Ian Coltox tidak banyak bicara saat bertemu teman-temanku. Di meja kantin yang biasa ku tepati dengan beberapa orang temanku, Ian, hanya diam dan menikmati makanannya. Delilah yang beberapa kali menyenggolku setiap kali aku ketahuan menatap Ian.
Ian mengantarku ke setiap kelas dan menungguku di depan pintu kelas ketika jam pelajaran berakhir. Aku tahu Ian berusaha menjaga sikapnya di depan siswa lain agar tidak menjadi sorotan berlebih. Dengan berjalan di sampingku selama beberapa minggu terakhir saja sudah menjadi bahan gosip para siswa dan itu akan cepat menyebar ke luar sekolah.
Aku tidak terlalu memperdulikannya.
"Alice, aku ingin menunjukkan sesuatu." Kata Ian ketika kami keluar dari sekolah.
-
"Jangan buka matamu sekarang, ini untuk nanti."
Aku tidak mem- .. Duh ... "Lututku menabrak sesuatu yang keras dan itu akan memar nantinya. "Kau menutup mataku tapi tidak membuatku aman untuk melewati ini."
"Maaf," Ian tertawa.
Ian mengambil siku ku dan menuntunku ke tempat makan. Kami berhenti dan kemudian dia membuka pintu, aku tidak tahu ini dimana.
"Aku tidak ingin membuat mu takut, jadi aku akan membocorkan nya sedikit" Kekeh Ian. "Ini apartemenku."
Aku pertama kali ke apartemen Ian dua minggu lalu dan sejak saat itu aku hampir terlalu sering menghabiskan waktu disini untuk belajar atau mengobrol dengannya.
"Lihatlah .."
Apartemen nya rapi dan cat nya berubah dari warna gelap ke warna lebih terang. Saat pertama kali datang ke apartemen itu sangat berantakan dengan sampah makanan dan baju kotornya. Aku beberapa kali mengeluh dan dia tidak melakukan apa-apa.
"Ini sangat bersih dan wangi." Aku melihat sekeliling ruangan.
"Aku tidak ingin kau sakit jika terlalu sering disini."
Lihat, betapa manisnya.
Aku tidak mengatakan hal lain padanya dan lebih memilih untuk mendekat kearahnya.
"Terima kasih." Aku memeluk pinggangnya dan menyenderkan kepalaku di dadanya.
"Kau harus mencoba kasurnya." Aku mendongak keatas dan melihat seringai geli nya.
"Ian Coltox, aku tidak mau tidur denganmu." Langkah ku mundur dan melotot padanya.
"Sungguh? Aku sudah membeli kasur yang empuk dan mencuci seprai agar tidak gatal."
Ya Tuhan, bagaimana dia bisa semanis ini.
Aku pernah mengeluh padanya untuk mencuci kain seprai nya tapi tidak dengan mengganti kasurnya.
Ian melipat tangannya dan menyeringai."Ayo, ini pasti menyenangkan."
"Baik-baik, aku akan jadi gadis pertama yang mencoba kasur baru dan seprai yang baru di cuci ini." Aku berjalan ke kasur milik Ian yang terletak di sudut ruangan.
Apartmen milik Ian tidak ada yang mewah dan terkesan kumuh untuk berada di kota ini, aku tidak pernah tau akan ada lingkungan seperti ini jika aku tidak mengenal Ian. Ian tinggal sendiri dan Aku tidak banyak bertanya padanya tentang kehidupan nya.
"Aroma sabun yang segar." Kataku ketika berbaring di tengah kasurnya.
Ian ikut berbaring disebelahku dan melipat tangannya dibelakang kepalanya.
Kami berbaring untuk beberapa saat sebelum mulai bicara dan bercanda. Ian akan bersikap seperti ini di depanku, membicarakan apa saja, dan aku menyukainya.
Aku tidak sadar jika tertidur dan bangun saat melihat ruangan yang sedikit gelap, Aku mencoba menyipitkan mata untuk menyesuaikan pandangan.
Duduk dan mengusap mataku, Ian tertidur pulas di sampingku, satu tangannya menutupi wajahnya. Kemeja yang dipakai nya sedikit naik dan menunjukkan perutnya yang berotot.
Sial. Aku dengan cepat memalingkan muka karena malu.
Dengan sangat pelan aku berdiri dan berjalan ke kamar mandinya untuk mencuci muka. Tidak lama, aku kembali ke tempat Ian tertidur. Tapi sepertinya dia bisa merasakan kalau aku sudah tidak ada disebelahnya, Ian sudah duduk dan bersandar pada dinding.
