Waktu berganti dengan begitu cepat, dan tidak seperti biasanya yang pulang jam sembilan malam, aku menyesuaikan waktu pulangku bersama dengan Charlotte, Marla dan Bob, selain dari itu Mr.Wiiliam pun memberiku sebuah pesan agar aku tidak lembur di malam itu. Tentu saja aku turuti, karena aku mendapatkan banyak waktu karenanya.
“Jadi, apakah kau mau makan malam dengan kita, Sophia?” pandanganku tertuju ke arah Charlotte yang baru saja bertanya, aku baru saja hendak menganggukkan kepalaku, namun Bob dengan cepatnya berkata,
“Tidak bisa, adiknya sedang berkunjung saat ini! Akan menjadi lebih baik jika ia segera pulang, bukan?” ucapan Bob saat itu, membuatku tersadarkan dan menatap ke arahnya dengan cepat seraya berkata,
“Terima kasih karena telah mengingatkan Bob!” asal kalian tahu saja, aku berkata seperti itu karena aku kesal dengannya, namun nampaknya Bob menganggap itu sebagai ucapan terima kasih yang sesungguhnya karena saat ini dia tersenyum dengan lebar,
“Oh! Itu benar … pergi lah temui adikmu, jangan biarkan dia menunggu di apartemen sendirian, Sophia!”
“Hehe …” aku tersenyum memperlihatkan gigi rapi ku setelah Marla berkata seperti itu kepadaku, dan pada akhirnya aku pun di tinggalkan oleh ketiganya yang pergi melawan arahku pulang, yang membuatku berpikir jika mereka pasti sengaja mengambil cafe yang letaknya bertolak denganku saat itu. Namun apa dayanya aku? Aku hanya bisa pasrah dan kini berjalan menuju apartemenku seorang diri.
Langkahku berjalan menelusuri Lobby, namun langkahku terhenti ketika Mark melihat berjalan keluar dari lift itu, yang membuatku tersenyum untuk menyapanya. Namun, ia melaluiku begitu saja, yang tentu saja aku merasa kikuk setelah di abaikan olehnya seperti itu. Pandanganku kini mengikuti langkah darinya yang berjalan tergesa seolah ketinggalan sesuatu. Yang membuatku kini mengerutkan dahiku dan mengedikkan kepala,
“Ck! Aku rasa ia memang sedang terburu-buru!” gumamku, dan karena berbasa-basi dengannya hari ini tidak bisa, aku yakin di lain waktu kami akan bertegur sapa.
Kembali aku langkahkan kakiku untuk masuk ke dalam lift dan menekan tombol 3, dan selama berada di lift aku mencari menu makanan malam yang setidaknya gampang untuk aku masak di malam itu.
“Hm … aku rasa sayur kubis enak!” gumamku dan tanpa sadar pintu lift terbuka dan aku sudah sampai di lantai tempatku tinggal. Dengan senang aku berjalan menuju pintu kamarku dan aku segera masuk setelah sebelumnya menekan pin password di sana.
“Aku pulang!”
Aku berucap seraya melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam apartemenku, dan baru saja aku melangkah, sebuah bau wangi dari makanan menyerbak masuk ke dalam hidungku.
“Oh, kau sudah pulang?” pandanganku kini menoleh menatap Rico yang baru saja bertanya, ia mengintip dari balik ruang dapur, dengan celemek yang terpasang di tubuhnya, dan spatula yang ia genggam di sana.
“K … kau masak?” itu lah yang aku tanyakan kepada Rico, dan kini adik laki-lakiku itu mengangguk dengan entengnya dan berucap,
“Tentu! Siapa lagi yang akan melakukannya saat ini, jika bukan aku?”
AKu hanya bisa tersenyum dengan canggung di saat dia berkata seperti itu kepadaku,
“Mandi lah! Biarkan meja makan aku yang atur, Sophia!” perintahnya sangat-sangat jarang, namun karena tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, mandi dan berendam adalah hal yang tepat untuk menghindari rasa canggungku dengan Adiku saat ini.
