“Sorry, kau bilang apa barusan?”
Alena mengerang frustrasi, menatap saudari kembarnya dongkol. “Kukatakan padanya kalau aku tidak tahu namanya.”
Aluna menatapnya seakan ada yang tidak beres dengan jalan pikirannya. Alena rasa-rasanya ingin menjambak rambutnya sendiri begitu menyadari betapa t***l tindakan itu.
“Kau tahu dia pengacara kan?” tukas Aluna heran. “Dia sudah pasti tahu kalau kau berbohong. Lagipula kenapa kau melakukan itu?”
Sekarang Alena benar-benar harus mempertimbangkan untuk memeriksakan otaknya. Ia meringis. “Kupikir itu akan membuatnya jengkel dan yah…” Alena mengedikkan bahunya. “Dia marah kemudian ingin membatalkan perjodohan?”
“Tapi itu tidak terjadi,” tebak Aluna.
Alena menggeram.
“Aku bahkan menawarkanmu—“ detika kata-kata itu terucap, Alena merasa ingin mengutuk dirinya sendiri. Ia menatap ngeri saudaranya.
“Maksudku…”
“Kau menawarkanku pada Sakala?”Aluna menatapnya, berkacak pinggang.
“Kau kan tahu, aku tidak punya bakat untuk menjadi istri sempurna,” balasnya buru-buru, hanya agar Aluna tidak marah. Ia bisa menghadapi banyak hal, tapi kemarahan Aluna adalah hal lain. “Gelar itu cocok untukmu. Kupikir kalau aku...”
Diluar dugaan Aluna menarik tangan Alena, tatapannya melembut dan sesuatu di matanya membuat kengerian menjalari punggungnya. Alena tahu Aluna terlalu baik untuk marah padanya, tapi tatapan itu mengirimkan sengatan peringatan padanya bahwa apa pun yang akan dikatakan Aluna ia tidak akan menyukainya.
“Apa dia tahu kalau kau…”
Alena langsung menarik tangannya. “Tidak!” bantahnya tegas. Nada suaranya sedikit lebih tinggi. “Dia tidak tahu dan aku tidak berniat memberitahunya.”
“Kenapa?”
“Karena itu bukan urusannya! Aku tidak akan memberitahu apa pun tentangku padanya. Biarkan saja si pengacara sok cerdas itu membuat penilaian sesukanya. Aku tidak peduli.”
Aluna mengangkat kedua tangannya ke udara. “Oke, aku kan hanya bertanya. Jangan melotot padaku. Lagipula sepertinya kalian memang ditakdirkan berjodoh.”
“Aku tidak—“
“Al, kau tidak punya alasan untuk menolaknya. Dia tampan, memiliki karir bagus, keluarganya sempurna dan dia jelas tertarik padamu.”
Ucapan terakhir itu membuat Alena mengernyit. “Jangan katakan itu lagi. Pokoknya, aku akan membuatnya percaya kalau aku tidak layak untuknya.”
Aluna menahan senyumnya. “Caranya? Dan kalau kau berpikir untuk menjadikanku sebagai gantinya, aku tidak akan mengakuimu sebagai saudariku. Ngomong-ngomong, aku serius.”
Alena hampir saja memutar bola matanya mendengar ancaman kosong itu. Tentu saja Aluna tidak akan melakukannya. Mereka mungkin bertolak belakang dalam segala hal, tapi mereka bukan hanya dekat, mereka seperti satu koin dengan dua sisi yang berbeda. Mereka tidak terpisahkan.
Alena menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Rambut violet bergelombangnya jatuh menutupi sebagian wajahnya.
“Katakan apa yang harus kulakukan untuk membuat pria itu menjauh.”
Aluna ikut berbaring di samping Alena. “Kenapa tidak katakan saja pada Dad?”
Alena menatapnya dan pemahaman itu menari-nari di antara mereka. Seringkali, mereka memang tidak perlu berkata-kata karena mereka berdua memahaminya. Begitu saja. Alena tidak akan pernah mengatakan pada ayahnya untuk membatalkan perjodohan. Bukan hanya karena ia tidak akan sanggup mengatakannya tapi karena ia dan Aluna terlalu menyayangi pria itu—sosok ayah yang membesarkan mereka seorang diri. Mengecewakannya akan menjadi tusukan menyakitkan yang tidak akan termaafkan.
“SUNEO HONEKAWA‼”
Alena bangkit dari posisi tidurnya, begitu pun dengan Aluna. Keduanya berpandangan dan dalam hitungan detik terdengar kegaduhan sebelum disusul suara pintu yang dibanting dengan keras. Alena berlari dengan kecepatan yang akan membuatnya layak menjadi atlet dan dalam hitungan detik ia sudah ada di dapur.
“Aku menang! Yess‼” Alena mengepalkan tinjunya ke udara sambil meloncat-loncat riang.
Aluna muncul tidak lama kemudian dengan wajah cemberut.
“Ini tidak adil. Aku tidak menang lagi. Dad!” protesnya.
Pria paruh baya dengan apron pink muda dan spatula di tangan itu hanya terkekeh mendengar protes Aluna.
“Aturan adalah aturan Princess! Jadi, apa menunya hari ini, Kiddo?” pandangannya beralih pada Alena yang menyeringai lebar mendengar pertanyaan itu. Ia tidak perlu berpikir untuk menjawabnya.
“Nasi goreng spesial!”
Aluna mengerang. Ayah mereka tertawa dan saat Alena mengangkat satu tangan mengajak tos, pria paruh baya itu menyambutnya. Alena menatap adiknya, memasang wajah menyesal hanya untuk meledeknya.
“Aku akan membalasmu di taman. Lihat saja!”
Alena tertawa. Ia mungkin menang dalam hal kecepatan, tapi kesabaran dalam membuat tanaman tetap hidup? Peluangnya nyaris nol. Itu keahlian Aluna. Mereka berdua tahu itu.
“Masih minggu depan untuk itu adik kecil!”
Aluna mendengus. “Kau hanya lebih tua 5 menit dariku.”
“Tetap saja aku—“
“Al, potong bawangnya, Lu, kau bagian sayur.”
Ucapan ayah mereka menghentikan perdebatan mereka. Aluna mendesah, tapi melakukan apa yang diperintahkan. Sementara Alena… ia memasang wajah ngeri.
“Aku tidak…”
“Sebentar lagi kau akan menikah Kiddo! Kau tidak mungkin meminta Dad memasak untuk kalian kan?”
Aluna menjulurkan lidahnya, balas meledek Alena.
“Calon suaminya koki yang baik Dad, iya kan Al?”
Alena rasa-rasanya ingin menimpuk kepala saudarinya. Ia melotot, yang dibalas cengiran tak bersalah dari Aluna. Ponselnya bergetar, merasa itu kesempatan untuk melarikan diri, Alena mengangkatnya tanpa pikir panjang.
“Selamat malam calon istri.”
Alena langsung menjauhkan ponselnya seakan benda itu tiba-tiba punya kekuatan untuk melenyapkannya. Saat melihat nama yang tertulis di layar ponsel ternyata “calon suami” Alena menggeram rendah.
Ia tidak pernah berpikir Sakala akan meneleponnya. Ya Tuhan! Ada apa sih dengan pria itu? Alena melangkah keluar tanpa suara sebelum ayah dan saudarinya bertanya siapa yang menelepon.
“Kenapa kau menelepon?” tanyanya ketus.
“Apa aku tidak boleh menelepon calon istriku?”
“Aku bukan—“ Alena memelankan suaranya. “Aku bukan calon istrimu,” bisiknya penuh penekanan. Alena masuk ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya.
“Istri kalau begitu.”
Alena memejamkan mata. “Kenapa kau menelepon? dan jangan katakan omong kosong yang akan membuatku marah."
“Seperti apa misalnya?”
“Sakala!”
Terdengar suara kekehan. “Bagus juga mendengarmu marah. Temui aku di Blue Garden besok saat jam makan siang.”
“Aku tidak mau!”
“Kau tidak mau?”
“Kenapa aku harus mau?” tantangnya. Alena berjalan ke balkon, angin malam berembus menembus pori-pori kulit lengannya yang terbuka.
“Karena aku suka saat kau mau.”
Sial. Pengacara sok cerdas itu sedang menggodanya. Ia bisa merasakan pria itu tersenyum. Oh baiklah, mungkin ini bisa jadi kesempatan untuk membuat pria itu menyerah terhadapnya. Peluang ini tentu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Senyum liciknya terbit.
“Oke, aku mau.” Kali ini suaranya lebih lembut.
“Apa yang sedang direncanakan otak kecilmu saat ini?”
Bagaimana dia bisa tahu? pikirnya ngeri. Sekali lagi Alena menatap layar ponselnya. Apa mungkin dia cenayang selain berprofesi sebagai pengacara?
“Aku tidak merencanakan apa pun,” dustanya.
“Aku bahkan bisa mencium kebohonganmu dari sini. Aku pengacara kriminal, Al. Aku bisa mencium kebohonganmu dengan mudah dari sini.”
Alena bisa saja mengaku tapi ia tidak akan melakukannya. “Kenapa kau ingin menemuiku?” tanyanya, mengubah topik pembicaraan.
“Menurutmu kenapa?”
“Bukan aku orang cerdasnya, Sakala. Biasakan dirimu dengan itu.” dan saat itu juga Alena menyesal mengucapkannya. Ia merutuk dirinya sendiri.
“Itu berarti kau setuju menjadi istriku.”
“Aku tidak—“
“Ada yang ingin kutunjukkan padamu. Mungkin, besok adalah peluang terakhirmu kalau kau ingin membatalkan perjodohan ini.”