Aku bersandar di tembok sudut bar. Mataku sibuk menjelalahi kerumunan orang-orang yang mencari kesenangan dengan menari seperti orang gila, dengan ditemani lagu yang sedang trend saat ini.
Hampir tujuh bulan sejak Alice meninggalkanku. Dimana tujuh bulan itu penderitaan yang membuatku hampir gila. Aku benci keadaan ini, aku ingin Alice kembali padaku.
Hubungan kami tidaklah baik seperti pasangan muda lainnya. Banyak hal terjadi sampai terakhir kita bertemu.
"Aku tahu ini akan cocok untukmu." Seorang gadis berambut merah memberiku botol bir. Dia lebih pendek dari Alice.
"Aku akan mengambil ini tapi aku tidak bisa meminjamkan penisku." Aku mengambil botol bir itu dari tangannya lalu meneguknya.
"Wow.." Katanya.
Aku kembali mengamati kerumunan lantai dansa. Semakin malam semakin banyak orang mabuk yang menggesek-gesekan tubuhnya.
"Terimakasih." Aku berbalik kearah wanita yang sudah memberiku bir. "Aku merasa sedikit tidak sopan." Lanjutku tersenyum.
"Seperti apa wanita itu?" Tanyanya sedikit tertarik.
Alice wanita baik. Terlalu baik untukku.
"Kau tidak mau memberitahu? Atau itu kebohonganmu untuk menutupi sesuatu yang lain?" Tanya gadis itu sambil menyeringai.
Aku tidak suka membicarakan hal pribadi dengan orang lain dan mengabaikannya adalah yang terbaik.
"Baik, aku mengerti." Gadis itu seperti menyadari jika aku tidak ingin membicarakannya. "Selamat tinggal." Aku mengangguk saat dia melambaikan tangan.
Aku kembali meneguk bir dan aku butuh rokok. Dalam perjalanan ke lantai dua, aku menarik sebatang rokok dari bungkusnya lalu menyalakannya. Dalam sekali tarikan, ketegangan yang kualami sedikit mencair.
Aku merindukan Alice.
Perlahan, aku memutar kepala kebelakang sambil memejamkan mata.
"Ada apa?" Kenapa malam ini aku tidak bisa sendirian. Apa aku orang yang mudah di dekati?
"Boleh aku meminta rokok?" Dia tersenyum malu-malu. Gadis berambut putih.
"Ambil semuanya." Aku memberikan semua milikku dan korek apinya. "Silakan." Aku berusaha diam-diam untuk Membuatnya pergi.
Dia tampak kesal dengan sikapku tapi aku tidak peduli.
Aku membuang sisa rokok yang kuhisap ke lantai lalu menginjaknya dengan sepatu bot ku. Aku sudah tidak tertarik lagi. Aku harus segera pulang dan tidur jika keadaanku tidak sedikit terhibur dengan datang ke tempat ini. Saat aku akan berbelok ke toilet, aku melihatnya.
Alice.
Sial, dia cantik sekali.
Alice memakai gaun cokelat yang memperlihatkan tubuh indahnya. Rambut cokelat lembutnya yang sebahu sangat cocok dijari-jariku. Aku ingat bagaimana jari-jariku memelintir rambutnya menjadi kusut, menariknya lebih dekat padaku. Bibirku menempel dileher lembutnya. Mendengarkan erangan namaku saat aku memasukinya berulang kali.
Fuck.
Penisku semakin keras tapi sayang dia tidak akan mendapat kehangatan dari Alice. Alice sudah membuat semua jelas, dia sudah meninggalkanku untuk selamanya. Alice terlalu lelah menghadapiku yang tidak pernah berubah. Aku terlalu sakit untuk memperbaiki emosiku.
Alice datang bersama Delilah dan Jack pacarnya. Kita berempat sudah beberapa kali pergi bersama. Tapi yang membuatku kesal adalah pria berjas yang berdiri disamping Alice.
Apa itu pacar barunya? Tidak mungkin.
Alice tidak akan mudah mengganti posisiku dengan orang lain. Tapi, bagaimana kalau orang itu menjadi pilihan terakhir Alice? Pria yang akan cocok dibawa pulang untuk bertemu ibunya.
Aku tanpa sadar mengepalkan tanganku saat melihat pria itu membisikkan sesuatu di telinga Alice yang dibalas dengan senyuman.
Di tempat yang sama dimana aku berdiri tadi, aku memperhatikan Alice yang sekarang duduk di meja kecil. Di sini aku bisa melihat wajahnya yang sedikit tegang. Bibir merah yang selalu kucium setiap waktu dan mata itu. Mata yang selalu mengeluarkan air mata setiap kali aku membuat masalah.
Sial. Aku ingin Alice kembali padaku.
Aku akan melakukan apa saja agar Alice mau kembali padaku. Kalau perlu aku akan berlutut setiap hari sampai dia memaafkanku. Namun, Alice cukup keras kepala. Dia akan menolakku. Apa aku harus memaksanya? Membawanya pulang secara paksa malam ini agar dia tidak bisa memilih. Tidak ada pilihan lain. Karena Alice tidak bisa memilih. Jika dia memiliki pilihan, aku tidak akan menjadi pilihannya.
Saat pikiran itu terlintas di benakku. Alice mendongak dan pandangan kita bertabrakan. Aku terus menatap matanya untuk membuktikan bagaimana perasaanku begitu tersiksa selama tujuh bulan ini. Seperti mengerti dengan apa yang kurasakan, bibirnya bergerak membentuk huruf 'O' lalu dia menyisir rambutnya untuk menghentikan rasa gugupnya.
Aku mengangkat bir dan meminumnya tanpa sedikitpun melepas pandanganku pada Alice.
Perhatian Alice terputus saat pria itu menyentuh pundaknya. Aku ingin mendatangi meja mereka dan menghancurkan tinjuku di wajah pria itu.
"Jadi dia gadis yang beruntung mendapatkan pria pemarah ini." Tangan kecil memberiku lagi botol bir.
"Pergilah." Aku tidak ingin diganggu.
Gadis berambut cokelat itu mengangkat tangannya. "Oke, aku tidak akan mengganggu pengintaianmu." Dia menyeringai. "Tapi ambil ini sebagai hadiah dariku." Aku mengambil bir dari tangannya.
Gadis itu pergi menjauh.
Aku kembali mengawasi Alice dari tempatku.
Alice.
Ini kesalahanku. Alice pergi karena aku berantakan. Aku tidak bisa membalas semua kebaikannya. Dia selalu ada untukku, membelaku dari orang-orang terdekatnya. Membantuku memperbaiki hidupku yang berantakan. Tapi aku selalu mengacaukannya.
Aku ingat saat aku pergi meninggalkannya setelah memukuli Natt. Aku pergi seperti pengecut dan kembali lagi dengan dia memberiku keperawanannya di apartemen jelekku.
Alice menangis dan berteriak kepadaku saat aku ditahan polisi karena mabuk dan merusak fasilitas umum.
"Ian, kapan pikiranmu dewasa? Aku lelah setiap ada masalah kau pergi dan seseorang akan meneleponku untuk menjemputmu di kantor polisi."
Aku takut untuk menatap matanya. Aku takut Alice tersadar jika pilihannya bersamaku adalah salah. Jadi aku hanya diam dan tertunduk.
"Tolong bantu aku untuk yakin jika mereka salah tentangmu." Alice terisak-isak.
Semua orang yang dekat dengannya tidak menyukaiku. Mereka membenciku.
"Dengar, Mom benar tentangmu."
Alice mengambil tas nya untuk pergi.
"Aku tahu aku tidak pantas untukmu. Kau terlalu sempurna dan Natt akan cocok denganmu."
Aku seharusnya diam.
Alice berdiri di depan pintu. "Aku mencintaimu tapi kau hanya mencintai dirimu sendiri. Aku akan melawan dunia jika kau berubah menjadi pria baik dan bertanggung jawab." Alice menutup pintu apartemenku dan duniaku menjadi gelap kembali.
*
Dari sekian tempat yang ku yakin bisa membantu melupakan Ian. Disini aku malah melihatnya. Jantungku berdegup kencang dan mataku tidak bisa memalingkan pandanganku. Sudah hampir tujuh bulan aku tidak melihatnya dan ingatan tentangnya masih begitu jelas.
Ian memakan kaos putih polos yang menunjukan tato baru di sekitar leher kiri. Saat pertama kali berkencan Ian memiliki beberapa tato, namun semakin kesini semakin tubuh Ian dipenuhi tato. Aku tidak terlalu mempermasalahkan namun Mom sedikit mengkritik Ian. Rambut Ian sedikit panjang dari terakhir kali aku melihatnya. Bukan hanya itu saja, rahangnya dipenuhi janggut.
