Prolog
“Ayo kita lempar koin. Nama siapa pun yang muncul, dialah yang akan menikah duluan.”
Aluna yang sedang larut membaca novel di atas tempat tidur terlonjak mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Ia menghela napas dengan dramatis.
"Kau tahu, pintu itu dibuat bukan tanpa alasan."
Alena mengabaikannya. "Ayo! Sebelum Dad membuat keputusan untuk kita, kita yang akan menentukan nasib kita sendiri. Kau yang pilih, patung atau angka?"
Satu alis Aluna terangkat. "Kau bilang apa?”
“Lempar koin,” ulang Alena sambil mengangkat koin yang entah sejak kapan sudah dia genggam. “Yang gambarnya muncul akan menikah dengan si b******k itu.”
“Wow, wow, wow, tunggu dulu!” Aluna duduk di atas tempat tidur, sekarang benar-benar memusatkan perhatian penuh pada saudari kembarnya. “Nikah? lempar koin? Ini apa maksudnya?” tanyanya benar-benar bingung.
Alena mengeram jengkel. Ia mengambil tempat duduk di atas tempat tidur, tepat di depan Aluna.
“Ingat teman Dad yang waktu itu berkunjung?”
“Teman yang mana? Dad punya cukup banyak teman, Al.”
“Yang anaknya pengacara, Lu.”
Pemahaman seketika memenuhi wajahnya. “Aku ingat sekarang. Mereka berkunjung minggu lalu,” jelasnya seolah informasi itu dibutuhkan.
Alena mengibas tangannya acuh. “Tidak penting untuk dibahas. Yang harus kau tahu Dad ingin menikahkan salah satu putrinya—yang berarti kau atau aku—dengan putra temannya itu."
Aluna mendengus. “’Jangan konyol. Sudah pasti perjodohan itu untukmu.”
“Kenapa aku?” tanya Alena tidak terima.
“Karena kau lebih tua. Karena kau si sulung," sahutnya enteng.
Alena melempar bantal yang ada di dekatnya pada Aluna.
“Kita hanya beda 5 menit, Lu, bukannya 5 tahun!”
Aluna tertawa. “Tetap saja, lebih masuk akal jika si sulung lebih dulu menikah kan? Lagipula, aku hanya akan menikah karena cinta. Perjodohan sama sekali tidak cocok untukku.” Aluna mengedipkan matanya, membuat Alena memutar bola matanya.
“Dan menurutmu perjodohan itu untukku?”
Aluna mengangguk tanpa ragu. Tangannya terangkat, menunjukkan buku yang tengah ia baca.
"Aku sedang menunggu Mr. Darcy-ku. Sementara kau... aku tidak yakin kau menunggu seseorang."
Alena mati kutu, membuat Aluna tersenyum penuh kemenangan.
“Lihat kan? Sejak awal kita tahu perjodohan itu untuk siapa.”
“Enak saja, hanya karena aku lahir lima menit lebih awal bukan berarti aku harus jadi yang pertama untuk semuanya. Big no! Kali ini kita putuskan sendiri. Secara demokratis. Pakai sistim ilahi: lempar koin.” Alena tidak mau kalah.
“Tapi ini gila!”
“Gila itu kalau aku harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak kukenal.”
“Dia putra teman ayah.”
“Bukan berarti itu penting.”
“Aku yakin dia tampan.”
“Anjing kalau di dandani juga tampan.”
Aluna terbahak. “Suatu hari nanti saat kalian menikah aku akan mengatakan itu padanya,” gumamnya dengan kerlingan nakalnya. Aluna pemalu, tapi saat bersama saudari kembarnya tidak ada batasan di antara mereka. Mereka berbagi segalanya. Dalam banyak hal.
“Mungkin kalian yang akan me—“
“Oke kita lempar koin,” putus Aluna sebelum Alena menyelesaikan kalimatnya. “Gambar siapa pun yang muncul, dia yang akan menikah dengan pria itu. Deal?”
Alena tersenyum sumringah. Matanya berbinar. “Deal.”
Alena melempar koinnya ke udara kemudian menangkapnya. Perlahan, ia membuka telapak tangannya dan membaca nama yang tertulis di atasnya…