overture

1196 Kata
Drystan mendengus dalam hati. Mau bagaimana pun, laki-laki dewasa tetap saja liar. Ia membiarkan saja ketika ketiga lelaki itu mengendusi tubuhnya. Risih bukan main, tetapi Drystan hanya memiliki cara ini untuk kabur dari markas besar sebelum Darren kembali. Drystan tertawa dalam hati, jemari tangan kanannya merogoh saku celana dan menarik beberapa jarum yang selalu ia bawa. Drystan bisa saja langsung menusuk ke titik vital mereka dan membuatnya mati sama seperti korban-korbannya, tetapi ia ingat bahwa bawahan-bawahan ini mau seperti apapun kelakukannya tetaplah bawahan kakaknya, dan Drystan sadar diri bahwa dirinya tidak memiliki hak. Drystan tersenyum manis, dengan gerakan cepat ia menusukkan jarum-jarum itu pada ketiga pria yang sejak tadi menjamahnya. Ketiganya membelalak, dan jatuh perlahan-lahan. Drystan sebenarnya tidak peduli jika mereka mati. Justru ia berharap mereka mati. Tapi lihat saja, semoga keberuntungan masih ada pada diri mereka. Drystan segera merapihkan pakaiannya. Ia tahu ada pintu kayu di dekat kebun bunga di belakang markas karena Drystan tak sengaja melihatnya ketika Darren membawanya berkeliling. Memang lucu. Darren mengajaknya berkeliling markas dan menjelaskan semuanya sementara Drystan dikurung. Entah apa maksudnya mengajak Drystan berkeliling seperti itu kalau pada akhirnya ia hanya dikurung. Seluruh pagar di tanah markas besar dialiri listrik bertegangan tinggi. Drystan menduga bahwa seluruh bawahan kakaknya sama sekali belum pernah keluar dari markas besar dengan bebas kecuali ada tugas yang harus dikerjakan. Drystan melongok, memandangi pintu kayu yang tampak terpencil sendirian dan tertutup oleh rerimbunan bunga mawar berduri. Susah payah Drystan menerjang tanaman mawar yang batangnya sangat rapat dan berduri tajam. Berkali-kali ia meringis karena duri yang tak sengaja menggesek kulitnya dari balik pakaian. Ketika ia menarik tuas pintu kayu itu, Drystan tidak bisa untuk tak terkejut ketika mendapati pintu itu bahkan sama sekali tak terkunci. Ia bersorak girang dalam hati dan segera melompat keluar. Ia harus kembali ke Upper East Street. Meski dirinya tidak bisa kembali ke rumah, setidaknya ia bisa menyelinap ke Red Hand tanpa diketahui. Drystan sudah terlalu hafal dengan seluruh bagian Red Hand dan celahnya. Drystan menggunakan sisa uang yang ia bawa dari sebelum dirinya dibawa paksa untuk ke markas besar. Ia menggunakan uang itu untuk menaiki bus dan hanya menyebutkan Upper East Street sebagai tujuan. Ia tahu Darren akan menemukannya, tapi persetan dengan itu. Yang jelas, ia ingin keluar dan semoga Darren mengerti. Ѡ Drystan baru hendak menuju Red Hand ketika dirinya mendengar ribut-ribut di ujung tempatnya berdiri. Beberapa polisi berlarian mendekat dan membicarakan sesuatu. Secara teori, harusnya Drystan tidak usah peduli dan segera pergi. Tapi sial, insting ingin tahunya selalu mendominasi dan reflek kakinya melangkah untuk bersembunyi di balik pohon dan menguping apa yang sebenarnya terjadi. “Ini sudah kesekian kalinya….” “Masyarakat bahkan mulai meragukan kompetensi kita.” “Bahkan detektif sekelas Mr. Hoover belum menemukan titik terang. Bisa jadi kesan positif yang selama ini ia dapatkan akan luntur begitu saja gara-gara kasus ini.” Drystan mengernyit di balik pohon. Nama yang ia kenal disebut dengan tidak menyenangkan. Jika ini tentang kasus pembunuhan dan pelecehan anak-anak itu, ia rasanya yang diatakan Edward benar tentang banyaknya kemungkinan siapa sebenarnya dalang di balik perbuatan keji tersebut. Ngomong-ngomong, rasanya sudah lama ia tidak bertemu si detektif itu padahal baru beberapa hari saja. Drystan terkekeh pelan. Ia pikir, Edward tidak akan mau lagi melihat wajahnya karena insiden terakhir kali. Ditodong pistol di tempat umum tampaknya bukan pengalaman yang menyenangkan. Drystan mengangkat bahu. “Aku akan mencari informasi sendiri.” gumamnya pelan. “Menguping lagi huh?” Tubuh Drystan kaku. Ia berhenti dan menoleh patah-patah. Tidak hanya itu, ia merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak ketika ia melihat Edward menyilangkan kedua lengannya dan menatap remeh kepada Drystan. “Ed—“ “Aku malah terkejut melihatmu di sini. Kukira keluargamu membawa kau pergi.” Drystan mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Lagipula, dirinya tidak mungkin mengatakan jika ia kabur dari markas besar secara terang-terangan. “A-Aku akan pergi.” Cicitnya. Drystan benci dengan suaranya sendiri yang terdengar bergetar. Edward tak mampu menahan senyumnya. Ia mendekat dan mengacak surai pirang Drystan dengan gemas. “Kenapa? Biasanya kau bahkan tidak mau pulang saat kusuruh.” Drystan kehilangan kata-kata. Ia hanya memutar bola matanya, kesal dengan kelakuan Edward. “Jadi, kenapa kau di sini?” “Ck, Upper East Street bukan milikmu, i***t!” Edward terkekeh. “Woah, woah, santai. Beberpa hari yang lalu cukup menegangkan untukku, dan cukup mengejutkan karena aku melihatmu lagi. Ini belum ada seminggu ‘kan?” “Bukan urusanmu.” “Benarkah? Jadi, kenapa kau menguping kami?” “Aku tidak—“ “Ya.” Edward terkekeh. “Ayo, pulang ke rumahku.” Dan kemudian menarik pergelangan tangan Drystan. “Oi! Aku tidak bilang mau ke rumahmu!” “Serius? Aku yakin kau tidak memiliki tempat pulang pasca kejadian di bar waktu itu. Kau pasti kabur ‘kan?” Drystan melebarkan matanya. “K-Kau—“ “Kau mudah sekali ditebak Drystan. Lucu.” “Hei!” Edward tidak mendengarkan dan tetap menggandeng pergelangan tangan Drystan hingga pemuda itu terseret-seret karena mengimbangi langkahnya yang panjang-panjang. Drystan pada akhirnya pasrah saja. Lagipula, diam-diam ia mengiyakan apa yang dikatakan Edward. Ia bahkan tidak yakin menyelinap di Red Hand benar-benar aman dari pandangan bawahan Darren meski dirinya tahu banyak celah. Lebih bahaya jika sampai Aaron yang menemukannya. Pria itu sangat baik, tapi ia sudah muak dengan Drystan dan dia tidak ingin membuat Aaron semakin membencinya karena kelakuan Drystan yang seenaknya. Edward memaksa Drystan untuk duduk di sofa rumahnya dan terus mengoceh tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Ia membicarakan hal itu dengan santai seolah tengah membicarakan kondisi cuaca hari ini. “Edward!” seru Drystan jengkel. “Berhenti membahas itu!” Edward tertawa. “Okay. Jadi, kau mau minum apa?” “Tidak perlu.” “Masih gengsi huh?” “Aku—“ Drystan menghela napas. “Kenapa kau membawaku? Memangnya pekerjaanmu bisa kau tinggal-tinggal? Lama-lama reputasi bagusmu bisa hancur.” Edward mengangkat bahu. “Reputasi bukan hal yang penting untukku. Well, memang bagus memiliki catatan pekerjaan yang baik. Sangat berguna untuk kenaikan gajiku juga—“ Ia tertawa. “—tapi reputasi tak begitu berharga lagi jika kasus yang kupecahkan tidak benar-benar selesai dan hanya mengikuti permintaan penguasa saja. Kau tahu, dunia penegak hukum tidak sebersih yang kau kira.” “Yeah, aku bahkan bisa berjalan-jalan bebas dan duduk di hadapanmu padahal seharusnya aku berada dalam kuasa Interpol.” Sarkas. Edward menarik sudut bibirnya, tidak mengrira Drystan akan mengatakan hal itu dengan sangat lancar. “Nah, kau lebih berpengalaman.” Drystan menggeleng. “Lupakan. Jadi, apa kasus yang waktu itu belum selesai?” Edward mengangkat bahu. “Kau pasti bisa menebaknya. Aku sudah berkali-kali mendapatkan peringatan. Well, mungkin orang-orang berpikir menyelidiki hal seperti ini sama dengan menangkap perampok toko.” “Begitu ya.” “Hei?” “Huh?” “Aku tahu kau kabur dari keluargamu. Bagaimana kalau kau membantuku memecahkan kasus ini, aku cukup nyaman berdiskusi denganmu. Sebagai gantinya, kau boleh tinggal di sini. Tenang saja, identitasmu tidak akan terbongkar.” Tawaran itu terdengar begitu menggiurkan di telinga Drystan. Ia tidak perlu repot-repot mencari tempat untuk tidur sekaligus bisa mengikuti perkembangan kasus yang ia sendiri penasaran sejak beberapa waktu lalu. Tapi, apakah menerima tawaran Edward adalah keputusan yang tepat? Ѡ
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN