Edward kembali tak lama setelahnya dengan membawa nampan berisi mangkuk berukuran sedang yang mengeluarkan kepulan asap, sebuah gelas dengan air putih, dan juga botol kecil berisi obat. Drystan meliriknya, tampak enggan meski ia mencium aroma yang cukup lezat dari kepulan asap di mangkuk itu. Drystan menyukai makanan, dan terbiasa menghargai makanan apapun itu meski latar belakangnya bukan dari keluarga kekurangan. Satu-satunya yang membuat Drystan seperti itu hanyalah berkat pengasuhan Pamannya yang lebih mirip penyiksaan masa kecil. Oke, Drystan sedang tidak ingin mengingat masa lalunya yang tidak menyenangkan karena desakan mual di perutnya kembali menyerang hingga ia segera berlari menuju kamar mandi.
Edward menghela napas, meletakkan nampan yang ia bawa ke nakas di samping ranjang. Pria itu menyusul Drystan ke kamar mandi dan kembali membantunya dengan memijat area tengkuk Drystan selama Drystan memuntahkan isi perutnya—yang sebenarnya hanya cairan kuning pahit karena ia tidak makan apapun sejak semalam.
Drystan berusaha menormalkan napasnya, ia mengusap air mata yang menetes selama muntah dan segera mencuci tangannya. Ia melihat dirinya sendiri pada pantulan cermin. Kulitnya berkeringat, ia menyentuh perutnya dengan telapak tangan dan memijatnya perlahan, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
Drystan kembali berbaring di ranjang, kali ini Edward menata bantalnya agar bersandar pada kepala ranjang agar Drystan bisa duduk dengan nyaman.
“Kau benar-benar…. sakit?” Edward menarik kursi dan membawanya dekat dengan pinggiran ranjang Drystan. Ia mengambil mangkuk sup dan membantu Drystan untuk memegangi mangkuknya.
“Bagaimana?” Edward memandangi Drystan yang hanya mengaduk-aduk supnya. “Kau takut untuk makan?”
“Ya. Aku merasa…. Mengerikan. Tapi jika kau berani mengejekku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” Drystan mengembalikan mangkuk supnya ke meja dan memandang tajam kepada Edward.
“Semua orang bisa sakit, Drystan.”
“Tapi kau—ughh.” Drystan kembali menyandarkan kepalanya perlahan dan meremas perutnya. Suara berdeguk kecil terdengar dari dalam perutnya. Drystan merintih kecil ketika merasakan gemuruh di perutnya semakin parah. Edward memandangi Drystan dan kemudian kedua matanya jatuh kepada perut Drystan dan melihatnya tampak begitu malu. Edward mengalihkan pandangannya, hanya sampai ketika Drystan kembali merintih kesakitan. Edward benci melihat Drystan kesakitan, dan ia menjulurkan lengannya untuk menyentuh perut Drystan. Drystan terkejut dan reflek menjauhkan telapak tangan Edward yang menyentuh perutnya.
“Maaf, i-itu hanya terasa aneh. Telapak tanganmu besar, dank au menekanku cukup kuat. Dan… dan…” Drystan memalingkan wajah dan merasa sakit lagi. Ia merasakan sesuatu mendesak keluar dari dasar tenggorokannya dan ia memaksakan diri untuk menelan apapun itu sebelum sampai ke mulutnya. Drystan tidak tahan dan ia kembali buru-buru ke kamar mandi untuk muntah… lagi.
Edward kembali membantunya berbaring ketika Drystan selesai dengan urusan muntahnya. Rambut pirang keritingnya tampak acak-acakan dan beberapa menempel di dahinya karena keringat.
“Oke, jadi aku membawakan beberapa obat. Aku punya tablet alka sensor untuk membuat asam di lambungmu tidak begitu menggila, beberapa obat tidur yang mungkin bisa membuatmu cepat terlelap. Dan ada beberapa pil yang sebenarnya digunakan untuk wanita hamil yang sering mengalami morning sickness.”
Drystan mengambil tablet alka dan segera meminumnya bersama dengan air putih yang dibawa Edward. “Kucoba ini dulu sebelum yang lainnya. Ngomong-ngomong, kenapa kau punya pil ini? maksudku, pil untuk ibu hamil?” Drystan menaikkan sebelah alisnya. “Maksudku, kau tinggal sendirian ‘kan? Sebelum aku menumpang tentunya, dan kau tampaknya juga tidak sedang menyukai wanita hingga membuatmu melakukan hal-hal ‘kotor’ bersamanya?”
Edward memutar bola matanya. “Adikku sering mengalami sakit perut ketika kelelahan atau tertekan dengan pelajarannya. Hanya pil itu yang cocok dan cukup membantunya. Jadi, aku terbiasa reflek menyediakan pil itu bahkan meski adikku sudah tinggal di asrama dan hanya kembali sesekali.”
Drystan mengangguk, tak mengatakan apa-apa lagi. Ia merasa perutnya perlahan mulai tenang dan suara gemuruh di dalamnya mulai reda. Rasa kantuk juga perlahan menyerangnya, membuatnya secara reflek menyamankan posisi kepalanya.
“Terimakasih.” Gumam Drystan pelan sebelum akhirnya ia jatuh tertidur. Edward memandanginya sebentar, kemudian membenarkan posisi selimut hingga menutupi d**a Drystan. Edward juga mengusap peluh di sekitar dahi Drystan baru kemudian ia membawa nampannya dan segera keluar.
Ѡ
Edward berencana untuk mengajak Drystan dalam melanjutkan misi mengenai pembunuhan yang tengah ramai di area mereka. Dengan tertangkapnya Pedro Martinez, harus ada langkah lanjutan demi mengungkap siapa dalang sebenarnya dari pembunuhan itu. Pedro tidak memberikan informasi yang cukup membantu, dan dengan tingkahnya itu, Edward tahu bahwa Pedro tidak berbohong soal dirinya yang hanya mengikuti perintah tanpa tahu siapa sebenarnya yang memerintahnya. Jika seperti ini, Drystan tidak bisa untuk tidak berpikir bahwa insiden ini jelas tidak dilakukan oleh orang sembarangan melainkan terorganisir dengan baik.
Edward sama sekali tidak memiliki pilihan selain harus mencari pria bernama Daniel yang dikatakan oleh Pedro. Masalahnya, ia sendiri tidak mengerti bagaimana harus menemukan Daniel yang benar di antara banyaknya pria bernama Daniel di dunia ini. Misi ini ia lakukan atas inisiatif sendiri, dan yang tahu hanyalah Drystan seorang. Edward tidak bisa meminta bantuan rekan-rekannya sesame detektif atau pihak kepolisian. Bahkan, jika tindakannya ini ketahuan sebelum ia mendapatkan bukti valid, dirinya akan dituduh melanggar hukum.
Hari ini, Edward berencana untuk melanjutkan misinya bersama Drystan terkait dengan informasi yang diberikan Pedro. Ada beberapa ide di kepala Edward, tapi ia butuh Drystan untuk kelancaran rencana lanjutan ini sama seperti sebelumnya. Tapi sayang, Drystan malah dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Kadang-kadang, keadaan memang menyebalkan.
Edward mengusap wajahnya kasar. Ia kembali memeriksa Pedro yang tampaknya menyadari kedatangannya.
“Kau tidak berniat melepaskanku?” tanyanya.
“Aku tidak bodoh. Aku memerlukanmu sampai aku mendapatkan informasi yang cukup akurat.”
Pendro mendecih. “Bisa kau lepaskan penutup mataku? Apa kau sebegitu takutnya aku akan mengenali wajahmu dan melaporkannya ke bosku?”
Edward mendecih dan menarik kain hitam yang digunakannya untuk menghalangi pandangan Pedro. Ketika pria itu akhirnya mampu memfokuskan penglihatannya, ia membelalak ketika melihat Edward duduk menyilangkan kaki di hadapannya.
“K-Kau….”
Edward menaikkan sebelah alisnya. “Oh? Kau mengenalku? Aku tidak tahu jika diriku cukup terkenal di antara kriminal sepertimu.” Sarkasnya.
Pedro tampak gelisah, dan Edward menangkap gestur itu. Jujur saja, ia juga tidak mengira Pedro akan tampak begitu terkejut saat melihat wajahnya. Edward kira, dirinya bukan sosok yang cukup fenomenal sampai membuat orang seperti Pedro tampak ketakutan seperti itu.
“Edward Hoover.” Gumamnya.
“Ya, salam kenal. Kurasa aku tidak cukup terkenal. Jadi, bagaimana bisa kau tahu tentangku?”
Bola mata Pedro bergerak-gerak gelisah, bibirnya beberapa kali membuka dan menutup namun tak mengeluarkan suara apapun. Seolah, dia ingin mengatakan sesuatu namun ragu. Sungguh, memangnya semengejutkan apa bertemu dengan Edward?
Ѡ