"Aku harus pulang." Bisikku dalam remang cahaya. Cahaya bulan masuk kedalam jendela apartemen. Memberikan keindahan.
"Tentu" Ian menguap kembali. "Beri aku beberapa menit." Aku tahu dia masih mengantuk.
Aku berjalan ke tempat tidur untuk mengambil tas yang tergeletak didekatnya.
"Alice.. " Suara Ian terdengar berbeda.
Aku menatapnya.
"Aku ingin menciummu." Ian bangkit dan menarik pinggangku. Dia mendorong tubuhku kebawah sampai punggung ku menyentuh kain seprai.
Jantungku mulai berdebar.
"Jangan tegang." Mata Ian melembut tapi dia tidak melepaskan ku yang terjepit dibawah tubuhnya.
"Aku tahu." Suaraku gemetar.
Mata kita saling memandang dan itu momen paling canggung apalagi berada dalam posisi cukup intim seperti ini.
Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang saat lenganku memeluk leher Ian dan menariknya kearahku. Bibirku mencium bibirnya.
"Mmmm" Senandung Ian ketika bibirku menjauh dari bibirnya.
"Aku harus pulang." Bisikku pelan, sejujurnya aku tidak ingin pulang dan lebih memilih untuk terus mencium Ian apalagi posisi kita yang tidak sedikitpun berubah.
"Alice.. " Mata Ian masih tertuju pada bibirku.
"Y-ya.. " Aku tergagap.
"Bolehkan kita berciuman lagi?" Bola mata Ian berubah sedikit lebih gelap dari terakhir dan ketika jari-jarinya mengusap leherku, membuatku menggigil dan merinding.
Aku melingkarkan kembali tanganku di leher Ian.
Bibir kita bertemu lagi dengan sedikit kecepatan. Ciuman ini terasa berbeda dari beberapa ciuman yang kami bagi.
Bibir Ian turun ke daerah sensitif ku. Dia mencium belakang telinga dan leherku.
"Ian.. " Erangku. Ian kembali mencium bibirku dan memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Aku merasa akan kehilangan kendali disaat seperti ini. Ciumannya memberi efek aneh yang baru pertama kali ku alami, aku merasa pangkal paha ku akan meledak dengan sesuatu yang tidak bisa ku jelaskan.
"Alice.. Kita harus berhenti." Bisik Ian di sela-sela menghisap leherku.
"Kenapa?" Aku merengek.
"Kau harus pulang bukan?" Seringai Ian.
Aku tertawa, "Aku harus pulang."
Ian mencium pipiku sebelum bergeser dari posisi kita yang intim."Waktunya mengantar tuan putri, Alicebell."
"Dan kau tuan, Beast."
-
"Kau sangat cantik, Alice." Ian mencium leherku dan memeluk bahuku dengan kedua lengannya dari belakang. "Aku sangat suka memeluk dan menciummu." Bisiknya sedikit menggoda.
"Ian.. " Rengekku.
"Alice"
"Jangan menggodaku, Ian Coltox!" Aku berbalik dan Ian tersenyum, senyum yang membuatku gila.
"Aku terlalu takut untuk menggoda." Dia mundur beberapa langkah dariku. "Aku harus segera pulang agar tidak membuat bibirmu semakin bengkak." Aku tanpa sadar menyentuh bibirku.
"Semakin bengkak semakin sexy." Ian mengedipkan sebelah matanya.
"Aku membencimu." Kekehku. Aku melambai padanya sebelum dia menaiki motornya.
Aku masih diam berdiri untuk beberapa saat, masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini. Duniaku hanya berpusat pada tiga hal, masuk universitas, meninggalkan kota dan Natt wolf. Namun sekarang, Ian Coltox, menjadi pusat dari segalanya.
"Pulang terlambat?" Suara Natt menghancurkan pikiranku.
Aku menoleh dan melihat Natt berdiri di tempat terakhir kami bicara.
"Sedikit mengerjakan tugas." Natt selalu tampan dengan ciri khasnya sendiri. Dia tidak suka memanjangkan rambut atau berpakaian berantakan. Potongan rambut Natt pendek dan rapi begitu juga dengan pakaiannya yang berkelas.
"Bersama orang itu?" Tanya Natt dengan menyelidik. Aku sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan Natt.
"Maksudmu, Ian Coltox?" Aku melangkah lebih dekat padanya.
"Yeah dan aku harus memberitahu sesuatu yang penting, orang-orang mulai membicarakanmu."
Aku tahu ini akan terjadi.
"Alice, jauhi dia. Dia bukan hal baik untukmu."
Tiba-tiba aku merasa kesal. Beraninya dia menilai apa yang baik untukku, aku selama ini tidak pernah mencampuri urusannya.
"Natt, Ian baik untukku dan itu sudah cukup." Sergahku kesal.
"Lalu bagaimana dengan orang sekitarmu?" Natt menatap lurus padaku. "Kau juga harus memikirkan perasaan orang lain."
"Untuk apa?" Tanyaku mendorong d**a Natt cukup keras sampai dia mundur beberapa langkah ke belakang "Aku bukan orang populer sepertimu.. Aku hanya.. Hanya ingin menikmati waktuku bersama Ian." Desisku hampir menangis.
"Alice.. " Natt mencoba menjangkau ku. Tapi aku dengan cepat mundur.
"Jangan." Pintaku yang sudah menangis.
"Alice, aku mencinta-"
"Stop!" Aku berbalik dan lari menjauh dari Natt. Dia tidak boleh mengatakannya hanya untuk mengacaukan perasaanku pada Ian. Bagaimana jika Ian mendengar? Apa dia akan marah? Cemburu? Aku terus berlari sampai depan pintu kamar, napasku tersengal-sengal.
Aku berdiri diam menatap pintu kamar. Tidak bisa bergerak sedikitpun. Kenapa Natt mengatakannya disaat aku sudah melupakan perasaanku padanya. Dia hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit untuk mengacaukan hatiku sedangkan aku butuh waktu bertahun-tahun untuk menjaganya.
"Alice..?" Mom tiba-tiba keluar dari lorong sambil membawa keranjang baju. "Apa terjadi sesuatu? Wajahmu sedikit pucat?" Mom berdiri di sebelahku. Tiba-tiba tangan kanannya menyentuh pipiku.
"Aku baik-baik saja." Aku menarik tangan Mom dan menggenggamnya. "Hanya sedikit lelah." Lalu meremas tangannya.
"Baiklah, ayo istirahat." Mom membuka pintu kamar dan mendorong badanku untuk masuk kedalam. "Kau tau? Aku ada diruang kerja jika kau mau mampir?" Sambungnya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Thanks, Mom."
Aku menutup pintu kamar lalu bersandar. Ini bukan apa-apa.
-
"Sial, apa tujuan sebenarnya? Aku tidak mengerti." Kata Delilah setelah mendengar semua ceritaku. Aku datang pagi-pagi kerumah Delilah untuk menceritakannya.
"Natt, apa Natt cemburu? Bagaimana menurutmu?" Tanya Delilah duduk di depanku.
"Aku tidak tahu." Jawabku pelan. Pikiranku penuh dengan Ian dan Natt.
"Alice, jawab pertanyaanku dengan jujur."
Aku mendongak keatas pada Delilah yang berdiri bertolak pinggang
"Ian atau Natt?"
"Pertanyaan gila." Bantal yang kududuki sudah melayang ke wajah Delilah. Aku jelas akan memilih..
"Aku tidak mengerti soal perasaan seseorang. Tapi aku tahu bagaimana perasaanmu beberapa tahun terakhir untuk, Natt." Aku berdiri dan berjalan kearah jendela kamar Delilah. Pemandangan dari kamar Delilah adalah favoritku dari rumahnya. Kita bisa langsung melihat danau kecil yang menjadi destinasi wisata di kota ini.
"Alice, aku harap Ian bukan selinganmu disaat bosen menunggu Natt." Delilah berdiri di sebelahku.
-
"Ian?" Aku tidak percaya dia melakukannya lagi, menungguku ditempat terakhir kalinya. Sore ini aku baru selesai mengerjakan salah satu tugasku untuk syarat masuk perguruan tinggi. Karena Delilah tidak bisa menemaniku ke perpustakaan, aku pergi sendiri.
Ian cepat membuang rokok yang masih menyala.
"Aku tidak memberitahumu datang kesini." Dia tersenyum malu. Aku tidak keberatan sama sekali kok.
"Tapi waktumu terbuang percuma karena menungguku disini." Aku berdiri didepan Ian yang sekarang sedikit bersandar pada motornya.
"Aku senang melakukannya." Ian berdiri tegak lalu memelukku.
"Terima kasih." Aku balas memeluknya.
Aku memeluk tubuhnya erat dan menghirup dalam-dalam aromanya yang sama persis saat pertama kali aku menciumnya. Aroma sabun dan asap tembakau.
Selama perjalanan pulang. Aku lebih banyak diam dan memilih untuk menikmati waktu memeluk Ian dibelakang saat dia mengendarai motornya.
"Sampai juga. Padahal aku berharap jarak rumahmu jauh." Bisik Ian saat melepas helm dikepalaku.