…
“Ahh …” Aku mendesah ketika masuk ke dalam bathtub yang kala itu terisi penuh oleh air hangat yang sudah aku siapkan beberapa menit yang lalu. Menjadi merasa rileks ketika air hangat itu menyentuh tubuhku, seolah tak ada yang perlu aku pikirkan di hari itu.
Aku termenung dengan cukup lama di sana, namun ketukan dari luar pintu saat itu menggangguku, pandanganku kini tertoleh menatap ke arah pintu tersebut.
“Hei, jangan terlalu lama, okay? Aku sudah lapar!” itu lah yang dikatakan oleh Rico kepadaku, dan tentu saja aku ingin sekali berendam berlama-lama di sana supaya tidka menghabiskan waktuku dengannya, namun aku kembali ingat dengan ucapan Bob, mungkin Rico merasa kehilangan selama aku berada di sini, dan itu lah sebabnya kenapa ia bertingkah baik seperti itu. Pada akhirnya aku pun segera menyudahi aktifitas berendamku untuk kemudian makan malam bersama-sama dengan dirinya.
“Bagaimana?” pandanganku kini menoleh menatapnya yang terlihat penasaran ketika aku melahap daging asam manis yang ia buat di sana, dan hal itu membuatku kini menganggukkan kepala seraya berkata,
“Mm … tidak buruk!” ucapku kepadanya yang kini tersenyum senang, seolah puas dengan tanggapan yang aku berikan untuk masakannya di sana.
“Kau tahu … kau harus buka restaurant di sini, agar setidaknya bakat masakmu ini akan terasah dengan baik!” ucapku kepada Rico yang kini tertawa menanggapi perkataanku, aku menatapnya yang kini tertawa dengan senang dan menggelengkan kepala seraya berkata,
“Ah … aku tidak yakin akan hal itu, tapi aku akan berusaha agar setidaknya masakanku menjadi lebih enak lagi dan aku akan membuka restaurant sesuai dengan ucapanmu, Sophia!” ucapnya kepadaku, dan aku tertawa mendengar hal itu.
Ini adalah kali pertamanya aku berbincang santai dengan Rico, dan aku rasa tidak ada buruknya juga berbincang dengan dirinya.
“Kau sendiri, bagaimana dengan pekerjaanmu itu, Sophia?” pandanganku kini menoleh menatapnya yang baru saja bertanya seraya mengambil potongan daging lainnya dan memberikannya ke dalam piringku, dan hal itu membuatku tersenyum seraya berkata,
“Hmm … hari ini pekerjaanku baik, aku juga nyaman dengan pekerjaanku di bandingkan dengan yang kemarin!” jelasku kepadanya, yang kini membuat Rico menganggukkan kepala dan kembali bertanya seraya mengedikkan kepalanya ke samping,
“Lalu, bagaiman dengan para tetangga?”
Mendengarnya bertanya seperti itu, membuatku kini menghembuskan napas dan kemudian berkata,
“Yah … di sini tidak begitu ramah, kau tahu? Dua wanita menyebalkan merusah hari pertamaku di sini!” jelasku kepada Rico yang kini mengrtukan dahinya dan mengedikkan kepalanya, seolah memintaku menceritakan mereka lebih jelas lagi.
“Mereka … satu wanita dari kamar tiga lima lima, dia benar-benar menyebalkan, ketika aku menyapanya dengan ramah, dia hanya menatapku dengan tajam dari bawah ke atas, seolah tengah menelisik dan menilai penampilanku! Dia bahkan menolak kue buatan ibu dan membanting pintu di hadapanku, apakah itu tidak keterlaluan?” ucapku kepada Rico yang kini menghembuskan napasnya dan berkata,
“Eish … kenapa dia berlaku seperti itu? Bukankah seharusnya dia juga bersikap ramah kepadamu? Atau jangan-jangan kau yang kurang ramah kepadanya?” pertanyaan Rico saat itu segera saja membuatku mengerutkan dahi dan menggerutu,
“Tidak! Aku sudah tersenyum selebar mungkin! Kau tahu itu, hingga kedua pipiku ini sakit karenanya!” jelasku kepada Rico dan kini mengangguk seolah membelaku,
“Ya … ya benar, aku ras adia keterlaluan!” ucap Rico, dan aku mengangguk setuju dengan perkataannya di sana.
“Lalu, bagaimana dengan wanita lainnya?” tanya Rico, dan membuatku yang baru saja melahap daging asam manis itu mengedikkan kepalaku ke arah sebelah dan berucap dengan mulut yang penuh,
“Dia anak remaja yang ada di sebelah, kau tahu?? baukan anak perempuan itu mengancamku di lift! Tidakkah dia sangat agresif?!” ucapku kepada Rico yang mengerutkan dahinya mendengar perkataanku itu,
“Hh … bahkan aku tidak tahu namanya, tapi melihat wajahnya saja sudha membuatku kesal!” sambungku kepadanya, dan kini aku melihat Rico terlihat sangat keberatan atas apa yang aku ucapkan di sana, yang tentu saja membuatku kini bertanya,
“Kenapa dengan tatapan itu?” tanyaku kepadanya yang kini terlihat sangat ragu, namun akhirnya berkata,
“Dia berlaku seperti itu kepadamu?” tanyanya, dan aku mengangguk menanggapi pertanyaan Rico,
“Yeah! Dia melakukannya!” aku mendengarnya kini mendecik seolah meragukan dan berkata,
“Aku rasa dia bukan orang yang seperti itu, Sophia!” jelas Rico, dan membuatku kini mengerutkan dahi karenanya.
”Apa yang kau katakan dia bukan orang yang seperti itu, huh?!” tanyaku mulai penasaran dengan ucapan Rico saat itu,
“Scarlet! Kau berbicara tentang Scarlet, anak remaja kelas tiga SMU yang tinggal bersama dengan ayahnya di Tiga lima enam, bukan?” aku membelalakan kedua mataku ketika mendengar Rico mengetahui nama dari anak remaja itu, bahkan diriku saja tidak mengetahui namanya dan dia tinggal dengan siapa di sana,
“Kau mengenalnya?! yeah … dia tinggal di tiga lima enam, jadi namanya adalah Scarlet?!” aku menatap Rico yang kini mengangguk menanggapi pertanyaanku itu,
“Yeah … kami berkenalan di lift ketika ia akan berangkat ke sekolahnya, dan bahkan karena aku melihat ia terlambat, jadi aku menawarinya tumpangan!”
“Uhuk!”
Aku tersedak ketika aku menegak air putih itu, aku berkali-kali memukul dadaku dna menahan rasa sakit di tenggorokanku ketika mendengar Rico berkata seperti itu. Dia berkenalan dengan Scarlet, dan bahkan mengantarnya ke sekolah?! sungguh mengejutkanku.
“What?! kau mengantarnya ke sekolahan?! Rico! Apa yang ada di dalam pikiranmu itu, huh?!” tanyaku kepada Rico yang kini dirinya justru mengerutkan dahi dan mengedikkan kedua bahunya,
“Apa salahnya?” tanya Rico yang seolah ia tidak merasa bersalah akan hal itu. Dan tentu saja, mengantar seseorang yang sedang terlambat adalah hal yang baik. Namun, bagiku orang yang diantar oleh Rico lah masalahnya.
“Hah .. aku tidak percaya akan hal ini!” gumamku, dan aku hanya bisa mengatakan itu tanpa mengatakan yang lainnya, karena itu sudah terjadi. Tapi permasalahannya kenapa Rico berkata bahwa anak remaja bernama Scarlet adalah anak yang baik? Apakah dia akan bersikap lembut hanya kepada lelaki?
Aku hanya bisa menggelengkan kepala tidak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Scarlet, aku rasa anak remaja itu hanya akan mencari perhatian kepada laki-laki saja, mengingat sifatnya berubah seratus delapan puluh derajat di hadapan Mark, dan kini ia begitu di hadapan Rico.
Yang pada akhirnya, aku memberikan satu penilaian yang mutlak kepada Scarlet, anak perempuan yang tinggal di tiga lima enam, yaitu ‘menyebalkan’. ya … orang yang seperti itu adalah tipikal perempuan menyebalkan, dan aku yakin jika aku tidak akan pernah bisa untuk berteman dengan Scarlet. Tidak akan pernah!
…