Pemotretan

2089 Kata
Divi kembali ke tempatnya duduk dan mendapati ruangan yang masih temaram karena sedang melakukan pemotretan. “Bu Divi, kok lama banget sih ke toiletnya?” tanya Bruce yang tiba—tiba berada di belakang Divi. Manajer Jayden itu memperhatikan foto—foto model di depannya. “Eh iya, Mas. Tadi agak sakit perut,” kata Divi berbohong. “Ya ampun. Bu Divi sekarang udah nggak papa?” tanya Bruce lagi, berpura-pura peduli. Divi tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya. Ia menatap Bruce yang terus tersenyum menatap ke arahnya. “Kenapa ya, Mas?” tanya Divi dengan sopan. “Nggak papa sih,” kata Bruce lalu tertawa kecil. Namun beberapa saat kemudian ia mendekatkan wajahnya di telinga Divi. “Tadi waktu Bu Divi di toilet, Jayden sama Sabrina ada pose yang cukup menantang. Saya khawatir kalau Ibu Divi nanti nggak suka,” bisik Bruce melanjutkan. Setelahnya ia tersenyum lagi dengan menggoda. “Pose ... apa?” tanya Divi penasaran. “Ya posenya cukup seksi begitu,” kata Bruce lagi. Ia menarik kursi yang kosong kemudian duduk di samping Divi. “Fotonya cukup menantang, saya sendiri sih suka. Jayden sama Sabrina juga ekspresinya luar biasa sekali. Sayang sekali Bu Divi ada di toilet saat itu.” “Nggak papa, Mas. Saya nanti bisa lihat di previewnya.” Divi menanggapi dengan bijak. Setelah beberapa saat, para model berganti pakaian, Bruce menghampiri kedua modelnya sedangkan Divi bersama Anton bersiap untuk melihat hasil foto—foto yang sudah dijepret menggunakan kameranya. Dalam previewnya, Divi mulai paham apa yang dimaksud oleh Bruce. “Mbak Divi, untuk foto ini apa masuk ke majalah kita?” tanya Anton. “Saya sebenarnya nggak yakin sama pose mereka, soalnya bisa dibilang terlalu v****r kalau misal diedarkan di majalah Indonesia.” Divi mengangguk setuju mendengar pendapat Anton. Ia bahkan baru teringat kembali bahwa ia kini berada di redaksi majalah yang berada di Indonesia. Jika di Sydney, mungkin foto ini akan nampak luar biasa, tapi jika di sini, Divi berpikir ulang. Pasalnya foto Jayden dan Sabrina seolah sedang berciuman. Jarak bibir mereka mungkin hanya bersisa sekitar satu senti. Nyaris terlihat seperti mereka tengah saling berciuman sekarang. Setelah beberapa saat melihat foto preview yang sudah diambil sambil menunggui para model selesai berganti pakaian, Jayden dan Sabrina akhirnya kembali ke depan. Berdiri di belakang background berwarna hijau. Kini pakaian mereka berganti menjadi lebih sopan dibanding pakaiannya yang tadi. Sabrina memakai dress berwarna hijau tua dengan aksen rumbai di lengan hingga dadanya. Di bagian lengan atasnya berlubang dan itu membuat tubuh mulusnya tereskpos dengan sempurna. Panjang dress itu di atas lutut membuatnya nampak manis sekaligus seksi secara bersamaan. Berbeda dengan Sabrina, Jayden memakai celana hitam yang lebih casual. Ia memakai rajut turtle neck berwarna hitam yang ditambahkan dengan jaket berwarna coklat krem dengan dua kantong di depan dadanya. Jayden memakai jam tangan yang memang harus ditunjukkannya sebagai brand sponsor, begitu pun dengan Sabrina. Tak lama kemudian, kedua naik untuk melakukan pemotretan. Tidak seperti yang tadi, pemotretan Jayden dan Sabrina lebih terlihat hangat. Mereka lebih seperti pasangan yang sedang jalan ke luar. Ngedate di akhir pekan. Divi memperhatikan Jayden dan Sabrina dengan pikiran yang lebih terbuka. Setelah beberapa saat yang lalu, ia menangisi dirinya sendiri. Kini ia jauh lebih bisa berpikir logis. Divi sadar bahwa tangisannya tadi sangat tidak berguna. Lagipula untuk apa ia menangisi kehidupannya yang lalu. Semua itu sudah berakhir. Jayden sudah bukan lagi menjadi miliknya. Jayden kini laki—laki bebas yang tak memiliki sangkut paut apapun dengannya. Mereka hanya memiliki masa lalu bersama karena anak mereka, Emil. “Oke good!” Anton berteriak keras dan pasangan di depan semua orang itu kembali berganti posisi, semau mereka. Namun ketika dirasa Anton kurang pas, ia pun memberikan intruksi dengan keras. Akhirnya setelah sekitar satu jam foto pemotretan itu berakhir dengan senyum dan tawa. Semua orang nampak senang dan memuji pekerjaan Jayden dan Sabrina. Divi pun melakukan hal yang sama. Namun ia segera berpura-pura fokus untuk melihat hasil yang ada di depan layar komputer. Jayden melepaskan jaket yang dipakainya kemudian menyerahkannya pada Ina, asistennya. Ia terlihat lelah dan berjalan menghampiri Anton yang duduk di samping Divi. Ia mengambil kursi dan duduk di samping Divi. Membuat wanita itu duduk di tengah antara dua laki—laki. “Gimana hasilnya? Apa memuaskan?” tanya Jayden pada Divi dan Anton. “Bagus kok, Mas. Nggak ada masalah,” kata Anton. Divi ikut merespon dengan menganggukkan kepalanya. “Besok gimana, Div?” tanya Jayden. “Besok kita kan nggak ada jadwal.” “Untuk wawancaranya bisa nggak kalau dilakukan di luar?” tanya Jayden tiba—tiba, dan membuat Divi menoleh dengan tatapan matanya yang lelah. “Lebih baik di lakukan di dalam kantor sebenarnya. Lagipula untuk wawancara yang meliput nanti Aida Nurida.” “Bukan kamu?” tanya Jayden bingung. Divi segera menggelengkan kepalanya. “Bukan.” Jayden menghela napasnya. “Ya sudah kalau begitu,” kata Jayden akhirnya. Ia melepaskan pandangannya dari Divi dan melihat foto-fotonya bersama Sabrina. Keduanya nampak professional dalam pemotretan yang sudah dilakukan. “Jay, gimana hasilnya?” tanya Sabrina yang tiba-tiba datang sambil memeluk Jayden. Divi yang merasakan kehadiran Sabrina hanya bisa menahan napasnya. Ia tidak suka dengan sikap nakal Sabrina. Namun untuk menegurnya ia tak memiliki kuasa apapun. “Sabrina, lepaskan!” kata Jayden sama sekali tak segan-segan. Di sampingnya Divi kelihatan tak menoleh sedikit pun ke arahnya yang kini dipeluk pundaknya dari belakang. “Apaan sih, aku kan mau lihat hasil pemotretannya. Masa gini aja nggak boleh,” kata Sabrina dengan wajah memberengut kesal. “Waaah wah itu bagus deh,” komentar Sabrina saat melihat foto previewnya bersama Jayden yang berpegangan tangan. “Udah kayak foto prewedding ya, Jay?” Jayden tidak membalas. Ia mulai mengkhawatirkan Divi. Ia takut jika Divi mengartikan sikap Sabrina yang begitu akrab sebagai hubungan asmara. Divi tiba-tiba bangkit berdiri. Ia memundurkan kursi yang didudukinya. “Anton nanti kamu pilih yang terbaik dan teruskan ke email saya ya?” kata Divi akhirnya. Ia kemudian mengulum bibirnya dan tersenyum paksa. “Jayden, Sabrina, terima kasih untuk hari ini,” kata Divi sambil mengulurkan tangannya. Sabrina menerima uluran tangan itu pertama kali, kemudian Jayden melakukan hal yang sama. Ia menjabat tangan Divi dengan hangat kemudian melepaskannya setelah beberapa saat. “Kerja bagus untuk hari ini! Kita bertemu kembali minggu depan Jayden!” kata Divi dengan senyum tipisnya. “Kalau begitu, sekarang saya permisi!” kata Divi sambil menganggukkan kepala. Ia meninggalkan Sabrina dan Jayden yang beberapa saat kemudian duduk bersama di samping Anton. Divi menundukkan kepalanya. Ia tak paham dengan apa yang ada dipikirannya saat ini. Namun tak lama kemudian, Divi menggelengkan kepalanya. Menahan pikirannya yang aneh-aneh menguasai. Ia selalu berpikir bahwa yang harus dilakukannya adalah bersikap profesional. Ia juga terus berpikir tak boleh baper dengan mengingat masa lalu. *** Divi pulang bersama Rangga sambil membawa tas mereka masing-masing. Mereka berjalan bersama sambil berbicara basa basi. Membahas pemotretan Jayden dan Sabrina yang punya kemistri kuat. “Habis ini mau makan malam dulu nggak di luar?” tanya Rangga. Ia sedang memikirkan sesuatu. “Makan malam di mana ya?” Divi tentu saja mau. Bosan sekali ia memakan masakannya dan masakan Rangga yang tidak terlalu enak, tapi setidaknya bisa dimakan dan dicerna dengan baik oleh usus mereka masing—masing. “Resto dekat pantai mau?” ajak Rangga lagi. “Tapi lokasinya lumayan memakan waktu. Tapi aku jamin masakan dan suasananya akan menyenangkan.” Divi berpikir sejenak. “Oke deh,” katanya. “Lagian besok kita libur. Nggak masalah kita pulang lebih malam. Ini waktunya kita refreshing.” Divi tersenyum lebar. Rangga mengangguk setuju. Ia senang karena Divi menerima usulannya. Tak berapa lama kemudian, Divi dan Rangga ke luar dari lift. Mereka berjalan bersama di basemen gedung perkantoran itu lalu menuju ke dalam mobil milik Rangga. *** Setelah beberapa saat berada di dalam mobil dengan perjalanan yang cukup memakan waktu, Rangga akhirnya memarkirkan mobilnya. Mereka turun dan langsung disambut dengan dingin oleh terpaan angin laut yang mengenai wajah mereka. Divi tersenyum merasakan angin di sekitarnya. Ia melihat sekitarnya dan nampak masih cukup ramai meskipun sudah pukul 20.15 malam. Rangga berjalan lebih dulu dan Divi segera mengikutinya. Mereka berjalan bersama tanpa saling mengobrol. Keduanya sedang terbenam dalam pikiran mereka masing-masing. Rangga memikirkan perasaannya pada Divi yang sudah lama ia pendamnya. Sedangkan Divi memikirkan kelanjutan hidupnya. Ia sedang merasa gelisah karena kehadiran Jayden dan Sabrina dalam hidupnya lagi. “Itu tempatnya!” Rangga menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah restoran di pinggir pantai yang ada di depan mereka. Divi memperhatikan lebih lekat. Ia juga membaca papan nama restoran yang ada di depannya. Restoran Seafood Bersama Cinta. Divi tersenyum membawa nama restoran yang akan ia kunjungi bersama Rangga. Dari tempatnya berdiri, Divi melihat kitchen restoran ada di pinggir pantai. Sedangkan tempat duduk untuk tamu yang datang berada tepat di bawah air laut, menggunakan bangunan berbahan kayu. Rangga menggenggam tangan Divi kemudian menariknya agar lebih cepat berjalan. “Ayo!” Setelah sampai di depan restoran, mereka pun masuk. Mencari tempat duduk yang diinginkan oleh Divi. Akhirnya mereka duduk di bangku pertengahan. Baru saja menaruh bokongnya di atas kursi kayu yang memanjang, Divi dan Rangga sudah ditunggu oleh pelayan restoran untuk memesan makanan. Pelayan menyerahkan buku menu dan Divi segera kebingungan. Ia tak terlalu biasa memakan ikan-ikanan. Sebagai mantan warga Bogor yang tinggal di dataran tinggi, ia lebih sering makan daging dan sayur—sayuran. Divi menyerahkannya pada Rangga. “Aku kurang paham seafood, Ngga.” Rangga pun mengambil alih. “Kamu ada alergi sesuatu?” tanya Rangga mengantisipasi apa yang hendak dipesannya. Divi berpikir sejenak. “Aku nggak bisa makan udang,” Divi tak suka itu. “Oke,” Rangga membalik buku menu. Padahal tadi, ia sedang melihat—lihat masakan udang yang di buku menu. “Ya udah, Mbak. Saya pesan ikan gurame bakar 2, ayam tepungnya 2, tongseng 1, nasi 2, jus jeruk 1, air mineral 2.” “Kamu mau ada nambahin apa?” tanya Rangga sambil menyerahkan kembali buku menu pada Divi. Divi menerimanya dan segera memilih minuman yang akan dipesannya. “Jus alpukat 1 sama tambahin pisang goreng krispi ya, Mbak.” Pelayan yang memakai apron di pinggangnya itu pun menganggukkan kepala sambil menuliskan pesanan di nota yang ada di tangannya. “Ada lagi yang lain, Mas, Bu?” Divi langsung mengerutkan keningnya dengan sebal. Mas, Bu? kenapa Rangga dipanggil Mas sedangkan ia dipanggil Ibu? Ini sangat menyebalkan. Padahal bahkan usia Rangga lebih tua darinya. “Div, ada lagi nggak?” tanya Rangga memastikan. Divi kembali tersadar dan membuyarkan lamunanya. Ia pun menggelengkan kepalanya. “Oh nggak ada, Mbak. Itu aja.” “Baik kalau begitu ditunggu ya, Bu, Mas,” balas pelayan itu lagi lalu meninggalkan meja makan Rangga dan Divi. Divi segera membuang mukanya. Ia melihat ke arah kanannya dan mendapati bulan berada di sana. Rangga pun melakukan hal serupa. Ia melihat bulan di sisi kirinya dan tersenyum. “Aku baru sadar kalau kita beruntung. Malam ini cuacanya cerah dan kita bisa lihat matahari di atas langit.” Divi kemudian menoleh. “Ombaknya juga nggak terlalu besar.” “Hmm....” Rangga menganggukkan kepalanya. Divi tersenyum meskipun rambutnya terbang ke sana dan ke mari. Ia memeganginya kemudian teringat pada kuncir rambut miliknya. Mencari kuncirnya di dalam tas, Divi tiba—tiba merasakan tangan seseorang yang kini mendekati kepalanya. Saat ia tersadar, Divi menyadari jarak antara wajahnya dan wajah Rangga yang begitu dekat. Bahkan deru napasnya yang hangat mengenai pipinya. Terdiam, Divi merasakan rambutnya yang kini ditarik ke belakang. Tak lama kemudian, Rangga menguncir rambutnya dengan perlahan menggunakan karet. Entah apa yang digunakannya tapi itu berhasil membuat rambut Divi jinak. Setelah selesai menguncirkan rambutnya, Divi memegang rambutnya. Memastikan apa yang kini terpasang di kunciran rambutnya. “Kamu dapat dari mana kuncirannya, Ngga?” tanya Divi saat menyadari ada aksen pita di belakang kepalanya. “Aku lupa kapan belinya, tapi itu memang buat kamu.” “Buat aku?” Divi mulai melepaskan tangannya yang sejak tadi berada di ikatan rambut. Ia tersenyum menggoda. “Jangan—jangan kamu sengaja mengajak aku makan di pinggir pantai supaya bisa kasih ikatan rambut ini ke aku?” tanya Divi. Rangga segera menggelengkan kepalanya. “Nggak gitu juga konsepnya, Div!” kata Rangga tak setuju. “Kebetulan aja karetnya ada di saku jaket aku setelah sekian lama.” Divi mencibir. “Ah masa sih?” Rangga yang terus digoda segera mengacak rambut Divi dengan kesal. “Udah ah diam!” Mendapati sikap Rangga yang malu—malu membuat Divi tertawa cukup keras. Ia menertawai sikap Rangga. Hingga beberapa saat kemudian, makanan yang dipesan oleh Rangga dan Divi sampai ke meja mereka secara bertahap.[]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN