Drystan bertopang dagu. Baru dua hari ia tinggal di markas besar, tapi rasanya seperti waktu berjalan begitu lambat. Darren melarangnya berkeliaran, dan itu membuatnya benar-benar suntuk karena harus berada di ruangan yang sama. Drystan yakin dirinya bukan tawanan, memangnya ada tawanan yang diberikan ruangan luas dengan berbagai furnitur mewah dan indah? Tapi fakta bahwa Darren melarangnya—bahkan hanya untuk berkeliling markas besar benar-benar membuatnya jenuh bukan kepalang. Drystan merasa dirinya tak akan pernah bisa keluar jika Darren berencana tidak memberinya misi sama sekali. Astaga, ia bahkan merinding membayangkannya. Markas besar bukan wilayah yang bisa Drystan kuasai. Dengan kehadiran seluruh anggota organisasi kakaknya, juga bangunan yang benar-benar kuat, ia tidak yakin bisa kabur kalau-kalau sekenario terburuk itu benar terjadi.
Drystan mengusap wajahnya. Ia berjalan mondar-mandir dengan isi kepala yang tak berhenti berpikir. “Aku harus memikirkan cara lain sebagai alternatif jika Darren benar-benar tidak memperbolehkan aku keluar selama sisa hidupku.” Gumamnya pelan.
Seorang pelayan wanita menyerobot masuk ke ruangannya tanpa permisi dan meletakkan nampan berisi makanan dan beberapa camilan. Wanita itu bahkan sama sekali tidak menunjukkan aura ramah. Drystan memandangnya kesal. Apa Darren tidak menerapkan kualifikasi seorang pelayan di markas besar? Atau mereka tidak tahu bahwa Drystan termasuk Tuan mereka? astaga, Drystan bahkan tidak tahu jika ada wanita di markas besar yang isinya lelaki-lelaki menyeramkan dan pembunuh professional.
“Hei.” Panggil Drystan.
Wanita itu menoleh, sama sekali tidak bersuara.
“Um…… aku benar-benar bosan, apa kau bisa mengantarku keluar? Kudengar di belakang markas ada kebun bunga milik Darren.”
Wanita itu membungkuk. “Tuan Darren tidak memperbolehkan Tuan Drystan untuk keluar sampai waktu yang belum ditentukan.”
“Tapi aku bukan tawanan di sini!”
“Dan Tuan Drystan juga bukan pemilik kekuasaan di sini. Harap mengerti, Tuan Darren tidak kenal ampun pada siapa saja yang melanggar perintahnya.”
Drystan mendecih. Pelayan wanita itu kembali membungkuk dan segera keluar. Drystan bahkan bisa mendengar jika wanita itu mengunci ruangannya dari luar.
Drystan melemparkan tubunya sendiri pada ranjang dengan kasur empuk yang Darren sediakan. Ia benar-benar tidak tahan dengan ini, dan sejujurnya ia lebih merasa senang jika Aaron yang melarangnya keluar rumah alih-alih Darren. Aaron hanya mengurungnya di dalam rumah, dan ia masih bebas berkeliling rumah (lalu sesekali kabur, tentu saja) tapi Darren mengurungnya di markas besar yang jelas saja tidak ada secuil kesempatan bagi Drystan untuk membobolnya.
Sebuah ide menyelinap masuk di kepalanya. Drystan tidak yakin apakah ide sederhana ini akan berhasil, setidaknya ia akan mencobanya. Sedikit usaha tidak akan membuatnya rugi. Jika ia beruntung, kebebasan akan ia dapatkan—meski tentu saja hanya sementara. Atau kalau tidak, Darren tidak akan macam-macam padanya dan kembali mengurungnya. Setidaknya, Drystan akan mencobanya.
Drystan membuka bidet dan membuat toiletnya penuh air sampai keluar ke lantai kamar. Drystan sebelumnya sudah memasukkan bergulung-gulung tisu toilet beserta beberapa barang apa saja yang akan menyumbat toilet jika dimasukkan ke kloset. Air dari dalam toilet meluber dan membasahi nyaris seluruh ruangan.
Drystan menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Sebuah seringai tercipta. “Saatnya berakting.”
Drystan menggedor-gedor pintu, menekan-nekan bel yang memang disediakan di ruangan itu dengan kesetanan. Ia juga berteriak-teriak dengan jeritan memilukan, memanggil-manggil nama Darren dan Aaron sembari meminta tolong.
Ketika pintu ruangan khusus yang diberikan Darren padanya terbuka, Drystan sama sekali tidak mendapati wajah kakaknya. Seorang pelayan wanita yang berbeda dari yang mengantarkan makanan padanya, dua orang pria bertato dan bertubuh super berotot berdiri berjajar di hadapannya. Diam-diam Drystan meneguk ludah.
“Toiletku bermasalah. Airnya sampai ke kamar, aku tidak bisa jika harus berada di ruangan b****k seperti itu.”
