"Katanya jodoh itu ditangan tuhan? Jangan percaya! Jodoh itu dipikirannya tuhan! Kalo gak percaya coba tanya tuhan."
Alfani Devina Ŕanźœ
******
Gubrak!
Fani terjengit kaget membuat ponsel ditangannya terlempar sampai jatuh kelantai setelah membentur ujung nakas.
"Abang apa-apaan sih!" sentak Fani memungut ponselnya yang sudah mendarat dilantai. Ia menatap tajam Devon yang malah duduk santai dipinggir kasurnya.
Setelah tadi berbincang, Fani memutuskan untuk beristirahat dikamar nya sambil menonton film di YouTube.
"Kamu yang apa-apaan?! Maksud kamu ini apa?" Devon melemparkan selembar foto yang dicetak 4R pada Fani.
"Abang dapet itu dari mana?" tanya Fani dengan raut wajah yang was-was.
"Dibayar berapa kamu? Masuk ruangan mana?" tanya Devon sarkastik.
"Fani cuma layani pelang9an VIP keatas aja, seminggu bisa sampai 10 juta lebih," jawab Fani tertunduk.
"Uang yang diberikan papa kurang sampai kamu harus kerja?" Devon menatap tajam Fani yang hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Jangan diulangi lagi," ucap Devon lembut seraya menarik Fani kedalam pelukannya.
"Kenapa gak mau bilang abang? Abang bisa bantu kok--"
"Fani cuma gak mau Mama sedih aja," jawab Fani pelan.
"Abang bantu. Dari pada kamu jadi chief di restaurant orang lain mending kamu mendirikan restaurant mu sendiri. Abang kemaren survei lapangan di perusahaan nya papa, terus ada lahan kosong dan tempatnya strategis, mau lihat?"
Fani menatap tak percaya pada Devon. Ia pikir hobby dan bakatnya yang memasak akan membuat semua berantakan, apalagi tadi Devon melemparkan fotonya saat menjadi chief disalah satu restaurant tempat ia menyalurkan bakatnya. Fani memang suka memasak, bahkan sedari kecil ia suka sekali memasak makanan yang akan ia jadikan bahan uji coba disaat orang tuanya pergi.
"Kamu mau restaurant nya seperti apa? Abang punya tabungan yang sepertinya cukup buat bangun restaurant dari nol, tinggal kamu mau desaign nya kayak apa? Atau minta Barga buat gambar kan?" tawar Devon mengusap lembut rambut adiknya.
"Inas pinter gambar, Bang. Besok ajak Kak Inas kesini ya, tapi papa dan Mama jangan sampai tau." Fani mengangguk kan kepalanya semangat saat mendengar ucapan dari Devon.
"Lain kali kalo ada apa-apa cerita, walau abang sibuk bakal abang luangkan buat kamu, maafin abang yang selalu nge hukum kamu ya."
"Iya, Bang. Maafin Fani juga ya, Fani janji bakal didik anak SLC buat bikin sekolah bangga, bukan dengan nakal."
"Udah jam 11, besok hari sabtu kan? Jadwalnya kamu ngambil kartu UAS? Abis ngambil kartu kita lihat tempatnya." Fani mengangguk.
"Bang Devon tidur sama Fani ya, Fani kangen," ucap Fani memohon, Devon diam sejenak lalu mengangguk.
"Abang ganti baju dulu," ucap Devon lalu beranjak pergi.
Fani bersorak senang dan segera menata kasurnya karena ia akan tidur bersama Devon.
Tak lama, Devon datang dengan celana kolor dan kaos oblong lalu duduk dibagian kanan.
"Udah belajar?" tanya Devon menyandarkan tubuhnya disandaran kasur.
"Udah," jawab Fani menyenderkan tubuhnya dipundak Devon.
"Fani minta maaf ya kalo sering buat abang kesel, Fani sekarang udah sadar kok," ucap Fani membuka ponselnya menekan icon w******p.
"Gak apa-apa kok. Nakal itu perlu asal tau batasannya," jawab Devon memeluk tubuh Fani.
"Itu chat siapa yang kamu sematkan?" tanya Devon melihat beranda chat Fani, ada 5 chat yang dismatkan.
Bapak Negara
Ibu Negara
Calon mantu Negara
Bang Devon Tembok
Bang DevaNgsat
"Papa, mama, mas Altar, Bang Devon, dan bang Devan," ucap Fani.
"Kenapa suka pake wa mod?"
"Tampilannya lucu, bisa dibuat nyadap juga."
"Pernah nyadap punya abang?" Fani menatap Devon sambil cengengesan. Jangankan Devon, semua kontaknya ia sadap.
"Masa?"
"Bisa sih, tapi cuma bisa sebatas beranda aja, soalnya keamanan ponsel abang gak bisa Fani terobos," jelas Fani mengingat dulu saat ia ingin menyadap ponsel milik Devon.
"Soalnya ponsel kamu udah abang blokir duluan, jadi data abang gak bisa kamu curi."
"Lagian pake wa mod itu malah mudah disadap karena datanya ilegal , besok ganti ya," ucap Devon mengelus lembut Surai panjang adik tersayangnya.
"Jahatnya, abang sama papa itu sama aja. Kalo abang gak bisa dibuka room nya tapi kalo punya papa susah banget, malah ponsel Fani sampe bunyi terus gara-gara terobos keamanan ponsel papa."
"Kamu aja yang t***l!"
*****
"Gak bisa gitu dong, Bu. Ini namanya pelanggaran hak asasi manusia! Ibu bilang semua wajib ikut test, tapi kartu test kami tidak diberikan!"
Devan menatap wali kelasnya dengan tajam. Seluruh anggota Satuan Laksamana Community atau biasa dipanggil SLC berdemo karena mereka tidak mendapat kartu test.
"Salah kalian tidak mengikuti aturan yang ditetapkan," balas sang wali kelas.
"ATURAN BAGAIMANA? BAYAR? KAMI SEMUA SUDAH LUNAS DARI AWAL MASUK SEKOLAH! ATAU IBU YANG HARUS SAYA BAYAR? ATURAN PENGAMBILAN KARTU TEST HANYA LUNAS PEMBAYARAN!" bentak Devon menggebrak meja wali kelasnya dengan kasar.
Mereka sekarang berada didalam kelas, yang lain sudah keluar karena sudah mendapatkan kartu test.
"Jaga bicara kamu! Kamu kira dengan hanya membayar kamu mendapat kartu ini?" Bu Endang menatap seluruh anggota SLC dengan pandangan mencemooh.
"Bu, coba bilang kita kurang apalagi buat bisa ambil kartu test nya?" tanya Adit mengelus pundak Devon agar menurunkan emosinya.
"Sebenernya dari dulu saya pingen banget nikah sama tuan Zion, bagaiman kita barter?"
Devan menatap tajam guru didepannya sedangkan yang lain melotot tak percaya.
Murahan!
Gubrak!
Satu gebrakan berasal dari tangan Devan. Dengan cepat ia menarik kartu test ditangan gurunya.
"Lebih baik saya tidak mendapat kartu test dari pada melihat papa saya bersama anda yang murahan! Jangan kan melihat, membayangkan saja saya sudah ingin melindas kepala anda," desis Devan tajam dan menyobek semua kartu test ditangannya lalu melemparkan tepat di wajah bu Endang.
"Cabut," perintah Devan menendang kursinya menjauh.
Fani dan yang lain langsung berdiri meninggalkan kelas tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka.
"MINGGIR ANJING!" Fani menggelengkan kepalanya saat melihat Devan yang memukuli kakak kelas.
Kebiasaan.
Jika marah akan mencari kesalahan orang lain agar ia bisa melampiaskan emosinya.
"DEVAN STOP!" Fani menatap kearah sumber suara, disana ada Devon yang berlari kearah Devan untuk melerai perkelahian.
"Anterin pulang!" perintah Devon pada Adit dan Eza. Mereka menarik Devan menuju parkiran sedangkan yang anak SLC yang lain membereskan kekacauan.
"Udah dapet kartu test?" tanya Devon merapikan rambut adiknya yang sedikit berantakan.
Fani menggeleng.
"Kartu testnya disobek bang Devan. Gara-gara bu Endang mau tukeran, dituker jadi istri kedua papa," jelas Fani, Devon mengangguk dan merangkul Fani mengajaknya untuk pulang.
"Ayo, udah ditunggu Inas diparkiran."
********
"Badebahh!"
"Siialan!"
"Udah, Van! Jangan maki terus, telinga abang panas dengernya." Devon menasehati Devan yang dari tadi hanya memaki tak jelas.
"Ada apa ini?"
Deg!
"Mama udah pulang? Bukannya tadi dari rumah tante Dera ya?" tanya Fani mengalihkan pembicaraan.
"Om Ray t***l," ralat Devan menarik pipi Fani.
"Om Ray sama tante Dera apa bedanya? Mereka kan 1 rumah 1 keluarga 1 ranjang sekalian," balas Mama Rachel lalu berlalu meninggalkan ruang keluarga.
"Iya juga ya," gumam Devan.
"Eh, Cebong! Lo semalem tidur sama siapa?" tanya Devan teringat semalam saat ia akan meminjam laptop Fani tapi malah melohat Fani yang sedang berpelukan dengan seorang laki-laki.
"Bang Altar," jawab Fani asal, ia merebahkan tubuhnya diperlukan Devon seperti koala membiarkan Devan mengoceh sesuka hati.
"Jijik gue lihat lo manja," cibir Devan menarik rambut Fani kebelakang membuat kepalanya mendongak dengan paksa.
"DEVAN a*u!" teriak Fani yang langsung mendapat pukulan ringan dibibir nya.
"Tabu."
"FANI MULUTNYA!" teriak mama Rachel dari dapur.
Fani hanya mencebik kesal, ia menatap tajam Devan yang sedang berdiri di samping aquarium melihat ikan koi kesayangannya.
Devon menggelengkan kepalanya saat Fani diam-diam menghampiri Devan.
Clup
"Bwahahaha."
"Asjfsujsbsksl."
Fani tertawa terpingkal-pingkal dengan tangan yang terus menahan kepala Devan agar tidak keluar dari air.
Devan sudah meronta-ronta saat ia mulai kehabisan napas didalam air.
"Udah lepas," ucap Devon yang dari tadi hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
Dengan keras Fani menekan kepala Devon didalam air lalu berlari menuju keluar mansion tanpa memperdulikan beberapa maid yang menatapnya sambil menggelengkan kepala.
Brak!
"Aw," rintih Fani saat ia menabrak sesuatu dan kini telinganya terasa panas.
"Udah gede masih aja lari-larian, nakal!"
Fani meringis saat melihat siapa yang mengomelinya. Alamat uang jajan raib.
"Eh, Papa. Udah pulang ya? Tumben gak lembur."
"Ya pasti udah pulang orang udah disini," cibir papa Zion lalu berjalan masuk dengan tangan kanan yang masih memegang telinga Fani.
"Nah jewer aja, Pa," seru Devan dengan semangat menggebu, kaos bagian depannya sudah basah dan kepalanya seperti tikus kecebur got, mengenaskan.
"Perasaan papa gak punya anak tikus got deh."
Devan menatap sebal papanya dan pergi meninggalkan ruang keluarga dengan perasaan kesal.
"Papa mau mandi dulu atau makan?" tanya mama Rachel berjalan dari dapur menghampiri suaminya.
"Mau mandi, gerah."
"Ya udah sana."
"Hm," balas papa Zion.
"Pa, lepas dulu napa, panas tauk," protes Fani saat dari tadi telinganya tak kunjung dilepaskan.
*****
"Hallo semua, hallo semuanya, kita bermain, dengan Pororo. Teman baik yang menyenangkan, Fani imut sedunia, Devan tol0l yang mengenaskan, jomblo akut sekota, Po-"
"Asw!"
Fani menatap Devon yang sedang menuruni tangga dengan stelan luar biasa rapinya.
"Tumben rapi, mau nangkring dimana?"
"Anak kecil dilarang kepo," balas Devan kesal.
"Kita lahirnya 1 server 1 waktu lho."
"Gue duluan baru elo," balas Devan merapikan sweaternya.
"Tetep aja sama, elo kecil," ejek Fani.
"Elo kecil, Cebong! Tinggi aja gada sepundak gue."
Jlep!
"Emang gue bahas tinggi?"
"Lha terus bahas apa?"
"Bahas ini yang kecil," ucap Fani tajam sambil mengayunkan kakinya ke depan.
"Annjing!" maki Devan merasakan sakit dibagian pribadinya.
"Assu! Adek laknat! Bajinngan! Kammpret!" maki Devan secara beruntun karena menahan sakit dan kesal.
"Adek sendiri dimaki, dosa, abang," ucap mama Rachel yang entah dari mana sudah pergi meninggalkannya.
"Kenapa, Van?" tanya Devon menepuk bahu Devan yang sedikit menunduk.
"Si Fani a*u! Punya gue ditendang dia," balas Devan membuat Devon langsung tertawa.
"Awas diamputasi," bisik Devon pelan membuat Devan mendelik tak terima.
"Bener?" tanya Devan memastikan.
"Iya bener. Dia aja bisa patahin tangan yang ada tulangnya apalagi punyamu yang gada tulangnya." Devan bergidik ngeri.
"Anterin gue kerumah sakit ya, Bang," pinta Devan memelas pada Devon.
"Kamu percaya apa yang abang bilang?" tanya Devon sedangkan Devan mengangguk.
"Tau gak itu dari mana?"
"Nggak tau," jawab Devan dengan wajah polosnya.
"Sama, abang juga gak tau," balas Devon tertawa tertahan.
"Lo ngibulin gue, Bang?" tanya Devan tak percaya.
"Iya," jawab Devon terbahak-bahak dan menepuk pundak Devan 2 kali lalu pergi meninggalkan Devan yang hanya mendengus kesal.
******
UAS?
Ujian Akhir Semester
Ujian semester aja gagal apalagi ujian hidup?
Eakkk.....
"Semalem pak Pandu kirim jawabannya, tapi cuma abc doang, gak hapal gue," ucap Eza saat mereka sudah berada dikelas dan 10 menit lagi pengawas ujian semester akan masuk.
"Nih gue kasih pensil. Yang 2B jawaban 1 sampai 10, yang 6B 11 sampai 20 dan yang 2HB jawaban 21 sampai 35. Gue lihat ini difilm thailand. Kalian lihat gak garis yang diatas? Ini jawabannya. Tipis A, agak tipis B, agak tebel C, tebel D, dan yang garis pemisah itu E. Dijamin bener semua." Fani memberikan 3 pensil masing-masing pada mereka.
"Hanya kita yang tahu. Soal lanjutnya dibalik ini lo pada bisa usap nih jawaban pake kuku, ntar nimbul yang baru."
Semua mengangguk mengerti.
"Siap, Kapten!"
"Assalamualaikum, selamat pagi silahkan tas diletakkan didepan dan hanya alat tulis yang ada dimeja."
Misi dimulai!
####
####
Alhamdulillah bisa update
Maaf lama ya..