Aku merasa tangan hangat seseorang menyentuh pundakku dan itu kembali membawaku ke dunia.
Aku disini untuk melupakan Ian. Aku bersama seseorang yang jauh lebih baik dari Ian dan Mom akan menyukainya. Tapi sayang dia bukan tipeku. Delilah mendorongku untuk menerima ajakan Michael agar aku cepat melupakan Ian tapi sepertinya ini pilihan salah.
Aku tersenyum pada Michael dengan sesekali melirik dimana Ian berdiri. Dia belum pindah dengan matanya masih terfokus padaku.
Tujuh bulan dan aku masih belum melupakan semuanya. Bagaimana dia peduli padaku, bagaimana dia egois, bagaimana dia berusaha membuatku bahagia, bagaimana dia pulang dengan luka, bagaimana dia menciumku dan bagaimana dia mencintaiku.
"Mau berdansa?" Michael tersenyum.
"Aku tidak bisa menari." Aku balas tersenyum untuk meminta pengertiannya.
"Tentu tidak masalah. Kita bisa duduk dan saling mengenal" Kata Michael mencoba menutup rasa jenuhnya.
Aku melihat ke tempat Ian berdiri. Jantungku berdegup kencang saat aku melihatnya bersama gadis cantik. Mereka tampak akrab. Aku tidak bisa melihat ini.
"Aku ke toilet dulu." Aku langsung meningalkan Michael. Aku butuh waktu sendiri.
*
Aku mendorong tubuhnya ke dinding saat melihatnya keluar kamar mandi. Aku dengan cepat menekannya ke dinding agar tidak berontak.
"Apa yang kau la-"
"Alice." Bisikku. Bibir yang kurindukan ini terbuka perlahan dan napasnya menjadi tidak stabil. Aku cukup senang masih bisa memberinya pengaruh seperti ini. Telapak tanganku menyentuh lehernya dan merasakan denyut nadinya yang berdetak kencang. Alice menggigit bibir dan menatapku dengan sorot mata yang menginginkanku.
"Aku tidak tahan lagi. Aku merindukanmu selama tujuh bulan ini. Alice, aku membutuhkanmu." Alice tidak bergerak saat aku membungkuk. Bibir kita hanya berjarak beberapa inci lagi.
"Alice, jangan tinggalkan aku lagi." Aku menarik wajahnya ke wajahku, jariku menekan lehernya. Aku memiringkan kepalanya lalu mencium bibir yang lembut ini.
Rasanya sebuah ledakan yang kutahan selama beberapa bulan ini meledak begitu saja. Saat bibir bawahnya kutarik dengan gigiku, lidahku mencoba masuk kedalam mulutnya.
Alice mengerang dan dia melingkarkan tangan kecilnya ke leherku. Tubuh hangatnya menekan tubuhku.
Aku menjauh darinya untuk kembali menatap matanya. "Pulang dengaku." Jempolku mengusap bibir yang baru kucium ini. "Aku mohon."
Alice menarik napas. "Aku tidak bisa meninggalkan Michael begitu saja."
"Sayang, dia sudah besar." Aku menyeringai yang dibalas pukulan Alice. "Orang itu bisa pulang dengan Delilah dan Jack."
Alice menatapku.
"Sial. Aku merindukanmu, Ian."
Aku menarik tangan Alice untuk membawanya pergi dari sini. Jauh dari orang-orang yang tidak tahu tentang kita. Ketika aku sampai ditepi jalan, aku harus mengatakannya.
"Alice, aku ingin minta maaf untuk segalanya. Aku benar-benar berusaha untuk menjadi pria yang pantas untukmu.. Jujur aku takut untuk menghadapi amarahku sendiri. Tapi aku lebih takut kehilanganmu, jadi beri aku kesempatan untuk membuktikannya."
"Ian.. "
"Alice."
Alice menatapku dengan lembut dan dia tersenyum. Senyum yang membuatku bahagia.
Aku membungkuk dan mencium bibirnya dengan lembut.
Ketika taksi menepi dan berhenti didepan kita. Aku membuka pintu dan mempersilahkan Alice untuk masuk duluan.
"Apa ini mimpi atau sebuah kenyataan?" Tanyaku dalam bisikan di telinga Alice. "Sayang, beritahu aku."
Alice meraih wajahku dan langsung menatap mataku. "Ini.. " Alice menggigit bibir bawah cukup keras, memberiku rasa sakit yang nikmat.
"Bagaimana?"
Alice menyeringai.
*The end
Maybe.