Si pelayang wanita membungkuk. “Tuan Darren masih ada urusan, kami tidak memiliki wewenang untuk hal itu.”
Drystan menganga. “Kalian gila? Aku tahu Darren adalah Tuan tercinta kalian, tapi lihat? Meski aku bukan Tuan kalian, aku tetap adiknya Darren kalau kalian lupa. Perlu kutelepon Darren sekarang hah?” bentak Drystan kesal.
Tiga orang di hadapannya tersentak. Salah seorang pria yang ikut bersama pelayan wanita itu maju dan mengintip kondisi ruangan Drystan.
“Kami akan memperbaikinya.” Katanya.
Drystan tersenyum dalam hati. “Oke, lakukan sekarang juga.”
“Tapi Tuan Drystan—“
Drystan menunjuk pintu kaca besar yang mengarah ke halaman belakang. “Kurasa aku akan menunggu di halaman belakang.”
“Tapi—“
“Hah?”
Ketiganya menggeleng. Dua orang pria yang sebelumnya memegangi shotgun meletakkan benda berbahaya itu pada lemari besar di ruangan utama markas dan segera masuk ke ruangan Drystan, sementara si pelayan wanita menyiapkan kursi dan beberapa camilan untuk Drystan di halaman belakang.
Drystan melirik sekelilingnya. Tiga orang pria dengan shotgun dan si pelayan itu sendiri berdiri di sisi-sisi dirinya. Sebuah dengusan lolos, bagaimana bisa dia keluar dengan tiga pria membawa shotgun? Memang mereka tidak akan menembaknya—atau setidaknya itulah yang ia yakini, tapi Drystan tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan padanya. Posisinya tidak begitu penting jika bukan karena hubungan darahnya dengan Darren, dan bos mereka juga tidak begitu menganggapnya sebagai adik yang patut dikasihi.
“Kupikir aku bukan tawanan.” Sindir Drystan pada keempat orang yang berjaga di dekatnya. Drystan bisa melihat bagaimana mereka saling pandang dengan kening mengerut samar.
“Kami hanya menjalankan tugas Tuan Darren.”
Drystan mendecih. “Bisakah kalian membantu membenahi toiletku? Jika lebih cepat selesai, kalian tidak perlu repot-repot mengawasiku. Tenang saja, aku tidak punya kuasa untuk ke mana-mana di markas besar.”
Tapi sepertinya, mereka tidak begitu bodoh hingga mengiyakan begitu saja apa yang Drystan minta. Sepertinya memang benar, kuasa Darren tidak main-main. Meski Drystan berkali-kali merendahkan diri dengan mengaku sebagai adik Darren demi mendapat sedikit kepercayaan mereka, nyatanya mereka sama sekali tidak percaya. Jelas saja, bahkan sebagian besar bawahan Darren tidak mengenalnya atau setidaknya tahu bahwa Darren masih memiliki saudara sedarah.
“Kau!” Drystan menunjuk si pelayan wanita. “Ambilkan aku bauh-buahan. Tolong.”
Si pelayan menunduk dan segera pergi. Drystan akan mencoba cara lain. Melihat pandangan menjijikkan pria-pria itu, Drystan tahu apa yang harus ia lakukan.
“Hei, aku benar-benar lelah di markas besar. Banyak pria di sini tapi tak seorang pun bisa kusentuh.” Drystan menjilat bibir bawahnya dengan ekspresi menggoda. Ia bahkan melirik ketiga pria itu yang berusaha keras menahan pandangannya. “Kalian pasti sudah dengar gosipnya, adik Darren Levin adalah pemuda paling seksi di Amerika? Ah… kriminal paling seksi? Hahaha… kepolisian bahkan menjulukiku berlian.”
Drystan tidak tahu apakah mereka tertarik dengan seorang lelaki sepertinya. Tapi, melihat banyaknya pria di sini dan hanya ada beberapa pelayan wanita yang bahkan hanya bekerja di siang hari, Drystan ragu bawahan-bawahan Darren memiliki akses untuk memuaskan nafsunya. Darren tidak akan sembarangan mengizinkan mereka membawa wanita saking banyaknya informasi rahasia di markas besar. Terlebih, seseorang akan kehilangan kewarasannya ketika sedang s*x. Diam-diam, Drystan menganggap Aaron sangat beruntung karena ia bertugas mengurus Red Hand yang jelas banyak sekali wanita untuk ia tiduri.
Drystan mendongak, menunjukkan leher jenjang putihnya. Rambut pirang keritingnya agak berantakan, dan ia bahkan menurunkan sebelah kerahnya hanya untuk menunjukkan bahu menggodanya. Drystan tertawa dalam hati. Dia tidak berpengalaman soal s*x, dan sungguh memalukan bahwa seorang pemuda dengan latar belakang keluarga sepertinya masih perjaka, tapi ia professional dalam menggoda. Ia harap, dirinya bisa kabur sebelum ketiga pria itu sempat menjamahnya lebih jauh.
Ѡ