Maira terpaku pada testpack dan hasil USG miliknya.
"Ini gimana ceritanya gue bisa hamil coba?!" Maira tidak percaya dirinya kini berbadan dua. Ia mencoba untuk memutar kembali ingatannya. Mencoba mengingat, bagian dari pernikahannya dengan Nico yang membuatnya hamil.
"Ahh!! Iya waktu itu Nico mabok" Maira menepuk keningnya. Ia menghela nafas frustasi. "Terus gimana gue ngomongnya?! Dia pasti bakalan ngelak sekeras mungkin" Maira jadi bingung sendiri. Seolah-olah ia hamil di luar nikah dan ke bingungan sendiri untuk memberi tahu ayah dari janin yang ada di kandungannya.
Maira mencoba untuk menenangkan pikirannya sebelum akhinya memutuskan untuk pulang ke rumah.
Setelah merasa sedikit tenang, Maira akhirnya meninggalkan rumah sakit. Ia yang biasanya menyetir dengan kecepatan agak tinggi, kini menyetir lebih santai dan sangat memperhatikan situasi sekitarnya.
Sesampainya di rumah, ia berusaha agar terlihat tenang dan tidak menampakkan orang-orang di rumah rasa terkejutnya itu.
"Dari mana kamu Ra?" tanya Nitya melihat menantunya yang baru pulang itu. Maira terperanjat mendengar suara Nitya. "Abis ketemuan sama temen aku sebentar Ma" jawab Maira. Nitya hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu.
Maira mengelus dadanya sendiri dan segera berjalan menuju kamarnya.
Baru saja Maira hendak membuka pintu kamarnya, Nico membuka pintu kamar mereka dari dalam.
"Kemana aja sih?!" tanya Nico dengan kening berkerut. "Abis ketemu temen" jawab Maira yang langsung masuk ke dalam kamar lalu menguncinya.
Maira meletakkan tasnya di atas tempat tidur lalu membuka jaketnya. Ia langsung melangkah ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya.
"Aku mau pergi dulu, ada meeting sama temen aku. Pinjem power bank kamu dong" ujar Nico sambil memasang jam tangannya. "Ambil di tas aku gih" ujar Maira entang lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah Maira selesai mencuci wajahnya dan keluar dari kamar mandi, ia menemukan Nico yang masih berada di dalam kamar. Berdiri memunggunginya. "Kamu kok belum pergi? Gak telat?" tanya Maira entang sambil mematikan lampu kamar mandi.
Nico berbalik badan sambil memegang foto USG dan juga testpack miliknya. Maira mematung melihatnya. Ia bingung apa yang harus ia katakan pada Nico. Ia tidak berencana untuk memberi tahu suaminya itu dalam waktu dekat. Tapi justru dengan bodohnya ia membiarkan Nico untuk mengambil power bank langsung dari tasnya.
"Ini apa Ra?" tanya Nico dingin. "Kamu hamil?" cerca Nico. Maira tidak bisa menjawab pertanyaan Nico.
"Aku pulang sekitaran jam empat, kamu gak boleh kemana-mana. Pulang nanti, jelasin sama aku SEMUANYA!" ujar Nico menekankan kata terakhir. Maira mengangguk.
Nico menaruh kembali dua benda itu dan mengambil power bank milik istrinya. "Jangan sampe Papa Mama tau soal ini sebelum kamu jelasin semuanya ke aku" ujar Nico sambil mengambil tasnya dan keluar dari kamar mereka.
Maira berdecak kesal karena rahasia yang ia harap Nico tidak tahu justru terbongkar dengan mudahnya akibat kebodohannya sendiri.
Selesai dari meeting dengan temannya Nico langsung pulang ke rumahnya. Tadinya Hilda mengajaknya untuk mampir sebentar ke coffee shop namuna Nico menolaknya. Baru kali ini Nico lebih mementingkan Maira ketimbang Hilda.
Sesampainya di rumah, Nico langsung masuk ke kamarnya. Maira yang tengah asyik menyantap cemilan menatap Nico kaget.
Setelah Maira selesai makan, Nico tanpa basa basi lagi langsung bertanya.
"Sekarang ceritain semuanya" ujar Nico dingin.
Maira pun menceritakan semuanya pada Nico.
Setelah mendengarkan dengan seksama, Nico mengusap wajahnya sendiri. "Jadi gimana dong?" tanya Nico putus asa. "Kamu tau kan, aku gak siap dan aku gak ngarepin anak ini" ujar Nco.
Lagi-lagi ucapan Nico menorehkan luka di hatinya. Suaminya seperti gemar membuatnya sakit hati.
"Terus kamu pikir aku siap?" tanya Maira dengan nada nanar.
"Sebelum kamu ngomong, aku gak akan gugurin anak ini" ujar Maira kukuh. Nico menoleh ke arah Maira dengan tatapan kaget. "Kamu pikir aku bakal nyuruh kamu gugurin kandungan? Gak sejahat itu aku jadi manusia meskipun aku gak ngarepin dia!" tegas Nico.
Terserah.
Terserah apapun yang akan Nico katakan, Maira sudah tidak peduli lagi.
"Apapun yang terjadi, aku gak akan gugurin kandungan ini. Dia gak pernah mau juga punya orang tua yang belum siap kayak kita" ujar Maira sambil menahan tangisnya.
"Terus gimana dengan orang tua kita?" tanya Maira lagi. "Kita sembunyiin juga pasti bakalan tau juga akhirnya. Untuk saat ini cukup kita berdua aja, kita pikirin lagi nanti" ujar Nico mengusap wajahnya frustasi. "Aku mau mandi, siapin baju salinan" pinta Nico sambil berjalan menuju kamar mandi.
Maira hanya duduk terdiam di pinggir tempat tidur, memikirkan skenario paling buruk yang harus ia hadapi sembilan bulan ke depan.
****
"Maira, gimana? Kamu masih ngantuk-ngantuk?" tanya Nitya saat sarapan pagi. Maira langsung menoleh saat namanya di panggil. "Udah gak begitu Ma" jawab Maira agak kikuk apalagi saat ia mendapati Nico meliriknya. Seolah mengisyaratkan bahwa agar Maira tetap diam dan tidak berbicara sepatah abjad pun seputar kehamilannya ini.
"Aku pergi ke kantor dulu" Maira pun segera bergegas berdiri dari kursinya dan pergi dari ruang makan. Tak lama kemudian, Nico menyusul istrinya.
Saat Maira hendak membuka pintu mobilnya, Nico menahan lengan Maira agak kencang.
"Kalo kamu emang niat buat pertahanin anak itu, silahkan! Tapi selama keluarga kita belum tau soal ini, jaga diri baik-baik!" bisik Nico. Bisikan yang bernada anjuran itu lebih terdengar seperti sebuah ancaman. "Gausah kamu suruh, juga aku bakalan jaga baik-baik" sahut Maira dingin.
Maira masuk ke dalam mobil dan kemudian meninggalkan Nico yang masih berdiri menatap mobilnya yang semakin jauh.
"Nico Nico, mabok ampe bikin anak orang hamil" Nico menghela napasnya.
Sesampainya di kantor, Maira langsung bekerja seperti biasa. Hanya saja, ia lebih memperhatikan makanan yang ia konsumsi dan mengendalikan gerak tubuhnya. Jika sebelumnya ia akan memesan kopi untuk mencegah kantuk, kali ini Maira lebih miliih untuk jalan-jalan sebentar atau bahkantidur sebentar ketimbang memesan kopi.
Sebisa mungkin, Maira menjaga mulutnya agar ayah dan adiknya tahu tentang kondisinya yang membahagiakan ini.
Getar ponselnya membuatnya terperanjat. Ia langsung mengambil ponslenya yang tergeletak tak jauh darinya.
Jenita
Ra ngopi yuk?
Oh tentu saja Maira langsung menolak ajakan temannya ini. Ini demi janinnya. Ia sudah di wanti-wanti oleh Nico untuk menjaga kandungnanya selagi keluarga dan orang lain belum tahu.
Sedikit merasa bersalah karena ia menolak kebiasaan rutin yang selalu ia dan Jenita lakukan.
"Semoga Papa kamu bisa nerima kamu ya" Maira mengelus perutnya yang masih rata itu.
Ia tidak bisa berharap apa-apa kecuali Nico yang bisa menerima darah dagingnya sendiri ini.
Sudah hampir dua minggu Nico dan Maira menyembunyikan kehamilan Maira. Keduanya masih bergeming bagaimana menceritakan pada kedua keluarga mereka bahwa Maira telah berbadan dua, apalagi semua benar-benar di luar kuasa keduanya.
"Gue perhatiin lu makin hari makin diem" ujar Dennis pada adiknya. Nico langsung terkisap dari lamunannya. "Eh, kapan kemari?" tanya Nico pada kakaknya. "Baru nyampe sini" ujar Dennis sambil duduk di kursi, tanpa menunggu adiknya mempersilahkan dirinya.
"Lu sembunyiin apaan sih? Kok kayaknya lu diem banget" ujar Dennis. "Gue gak sembunyiin apa-apa kok. Ada apa kemari?" tanya Nico. "Mana berkas yang kemaren?" tanya Dennis yang lebih terdengar seperti preman yang menodong korbannya.
"Tuh" Nico menunjuknya dengan dagunya. Dennis langsug membuak map tersebut dan membaca berkas tersebut. "Yaudah, gue mau balik dulu ke ruangan. Ini besok di bawa pas rapat ya. Awas kalo lupa" ujar Dennis yang melenggang pergi keluar dari ruang kerja Nico.
Nico menghela napas lega ketika kakaknya itu akhirnya pergi. Ia benar-benar kehabisan akal ketika kakaknya menyadari perubahan pada dirinya itu. "Belum saatnya kalian tau Maira lagi hamil" ujarnya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ponselnya berdering, Nico langsung meraih ponselnya dan menemukan bahwa Lita, teman Hilda menghubunginya.
"Halo" ujar Nico santai.
"Dimana?!" tanya Nico panik
"Okay, gue kesana. Tunggu gue ya"