"Mau mampir kedalam?" Tanyaku menggoda.
"Sungguh?" Dia seperti anak kecil yang mendapat hadiah. Bibirnya melengkung karena terlalu banyak tersenyum.
"Tapi tidak ke kamarku." Aku melenggang pergi meninggalkan Ian yang cemberut. Ian menarikku dari belakang lalu memelukku.
"Sebentar lagi prom night." Bisik Ian ditelinga ku. Aku terkikik geli apalagi giginya menggigit daun telingaku.
"Lalu?" Tanyaku pelan.
"Ku jemput nanti." Bibir Ian menempel di bibirku sedikit kasar.
"Tidak ada romantisnya." Godaku disela-sela bibirku yang sibuk dengan bibir Ian.
"Ini sudah romantis." Ian mencium rambutku. "Aku tidak bisa melakukan hal romantis, jadi maaf jika nanti terlalu biasa jika aku menunjukkan rasa sayangku." Cengirnnya.
Apa dia tidak tahu? Dia sudah banyak melakukan hal-hal romantis dengan caranya sendiri.
"Ian, jangan mengikuti orang lain kalau itu membuatmu tidak nyaman atau merasa kurang percaya diri." Aku memegang kedua wajah Ian lalu mendekatkan bibirku lagi ke bibir Ian.
-
"Alice?" Natt berdiri disamping Mom di tempat kemarin.
"Hei, kalian.. " Apa mereka berdua sudah disini cukup lama? Ada kemungkinan mereka sudah melihat semuanya.
"Mom, tumben sekali pulang cepat." Aku merasa matanya diam-diam memojokkanku soal Ian.
"Ada sedikit waktu luang jadi kupakai untuk pulang melihat putriku yang mulai 'dewasa'." Aku menyeringai.
"Sepertinya aku harus segera masuk." Aku ingin ikut masuk kedalam dan menjauh dari Natt. Tapi itu tidak sopan dan mungkin menjadi masalah baru.
"Oke, Mom. Aku akan disini dulu untuk menikmati angin." Setelah mengatakannya, Mom masuk kedalam rumah.
Natt tidak berani menatap langsung mataku. Setiap kali aku mencoba menatap langsung matanya, secepat kilat juga dia menghindari ku.
"Alice.."akhirnya setelah sekian lama diam. "Aku minta maaf untuk kejadian kemarin."
Aku diam.
"Banyak hal berubah. Sekolah, lingkungan dan pertemanan. Sepertinya aku terlalu menikmati dunia baru itu sampai melupakanmu yang tidak pernah berubah padaku."
Natt mengangkat kepala dan menatapku.
"Alice, soal perasaanku. Aku sungguh-sungguh."
Aku terdiam lagi.
Natt tiba-tiba menunduk dan aku tidak bisa menghindar.
Lalu terdengar suara orang jatuh dan saling memukul.
Aku tersadar dan melihat Ian memukuli Natt.
-
"Sudah merasa lebih baik?" Tanyaku tersenyum. Menjenguk Natt di kamarnya untuk pertama kalinya sejak kejadian itu.
"Aku tidak apa-apa tapi mereka berlebihan." Kata Natt. Orangtua Natt ketakutan sekali saat melihat Natt babak belur. Beberapa tulang nya ada yang bergeser, hidungnya patah dan ada kemungkinan Natt tidak bisa datang ke acara Prom night.
"Natt, terima kasih untuk mencabut tuntutannya." Suaraku pelan. Aku tidak tahu harus berbuat apa saat orangtua Natt ingin menuntut Ian.
"Ini hanya salah paham." Natt tersenyum kesakitan. "Apa dia sudah menemuimu?"
Aku menggeleng.
Ian menghilang sejak kejadian itu terjadi. Apartemennya kosong dan tidak ada orang yang bisa kuhubungi untuk mencari tahu keberadaannya.
"Alice, aku ada disini." Tangan Ian berusaha menggapai tanganku. Aku seketika langsung menarik tanganku.
"Maaf." Kataku nanar. Aku tidak bisa melakukan ini.
Aku pergi meninggalkan Natt yang terbaring di ranjang. Pikiranku tidak bisa fokus, hanya ada Ian yang sekarang entah keberadaannya.
"Alice." Panggil Mom saat melihatku datang. "Seseorang datang dan memberikan ini." Paperbag putih berukuran putih sedang menggantung di lengan ibuku.
"Dia sedang terburu-buru."
Aku membuka paperbag dan isinya gaun pesta.
Aku tahu ini dari siapa.
Ian Coltox.
*