Alice

1897 Kata
"Alice, kau harus bicara padanya!" Kalau aku bisa aku pasti sudah lakukan dari dulu. Tidak harus menunggu selama ini dan melihatnya bersama gadis berbeda setiap minggunya. "Aku tahu." "Cepat lakukan sebelum terlambat!" Itu tidak mudah. Aku tidak ingin merusak hubungan kami yang sudah terjalin sejak kami masih bocah dengan pernyataan cintaku. Akan terasa aneh jika tiba-tiba saja aku bilang padanya: 'Hei Natt, aku rasa perasaanku sedikit berubah padamu .. Aku menyukaimu lebih dari sahabat', itu sangat gila. "Lalu kapan?" Aku tidak tahu, mungkin saat Prom nanti, yang dimana tiga bulan lagi dan aku harus tersiksa melihat lengan Natt menerapkan gadis yang berbeda tiap minggunya disekolah. "Lihatlah kesana?" Mataku beralih ke arah meja Natt di tengah kantin, dia sedang b******u dengan Natalie, gadis tercantik disekolah ini. "Mereka menyebalkan!" Bangkit. Aku melangkah keluar dari ruangan ini untuk mencari ruang yang tidak tercemar bau baik, Natt. Setiap kali satu ruangan dengan Natt membuatku gila, aku harus berpura-pura tidak memiliki perasaan apapun padanya. Itu sangat menyiksaku. "Apa butuh bantuan untuk menghilangkan stresmu?" Ian berdiri disampingku dengan rokok menampilkan di bibirnya. "Aku tidak merokok." Aku tidak merokok atau pun minum minuman keras seperti remaja lainnya. "Aku tahu, kau gadis baik kan?" Ejeknya menyeringai. "Selalu menjadi gadis baik untuk semua orang." "Aku hanya tidak tertarik dengan kehidupan liar kalian." Dengusku kesal. Ian tertawa. "Kau belum tahu saja, Itu cukup menyenangkan." Aku mendengus tidak suka dengan apa yang dikatakannya. Tidak Ada perbuatan kotor yang menyenangkan untuk dilakukan. "Jika pikiranmu berubah, aku selalu bersedia untuk menuntunmu kejalan kegelapan." Tawar Ian. Dia membuang putung rokok dan pergi meninggalkanku. Ian Coltox. Bukan nama yang asing di telingaku. Dia selalu menjadi bahan pembicaraan di kota ini, reputasinya sebagai seorang b******n. "Tidak, terima kasih." Teriakku saat melihatnya naik ke motor besarnya. / Aku orang bodoh. Terjebak di sebuah pesta tanpa teman. Terima kasih pada Natt Wolf yang sudah mengajakku dan meninggalkan ku sendirian disini seperti orang bodoh. Fuck. Ini umpatanku yang pertama. Aku harus segera keluar dari rumah ini sebelum Natt menyadari. Tidak peduli berapa banyak orang populer berpesta di rumah ini, aku tetap bukan bagian dari mereka. Aku hanya gadis Daddy yang menyukai buku dan musik klasik. Keluar dari rumah yang dipenuhi dengan orang yang sudah mabuk cukup sulit, aku harus menghindari beberapa orang yang mencoba meraba pantatku. Tiba-tiba seseorang meletakkan kedua tangannya di pinggangku, cengkramannya cukup kuat tapi tidak menyakitkan. "Lurus kedepan dan cari pintu keluar." Aku tahu suara ini. Bukan berarti aku sering mendengar suaranya. Aku berusaha mengabaikan perasaan panas dari cengkraman telapak tangan nya yang besar. Walau terhalang kain kemeja tapi rasanya terlalu panas. Kedekatan kami yang terlalu dekat sampai dadanya menyentuh punggung ku untuk melindungi diriku dari kerumunan orang berpesta. Langkahku sedikit lambat saat mencari jalan keluar, beberapa orang yang sudah mabuk mencoba meraih tanganku juga untuk ikut menari. "Terus jalan." Perintah suara dari atas kepalaku. Aku mengangguk dan mendorong orang yang menghalangi jalanku. "Berengsek, beri jalan!" Teriaknya, dia menarik tubuhku kebelakang tubuhnya dan mendorong orang-orang di depan. "Ayo," Tanganku ditarik olehnya. - "Gadis Bodoh." Aku berbalik dan melihat wajah Ian Coltox. "Apa maksudmu?" Tanyaku melotot. Tidak ada yang pernah menyebutku bodoh. "Kau tahu, kau terlalu naif." Ian mengaduk-ngaduk saku jaket kulitnya. "Kau bisa dibius dan di perkosa." Aku memperhatikan saat bibirnya sedikit terbuka untuk menjepit rokok. "Aku tahu dan Terima kasih sudah menolongku keluar dari sana." Aku berdiri canggung saat mengatakannya. Tidak pernah terbayangkan jika Ian Coltox menolongku. "Kau harus lebih hati-hati jika datang ke pesta seperti ini. Beberapa minuman di campur obat untuk memangsa gadis-gadis polos seperti kalian." Jelas Ian. "Aku tidak mau datang ke pesta seperti ini lagi." Aku mundur beberapa langkah kebelakang dan bersandar pada pohon di sisi jalan. Setelah keluar dari rumah yang penuh dengan orang mabuk, aku berjalan beberapa langkah ke pinggir jalan. "Kau bisa datang lagi tapi bersama seseorang yang menjagamu." Katanya. Dia membuang rokok yang baru setengahnya di hisap ke tanah dan menginjaknya sampai rata. "Kau punya kebisaan, selalu membuang rokok yang baru setengah nya di hisap." Ian menyeringai. "Apa?" Tanyaku berusaha tidak peduli dengan apa yang di pikirkannya sekarang. "Kau memperhatikanku." Seringai di bibirnya semakin lebar. "Tidak sama sekali." Dengusku. "Baiklah," Katanya, "Dimana temanmu?" "Aku meninggalkannya." Aku mengangkat bahu. Aku tidak bisa memberi tahu yang sebenarnya pada Ian. "Sungguh?" Sebelah alisnya terangkat mempertanyakan jawabanku. "Sudahlah, aku harus pulang." Aku berjalan ke depan sambil memeluk diriku sendiri. Udara yang dingin merembes ke pori-pori kulitku yang hanya tertutup kemeja tipis. "Ini," Ian melepas jaket kulitnya dan memberikannya padaku. "Aku akan mengantarmu pulang." "Tidak perlu dan kau akan kedinginan." Aku masih memegang jaketnya. Ian menyeringai lagi lalu mengusap rambutnya yang sedikit panjang. "Aku akan baik-baik saja, cepat pakai jaketku." Berjalan berdampingan dengan Ian Coltox lebih banyak diam. Ian mengikuti petunjuk yang kuberikan untuk sampai rumahku. Sesekali dia akan berhenti dan menyalakan rokok dan seperti kebiasaannya, Ian membuang rokok yang baru setengahnya. Aku terkikik tanpa sengaja. "Apa aku lucu?" "Kenapa tidak berhenti merokok jika kebiasanmu hanya membuang setengahnya?" "Ini tampak keren." Jawabnya, asap keluar dari bibirnya. "Dasar aneh." Aku memeluk jaketnya di sekeliling tubuhku. Aroma sabun dan asap tembakau bercampur dengan jaket kulit tuanya. Sampai depan rumahku. Aku menyerahkan kembali jaketnya. "Sudah sampai." Kita berdua tampak canggung. "Terima kasih kembali." "Tentu." Ian melangkah mundur. "Selamat malam, Alice." Dia menggigit bibir bawahnya, menatapku untuk terakhir kali sebelum berbalik dan berjalan pergi. - "Dari semua cowok di sekolah ini, Ian Coltox, yang membantumu?" Tanya Delilah tidak percaya di sampingku. "Itu tidak terduga." Jawabku sepelan mungkin. Suara Delilah terdengar pengertian saat menepuk pundakku. "Aku harus berterima kasih padanya karena sudah menolong sahabatku yang terjebak disana." "Jangan berharap." Aku membuka pintu loker dan mengambil beberapa buku untuk ke kelas berikutnya. "Memang kenapa? Dia berhak mendapatkan ucapan terimakasih." "Aku sudah melakukannya." Kataku cepat. "Setelah tahu dia membantumu, aku rasa dia tidak kalah keren dari, Natt." Bisik Delilah. Aku berbalik dan melihat Ian Coltox berjalan. Celana jeans yang ketat dan robek di beberapa bagian membalut kaki panjangnya serta kaos hitam dan jaket kulitnya yang kemarin ku pakai. Ian berjalan didepanku tanpa sedikitpun terganggu oleh beberapa siswa yang menatapnya. Bahkan olehku sendiri. "Wow!" Delilah terus mengikuti Ian yang semakin menjauh dari pandangan kita. "Ayo pergi, kita bisa terlambat ke kelas." Aku sedikit terganggu dengan sikap Ian. Bukan berarti dia harus menyapaku tapi baru kemarin malam kita banyak bicara. Seharusnya dia berhenti didepanku dan menyapaku.. Tunggu, Alice, apa yang sudah kau pikirkan? - "Mau rokok?" Tanya Ian Coltox dari arah belakang. "Tidak, Terima kasih." Aku kembali fokus  pada buku yang sedang ku pelajari. Aku mengambil beberapa waktu untuk datang ke perpustakaan mengerjakan beberapa tugas. "Kau sedikit tidak suka aku berada dekatmu." Ian mengambil tempat duduk di sampingku. "Pendapatmu." Jawabku sambil mencatat beberapa hal yang penting. "Jadi, pendapatku benar?" Dia menggeser kursi yang didudukinya untuk lebih dekat denganku. "Ayolah katakan kebenaran?" "Aku perlu belajar dan jangan ganggu aku." Aku menoleh kearahnya dan senyum miring tersungging di bibirnya. "Kau tidak menjawabnya." Telapak tangan Ian menyentuh pipiku dengan lembut. Beberapa kali jempolnya mengusap sudut bibirku. Aku tidak bisa bergerak sedikitpun. "Aku tidak akan menganggu belajarmu." Ian bangkit dan meninggalkanku. Apa-apaan ini? Beberapa saat aku hanya diam, mencoba mencari tahu apa yang sudah terjadi. - "Tidak mungkin." Bisikku tidak percaya. Aku sudah selesai mengerjakan tugasku dan itu bersamaan dengan perpustakaan yang akan tutup. Saat keluar dari pintu perpustakaan, ada Ian Coltox yang duduk diatas motornya dengan rokok yang menyala di bibirnya. "Kau menungguku?" Tanyaku tidak percaya ketika sudah sampai dihadapannya. "Empat jam menungguku disini?" "Aku tidak ingin mengganggumu belajar didalam." Ian membuang rokok dan menginjaknya. "Ian-" Aku tidak bisa berkata-kata. "Kuantar pulang." Dia mengambil Helm yang terikat di jok belakang dan memberikannya padaku. "Apa kau pernah naik sepeda motor?" Tanyanya geli saat melihat wajahku yang berubah kaku. Aku menggeleng. Ian mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, mungkin dia tidak ingin membuatku takut. Aku yang berada dibelakangnya memeluk perutnya erat dan merasakan perutnya yang keras. Sial, umpatanku yang kedua. Seperti terakhir kali aku mencium aroma jaketnya. Tidak ada yang berubah. Pipi kananku bersandar pada punggungnya dan memeluk erat perutnya, menikmati angin. Aku tidak menyadari kalau sudah sampai depan rumahku. Perjalanan dengan Ian dan mengendarai sepeda motornya adalah hal yang menyenangkan. Aku turun dari motor dan melepas helm. "Terima kasih." Ian mengambil helm dari tanganku. "Tentu." Dia terkekeh. "Aku tidak bisa mengajakmu masuk kedalam rumah." Jelasku, aku tidak ingin menerima banyak pertanyaan dari orang rumah. "Mungkin nanti." Lanjutku cepat. Aku menggigit bibir bawahku dan ketika aku melihat matanya, ada sesuatu yang indah, Hijau. "Aku bisa menunggu." Seringai itu kembali bermain di bibir Ian. Tuhan, aku tidak bisa berpaling dari menatapnya. "Yah, selamat malam, Alice." Ian tidak mundur melainkan maju lebih dekat kearahku. "Aku harus melakukan ini jika ingin tidur nyenyak." Sebelum aku bisa bereaksi, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Tangan kanan kiri Ian menarik pinggang ku untuk lebih dekat kearahnya sedangkan tangan kanannya memegang leherku. Bibir Ian menghisap bibirku dengan lembut. Aku hanya berdiri tidak tahu harus melakukan apa. Ian melepas bibirku lalu merapikan rambutku. "Sampai nanti." Dia mundur dan menaikki sepeda motornya meningalkan ku yang kehilangan ciuman pertama. "Ya Tuhan," Aku meraba bibirku yang masih kesemutan. "Alice?" Panggil seseorang dari belakang. Natt Wolf berdiri tampak canggung. Apa Natt sudah melihatku sejak tadi? Apa dia melihat Ian menciumku? "Hai," Aku berjalan kearahnya. "Sedikit pulang terlambat?" Tanyanya tersenyum. Natt memiliki senyum indah tapi Ian lebih indah saat menyeringai. Alice. Sadar. "Ya, sedikit terlambat." Jawabku gugup. "Aku harus masuk, sampai nanti." Aku lupa memberitahu, rumah kita bersebelahan. "Alice, soal pesta kemarin aku minta maaf meninggalkanmu." Aku berhenti berjalan dan berbalik. Natt tampak sedih. "Tidak apa-apa, Natt." Aku tidak mau melihatnya sedih hanya karena masalah sepele. Natt Wolf tersenyum. - "Ian Coltox, menjemputmu?" Delilah kembali bertanya dari terakhir kali aku memberi tahu tentang kejadian kemarin, minus ciuman itu. "Bukan menjemput tapi lebih tepat menungguku di depan perpustakaan." Jelasku. "Wow, ada apa ini?" Tanya Delilah penasaran. Aku mengangkat bahu. Pembicaraan kita terhenti saat bell berbunyi. Di jam pertama kita tidak memiliki kelas sama, aku Biologi dan Delilah sejarah. "Sampai nanti." Delilah melambai kearahku saat berjalan ke kelasnya. Aku masuk ke kelas dan melihat Ian Coltox sudah duduk dibelakang. Aku baru menyadari kalau kita memiliki kelas yang sama selama ini. Tempat duduk ku selalu di tengah dengan seorang gadis pirang yang lumayan baik dan aku cukup menyukainya. Tapi kali ini dia sudah duduk bersama orang lain. Aku berdiri di tengah-tengah kelas untuk melihat satu kursi yang dan itu disebelah Ian Coltox. Ini adalah hal paling aneh. Kemarin malam dia menciumku dan pagi ini kita duduk dalam satu meja tanpa bicara. Lima menit dan kita masih tidak bicara. Aku tidak suka ini. "Jadi, kenapa tidak bicara padaku?" "Aku tidak ingin merusak reputasimu." Jawabnya santai. Sebelum aku bisa bicara, guru biologi masuk dan memulai pelajaran, mengalihkan perhatianku. Ian Coltox diam dan memperhatikan guru. Sedangkan aku resah duduk disebelahnya. Saat bell berbunyi aku cepat menarik lengan Ian dan menariknya ke luar kelas, membawanya ke ruang kelas kosong. Aku tidak peduli dengan tatapan para siswa lain. "Alice," Aku menatap kesal padanya. "Siapa kau? Sampai berhak memutuskan sendiri." Tanyaku mendorong dadanya dengan tanganku. "Alice," Seringai dia kembali dan aku tidak suka. "Berhenti menyeringai." Bentak ku sambil tersenyum. "Alice" Ucapnya lagi. Dia menarik tanganku. Tanganku genggam dengan lembut oleh tangan Ian. "Alice, Alice, Alice." Tubuhku ditarik kedalam pelukannya. Aku pelukan Ian. Menikmati aroma tembakau di jaket kulitnya. Aku tidak tahu kenapa, ingatanku tentang menghilang begitu saja jika sedang bersama Ian. "Mau kuantar ke kantin?" Tawar Ian. Aku mengangguk. Ian Coltox, terkekeh. #sudah sampai sini gantung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN