"Lihat, takdir ikut andil dalam permainan ini. Sekarang terima nasib, kau yang akan menikah dengan pengacara itu."
Mungkin “sial” adalah nama tengahnya.
Alena menggertakkan gigi. Lempar koin sial itu seharusnya jatuh pada Aluna. Bukan dia. Jelas bukan.
Duduk di dekat jendela sebuah kafe mewah, Alena merapatkan kemeja oversized-nya sambil menatap sekeliling. Ia tahu dirinya bukan tipe yang cocok dijodohkan dengan pengacara.
Itu pekerjaan Aluna, si kembar identiknya yang cantik, anggun, dan feminim. Alena? Rambut violet. Jeans belel. Sneakers. Dan sikap yang jauh dari kata "anggun".
Semoga saja penampilan ini cukup membuat si pengacara itu kabur sebelum mereka sempat saling menyebut nama.
“Ehem.”
Alena nyaris jatuh dari kursinya—jika bukan karena tangan seseorang menahan sandaran kursinya tepat waktu.
Sial.
Alena mendongak… dan terdiam.
“Alena?”
Suara itu berat, tenang, dan berwibawa. Jenis suara yang terbiasa berhadapan dengan banyak orang dan tahu bagaimana harus bersikap. Alena menelan ludah, lalu mengerjap cepat-cepat.
“Ya, aku Alena.”
Sial, dia benar-benar…. Apa ya istilahnya. Entahlah, mungkin ia perlu berdiskusi dengan Aluna nanti. Saudaranya pasti tahu.
Laki-laki itu mengambil tempat duduk di sampingnya, mengenakan setelan elegan yang rapi. Wangi khas dari kayu manis dan sedikit sentuhan citrus dalam sekejap memenuhi udara disekitar mereka. Lelaki itu terasa seperti perpaduan antara kehangatan yang menenangkan dan kejutan yang menyegarkan—seperti secangkir teh hangat di pagi hujan, dengan seiris lemon yang menyatu dengan sempurna.
“Maaf, aku tidak punya banyak waktu,” pria itu bersuara, menyentak Alena dari pikirannya yang berkelana.
Sombong amat.
Apa dia pikir hanya dia orang sibuknya di sini? dan apa yang ia pikirkan tadi? Teh hangat di pagi hari? Yang benar saja! Laki-laki itu lebih seperti kopi hitam tanpa gula—pahit, pekat, dan terlalu percaya diri kalau semua orang akan menyukainya apa adanya.
Alena mengangkat dagunya. “Aku belum tahu namamu,” tukasnya datar. Kalau ia bisa bersikap cukup membosankan, mungkin pria itu akan kehilangan minat sebelum perjodohan ini mengikat mereka lebih jauh.
Maafkan Alena, Dad.
“Kau belum tahu namaku?” pria itu kini memusatkan perhatian penuh padanya.
Bagus.
“Ya. Aku tidak tahu.”
Pria itu mendesah. “Sakala. Kau bisa memanggilku Sakala.”
“Saka lebih mudah.”
Sakala tidak membalas, hanya menaikkan satu alisnya. “Kau bilang ada yang ingin kau katakan?”
Alena duduk lebih tegak. Inilah saatnya. Tawaran liciknya akan dimulai.
“Begini…” ujarnya hati-hati. Alena kembali menarik napas. “Aku punya tawaran untukmu.”
“Aku punya firasat aku tidak akan menyukainya.”
Alena mengabaikannya. “Bagaimana kalau kau… menikah dengan Aluna?” Nanti, nanti ia akan meminta maaf pada Aluna karena menggunakan saudara kembarnya untuk lolos dari perjodohan ini. Ia yakin Aluna tidak akan marah. Saudara kembarnya itu terlalu baik untuk bisa marah padanya.
“Aluna cantik, jauh lebih cantik dariku,” lanjutnya, buru-buru menambahkan. “Dia anggun, lembut, baik, dan punya semua kualitas yang diidamkan pria. Kami memang kembar identik, tapi jelas berbeda dalam segala hal. Aku sebaliknya, berantakan, ceroboh, dan seperti yang kau lihat.” Ia menunjuk rambutnya. “Aku suka warna-warni nyentrik dan lebih buruk, aku tidak suka gaun.”
Sakala tetap diam. Tidak ada reaksi. Tidak sedikit pun.
Apa mungkin syok?
Alena mengerutkan kening. Mungkin ia perlu lebih meyakinkan lagi.
Alena berdeham sebelum kembali melanjutkan. “Kau pengacara. Pasti menginginkan pasangan yang rapi, dewasa, bisa masak… bukan orang sepertiku yang bahkan tidak bisa memanggang roti tanpa membuatnya hangus.”
Bagus Alena semakin banyak keburukan semakin baik.
Alena tersenyum dalam hati. Sejak awal pernikahan ini milik saudara kembarnya.
“Apalagi yang tidak bisa kau lakukan?”
Eh?
“A-apa?”
Sakala bersandar santai ke kursinya. “’Kau bilang kau ceroboh, tidak bisa masak, suka mewarnai rambut dengan warna nyentrik. Aku penasaran daftar kekuranganmu apalagi?”
Alena terdiam. Ini tidak berjalan seperti yang ia bayangkan.
“Kau bercanda?”
“Sayangnya tidak.”
Sayangnya tidak? Sial, sepertinya ada yang salah dengan otak pria ini.
Dengan anggukan ringan, Sakala memanggil pelayan. Alena menyipitkan mata.
“Kau bilang tidak punya banyak waktu di sini?”
Sakala tersenyum tipis. “Memang. Tapi pembicaraan ini mulai menarik.”
Apa?
“Tapi…”
“Ada makanan yang kau inginkan?” lanjut Sakala.
Sakala dan pelayan itu menatapnya, menunggu dengan sabar.
“Al...”
Aluna mengerjap. “Kau yang traktir?” tanyanya. Keuangannya saat ini lebih memprihatinkan dari pengemis. Ia harus memastikan kalau tawaran itu bersifat murah hati sebelum ia terpaksa mencuci piring karena tidak sanggup membayar.
Sakala mengangguk. “Pesan apa pun yang kau mau.”
Kesempatan. Alena tersenyum lebar, menyembunyikan niat liciknya. Ia memesan makanan sebanyak mungkin.
“Kau yakin sanggup menghabiskan semuanya?” tanya Sakala begitu pelayan meninggalkan meja mereka.
Alena mengangguk tanpa ragu. “Aku juga banyak makan. Itu salah satu masalahku,” ujarnya memasang wajah seperti orang yang benar-benar menyesal. “Kau bisa lihat bentuk badanku aneh. Selain itu makanan tidak sehat cenderung membuatku ketagihan,” lanjutnya enteng.
Sakala mengusap dagunya dengan gerakan ringan. “Apa lagi yang harus kuketahui tentangmu?”
Oke, kenapa pria ini justru semakin penasaran? Sebenarnya dia menyimak tidak sih ucapannya barusan? gerutunya dalam hati.
Ia buru-buru mengeluarkan ponsel. “Pernah lihat Aluna? Akan kutunjukkan fotonya.”
Kali ini ia pasti menang. Ia belum pernah melihat ada pria yang mampu menolak saudara kembarnya. Alena menyodorkan ponselnya pada Sakala. Pria itu hanya menatapnya sekilas kemudian mengotak-atik ponselnya.
“Hei, apa yang—“
“Aku sudah menyimpan nomormu,” gumamnya mengembalikan ponsel Alena. “Nomorku juga sudah tersimpan di ponselmu.”
“Tu-tunggu!” Alena tiba-tiba merasa panik. Rencananya bisa dikatakan berantakan. Bukan seperti ini yang ia bayangkan saat membuat tawaran ini. Ia pikir, begitu melihat wajah Aluna, Sakala akan langsung setuju menikah dengan saudara kembarnya.
“Aku yakin kau tidak menyimak! Aku bilang menikahlah dengan Aluna!”
“Aku dijodohkan denganmu, bukan dengan saudara kembarmu.”
“Tapi—“
“Saran untukmu,” bisik Sakala, nadanya tenang, matanya dalam dan tajam. “Kalau ingin membuat seorang pria menjauh, jangan membuatnya penasaran. Itu langkah yang salah.”
Fix. Ada yang salah dengan otak pria ini.