya. Lu harus kuat. Ini demi anak lu. Lu sayang kan sama dia? Kalo emang sayang, you should be strong and tough gak boleh nyerah sama keadaan. Jangan pernah mau kalah dari si cewek kegatelan itu Ra" Jenita merangkul Maira dengan hangat. "Apapun yang terjadi, don't hesitate to call me"                                                                                              **** "Maira kemana?" tanya Nitya saat tidak menemukan Maira sarapan bersama keluarga pagi ini. "Non Maira tadi pagi pergi Bu" jawab seorang pembantu. Nitya kaget mendengar jawaban tersebut. "Pergi kemana? Apa bawa koper gede?!" tanya Nitya panik. Ia amat sangat panik jika Maira sampai memutuskan untuk kabur dari rumah akibat keputusan Nico ini. Jika sampai ini terjadi, ia bersumpah akan melenyapkan Hilda dan janin yang di kandungannya dengan tangannya sendiri. "Enggak Ma, orang tadi baju-bajunya masih di lemari kok. Palingan juga ke rumah orang tuanya" jawab Nico santai seolah itu bukan masalah besar. Nitya hanya mendengus. "Sudah Ma, paling gak Maira gak pergi. Dia juga udah sarapan" Sutedja mencoba menenangkan istrinya itu. "Loh Arya mana?" tanya Nitya lagi karena tidak mendapati putra bungsunya itu ada di ruang makan. "Mas Arya tadi pagi juga pergi. Bawa koper" ujar pembantunya lagi. Pagi ini rasanya Nitya benarbenar merasakan olahraga jantung. "Kemana Mbak?!" tuntut Nitya lagi. "Katanya mau balik ke apartemennya" sahut pembantunya. Nittya menghela napas lagi dan memejamkan matanya sejenak. Putra bungsunya itu benar-benar tidak sudi lagi tinggal bersamanya. Sutedja hanya bisa menghela napas dan melirik Nico dan Hilda. "Heh, kamu kenapa duduk di situ?!" tanya Nitya ketus saat melihat Hilda duduk di samping Nico. "Itu tempatnya Maira, pindah sana!" usir Nitya ketus. "Tapi kan Maira gak ada Tante" jawab Hilda. "Gak usah ngelawan! Kamu cuman numpang di sini! Pindah ke kursi sebelahnya! Saya gak sudi ngeliat kamu duduk sebelahan sama Nico begitu ya!" Nitya langsung meluapkan emosinya pada sumber kekesalannya itu. "Satu lagi. Jangan lagi kamu berani ngomel-ngomelin pembantu saya ya! Ngegaji juga enggak malah ngomong kasar! Kamu pikir kamu siapa hah? Dasar perempuan kotor!" Nitya berdiri dan meninggalkan ruang makan. "Bawa sarapan saya ke gazebo belakang" perintah Nitya pada seorang pembantu. Pembantu tersebut membawa makanan Nitya. "Sekali lagi kamu buat masalah di rumah saya dan bertingkah seperti nyonya, jangan pernah berharap kamu bisa melihat sinar matahari lagi. Catat itu baik-baik di otak kamu!" ancam Sutedja keras yang mengikuti jejak istrinya untuk sarapan di gazebo. Sejujurnya, Miara belum berbicara lagi pada Nico sejak tragedi malam itu, ia pun langsung menghindari Nico karena tidak kuat jika harus langsung bertemu dengan suaminya itu. "Kurang ajar!" Dito tidak bisa menahan kekesalannya itu. "Bisa-bisanya dia bawa pacarnya yang hamil anak orang ke rumahnya? Istrinya sendiri dia gak mau mikirin?!" Dito tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Maira mengangguk lesu. Agung sungguh tidak percaya dengan nasib sial yang yang putrinya terima.  Maira hanya bisa terdiam mendengar semua umpatan adiknya itu. Baru kali ini ia mendengar adiknya berbicara sekasar itu di hadapannya. Agung pun menyadari posisi Maira di rumah itu. Ia memang anggota keluarga namun kehadirannya sudah pasti tidak di anggap oleh Sutedja dan Nico. "Kalo kamu mau tinggal di sini gak apa-apa kok" ujar Agung merangkul putrinya itu. "Paling nggak, ada mbak yang bisa ngebantuin kamu. Bisa di percaya banget karena udah ngurusin kamu juga dari kecil. Ada Dito juga, incase emergency " ujar Agung. Maira mengelengkan kepalanya. "Siapa nama ceweknya? Biar gue labrak sini" ujar Dito. "Percuma aja lu labrak, pasti Nico bakal ngebela mati-matian" sahut Maira pasrah. "Bodo amat, ribut ribut deh gue sama dia! Anjir demi appaun berani dia gituin lu? Setega itu dia?" Dito tidak habis pikir dengan apa yang di lakukan oleh Nico. Semula ia berpikir Nico adalah laki-laki yang baik dan tidak macam-macam. Meksipun terlihat tidak tertarik pada kakaknya, namun Nico nampaknya bisa menerima Maira. Namun nyatanya, Nico justru membuat Maira terluka sangat dalam. Perbuatan yang tidak pernah Dito bayangkan sebelumnya. "Dari mana kamu?" tanya Nico saat Maira baru kembali. Istrinya itu hanya menatapnya sekilas lalu berlalu begitu saja. "Ketemuan sama Jenita" jawab Maira datar. Sebisa mungkin ia harus terlihat biasa saja. "As you know Hilda is staying with us now" Nico langsung membicarkan hal yang Maira benci.  Istrinya itu hanya mengangguk cuek sambil membuat kemejanya. Bisa-bisanya dia buka baju depan gue! umpat Nico dalam hatinya. Walaupun Maira menggunakan kaos lagi, namun tetap saja Nico laki-laki normal yang tidak sanggup kalau harus melihat adegan buka baju itu. "Ya udah lanjut, kenapa berhenti" ucapan Maira membuyarkan lamunannya. Nico yang gelagapan, langsung menyambung ucapannya lagi. "Ya, dia tinggal di kamar sebelah. Sengaja aku taro di sebelah jadi aku gampang nyamperin, in case anything happen" ujarnya lagi. "Aku tetep tidur sama kamu" ujar Nico yang membuat Maira berhenti sejenak, lalu mengangguk mengerti. "Aku minta kamu jaga kandungan kamu baik-baik. I need to take care of her"  Kalimat ini benar-benar membuat Maira kesal. "Aku tau, kamu gak cinta sama aku dan gak mengharapkan anak ini. Tapi apa iya kamu sampe gak mau tau kondisi darah daging kamu sendiri? Dan memilih untuk take care anak orang" tanya Maira datar. "Kalo kamu gak mau menanggung biaya apapun, aku gak masalah sama sekali. I can afford it" tukas Maira tajam.  Nico hanya bisa menahan emosinya karena ia maas bertengkar. Suasana tegang tadi padi saat sarapa sudah membuat moodnya jelek, begitu juga dengan Hilda. "I did it because I love her"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN