“Liat deh mereka berdua.” Ujar Laura seraya mengalihkan pandangannya kearah Jihan dan Alvin yang sedang duduk di pojok café, terhalang satu meja dari meja yang sedang ia tempati bersama yang lain. “Kalian ngerasain gak asih ada yang aneh sama mereka? Atau gara-gara gue aja yang jarang ketemu sama mereka?” tambah Laura seraya melirik Dafi dan Bastian secara bergantian.
Dania mengalihkan pandangan ke arah Jihan dan Alvin yang sedang melihat sesuatu berdua dari sebuah ponsel di tangan kanan Alvin, sementara tangan kiri pemuda itu berada di kursi yang Jihan tempati. Mereka memang tampak dekat, bahkan tampak nyata jika hanya disebut sebagai kekasih palsu. Terlebih interaksi yang mereka lakukan terlampau nyata, terlihat seperti pasangan pada umumnya. Ditambah dengan sikap Alvin. Setelah kejadian dimana Alvin tanpa sengaja memarahi Jihan, Alvin menjadi lebih dekat dengan Jihan dan bahkan memperhatikan sahabatnya itu.
Dania menghembuskan nafas. Ternyata bukan hanya ia saja yang merasakan hal itu? Laura juga merasakannya?
“Sebenernya gue khawatir sama mereka.” ujar Dania. “Gimanapun hubungan mereka ini hubungan palsu, rasanya gak pantes aja mereka sedeket ini.” lanjut Dania. “Gue gak mau sahabat gue tersakiti, apalagi sebenernya kita semua gak tau perasaan Kak Alvin. Gimana kalo Jihan baper? Padahal bisa aja Kak Alvin bersikap kayak gini tuh cuma anggap Jihan adek?”
Laura menarik ujung bibirnya, terkekeh mendengar kalimat yang Dania ucapkan. “Gue kenal Alvin dari kecil. Kalo dia memperlakukan seseorang layaknya sodara gak kayak gitu. Contohnya ke gue. Apa dia kayak gitu ke gue? Enggak kan? Kita deket? Iya, kita deket. Tapi ke gue dia gak kayak gitu. Gak sampe marahin gue tanpa tau tempat saat gue ngelakuin kebodohan dan kecerobohan yang membahayakan gue. Palingan dia negur biasa aja. Tapi sama Jihan? Alvin khawatirnya to the max! Gue gak pernah liat Alvin semarah itu. Gue ngerasa gak mungkin cuma adek, gue yakin ada sesuatu yang spesial yang Alvin rasain buat Jihan.”
“Alvin juga gak pernah sedeket itu sama cewek lain selain Laura.” Tambah Bastian. “Tapi sama Jihan dia perhatiannya maksimum, sampe lagi jauh pun minta video proses latihan Jihan buat kompetisi. Dia masih perhatian di saat lagi jauh kayak gitu.”
Dania menghela nafas panjang. Tak tahu harus menanggapi ucapan kedua sahabat Alvin itu dengan ucapan seperti apa lagi, sebab sekalipun ia sekali lagi mengeluarkan pendapat, mereka tak akan mengerti dengan semua kekhawatiran yang ia rasakan, mereka tak akan pernah tahu ketakutan yang ia rasakan untuk sahabatnya itu, mereka akan tetap membela Alvin dan menceritakan sisi baik dari pemuda itu.
“Gue tau Alvin pasti cowok baik. Gue juga paham Dania cuma khawatir sama Fanya. Apalagi Fanya masih polos, dia bener-bener gak pernah pacaran, bahkan mikirin buat pacaran pun enggak. Kalo boleh jujur, sebenernya gue juga khawatir sih sama hubungan mereka. Kayaknya sama persis sama yang Dania rasain.” Ujar Dafi.
“Tapi gue serahin apapun sama mereka, gue bakalan hormatin apapun keputusan mereka, yang jelas gue bisa pastiin, gue bakalan ada di sisi Jihan kapanpun itu dan dalam kondisi apapun itu. Gimana pun Jihan udah kayak adek gue sendiri, gue cuma bisa jagain dia tanpa harus atur hidup dia..” Dafi menyunggingkan senyumannya. “Cuma itukan tugas Kakak buat jagain Adeknya?” Lanjut Dafi yang membuat Laura menoleh kemudian tersenyum tipis.
“Thanks Daf lo udah bisa percaya sama Alvin.” Ujar Laura yang kemudian Dafi angguki. “Anyways kemana nih yang punya café? Padahal gue lagi sibuk tapi dia maksa dateng.” Ucap Laura.
“Bu Boss emang beda ya? Sibuk terus.” Sindir Kevin yang sejak beberapa saat lalu hanya diam, menyimak perdebatan orang-orang di depannya tanpa memberi tanggapan.
Laura mendesis. “Di masa depan lo bakalan ngalamin sendiri Kev, gak usah ngeledek.” Ujar Laura yang hanya di tanggapi oleh kekehan kecil.
“Kedengerannya kalian akrab.” Ujar Dania seraya melirik Kevin dan Laura secara bergantian. “Kalian kenal deket ya?”
“Hm?” Laura menatap ke arah Dania. “Enggak kok. Tapi gue kenal sama orangtuanya.”
Dania hanya berkata ‘oh’ seraya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kenapa Dan? Lo cemburu kalo gue akrab sama Laura?” goda Kevin. “Tenang aja entar lo gue kenalin ke orangtua gue juga.” Lanjut Kevin.
Dania mendelik kemudian memutar bola mata, malas mendengar ocehan tak mutu dari Kevin.
“Itu Kak Gibran.” Ujar Dania mengalihkan pembicaraan ketika melihat si pemilik café datang dengan langkah lebar. Sementara Kevin hanya terkekeh kecil dengan kepala menggeleng.
“Guys ... sorry bikin kalian nunggu lama, gue harus anterin Fanya dulu ke Anandamaya.”
“Lah kenapa? Padahal bawa aja kumpul bareng.” Tanya Bastian. “Kita udah nunggu lama bro.”
“Gak bisa lah, masa iya gue ajak Fanya di saat gue mau ngasih surprise buat dia?”
“Sureprise?” tanya Jihan yang sudah berdiri di belakang Dania, bergabung dengan kerumunan.
Gibran mengangguk. “Gue mau nembak Fanya di ulangtahunnya besok. Semuanya udah gue siapin kalian tinggal bantuin gue dikit dan pastiin aja bikin acaranya sukses, gue sadar gue pasti butuh bantuan kalian. Han, Dan ... gue minta kalian pastiin Fanya dateng ya? Kev kalo lo gak keberatan lo yang jemput mereka di Anandamaya besok. Bastian lo yang nyanyi ya? Sama Jihan deh entar. Sisanya dekor bareng gue.”
“Jangan Jihan.” Sanggah Alvin yang dengan santainya merangkul bahu Jihan yang berdiri di sisi kanannya.
“Apa sih Vin cemburunya tahan dulu napa? Demi sahabat lo ini.” Ujar Gibran seraya mendelik ke arah Alvin.
“Bukan gitu. Tapi terserah deh.” Ucap Alvin pasrah, malas berdebat.
Jihan melirik Alvin sekilas sebelum menatap Gibran. “Tapi bener Kak, mendingan jangan gue. Apa kalian gak bosen denger suara gue? Dania aja gimana? Suara dia bagus, lebih bagus dari suara gue malahan.”
“Ngadi-ngadi lo Han.” Sergah Dania.
“Gue serius, lo kan jagonya nyanyi Bahasa Inggris, pasti cocok buat acara gini. Biar gue sama Kak Alvin aja yang jemput Fanya. Kak Alvin kan satu gedung apartemen sama Fanya jadi gampang. Kalian siapin aja semuanya di sini. Urusan Fanya kita yang pikirin pokoknya.” Saran Jihan.
“Ok kalo gitu, Han sama lo Vin jemput Fanya. Bastian sama Dania yang nyanyi, siapin dari sekarang, lagu-lagu yang romantis aja. Sisanya bantuin gue dekor ini café. Gak mau tau pokoknya gue maksa, besok jam satu udah kumpul di sini.” Tegas Gibran.
“Kayaknya gue gak bisa bantuin deh. Gue besok ada meeting penting. Sorry ya? Tapi gue pastiin malemnya gue bisa dateng kok Gib, gue janji, gue bakalan usahain.” Ujar Laura dengan penuh penyesalan.
“Yaudah deh gapapa. Yang lain dateng kan bantu gue? Daf, Vin?”
“Aman. Fanya temen gue, gue pasti bantuin kali buat hari bahagia dia.” Ujar Dafi.
“Gue juga pasti bantuin kok. Tenang aja. By the way, kita harus bawa kado dong?”
“Gak usah, ini spesial moment gue sama Fanya, gue gak mau entar ada yang kasih hadiah lebih berkesan dari yang gue kasih.” Balas Gibran yang dihadiahi kekehan pelan oleh teman-temannya.
“Cake sama bunga udah Kak?” tanya Jihan.
“Udah siap, besok tinggal gue bawa.” Jawab Gibran.
“Terus ada lagi gak?” Tanya Kevin lagi.
“Udah sih kayaknya gue cuma pengen ngomongin itu. Besok gue bela-belain nutup café jangan sampe acaranya gagal.” Ujar Gibran.
“Ya ... masalah pesta sih aman. Tapi kalo lo di tolak ya bukan salah kita. Bener gak Bas?” goda Alvin seraya menyeringai.
“Sialan! Temen macam apa kalian ini?” umpat Gibran kemudian terkekeh lagi.
“Jadi udah cuma segini doang?” tanya Laura. “Kalo udah gue cabut duluan, gue mau siapin bahan buat besok.” Ucap Laura seraya berdiri, mengambil jaket dan juga handbag-nya.
“Gue anter?” tawar Alvin dan Kevin secara bersamaan.
Laura terkekeh kecil kemudian menggeleng. “Gak usah, gue bawa mobil sendiri. Gue duluan ya ... bye.” Pamit Laura seraya berlalu begitu saja dari tempat itu.
“Vin, kapan-kapan ajakin Laura piknik deh, kasian gue sama dia, kayak suntuk banget hidupnya.” Ujar Bastian pada Alvin setelah Laura menghilang dibalik pintu keluar.
“Bukan suntuk lagi. kayak nyaris gila gara-gara kerjaan.” Tambah Gibran.
Alvin hanya menghela nafas kemudian mengangguk kecil. “Gampang, entar gue atur kalo dia santai. Gue juga udah mikirin itu dari lama sih, apalagi dia jadi jarang nongkrong.” Ujar Alvin, tanpa memperhatikan wajah Jihan yang tengah menatapnya datar, begitu dingin tanpa ada senyuman.
Jihan menghembuskan nafas yang terasa begitu berat ketika ia merasa ada yang janggal dengan hatinya, ada yang terasa panas dalam hatinya, ada yang terasa berat, hingga menghimpit dadanya. Dalam pikirannya pun ikut berkecamuk.
Apakah mereka sedekat itu sampai merencanakan liburan bersama? Mereka ini teman atau ... lebih dari teman?
“Han ... saatnya lo naek stage.”
Jihan mengerjapkan mata kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Gibran lalu mengangguk kemudian beranjak pergi tanpa mengindahkan Alvin yang memberinya semangat.
.
.
.
Sedikit waktu yang kau miliki
Luangkanlah untuku
Harap secepatnya datangi aku
Sekali ini kumohon padamu
Ada yang ingin kusampaikan
Sempatkanlah
.
.
.
Pandangan Alvin tak lepas dari Jihan yang sedang bernyanyi penuh penghayatan dengan sesekali memejamkan mata kemudian membukanya lagi setelah itu memberikan senyuman pada pengunjung café. Cantik, begitu menawan, aura yang memancar dari Jihan tampak begitu memancar kuat, membuatnya serasa tak sanggup untuk memalingkan wajah walau untuk satu detik saja. Suara lembut yang Jihan miliki benar-benar membuat hatinya terasa hangat, begitu nyaman, hingga membuat hatinya begitu sejuk dan terasa damai.
Selepas Dania pulang bersama Dafi, Kevin pun pulang sendiri. Alvin memang masih bertahan di tempat itu, ditemani Bastian dan tentu saja Gibran masih setia di meja yang sama, menikmati alunan musik, mendengarkan suara indah Jihan yang begitu sopan saat masuk dalam telinga. Terutama Alvin, ia tak hanya menikmati suara Jihan, tapi menikmati bagaimana indahnya ekspresi wajah Jihan ketika bernyanyi penuh penghayatan.
Alvin menyunggingkan senyuman ketika Jihan melirik ke arahnya sesaat sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain lagi.
“Gak bakalan ilang Vin, gak perlu lo liatin terus sampe segitunya.” Ucap Bastian, menggoda.
Alvin menyeringai, ia menarik sebelah bibirnya kemudian menatap Bastian. “Gue cuma lagi nikmatin suara dia.”
“Yakin? Cuma nikmatin suaranya?” kali ini Gibran yang menggoda. “Gue perhatiin lo liatin dia terus dari dia megang mic.”
“Lebay lo.” Sanggah Alvin.
“By the way ... Vin. Gue perhatiin kalian makin nempel belakangan ini. Ada kemajuan?”
Kening Alvin mengerut. “Kemajuan apa maksud lo?”
“Hubungan kalian” jawab Gibran. “Kali aja lo ada niatan ubah status.”
“Jangan bilang gak ada, karena gue saksi hidup betapa bucinnya lo sama Jihan.” Sergah Bastian ketika ia baru saja hendak membuka suara.
Alvin terkekeh kecil, lalu mengulas senyumannya seraya menatap ke arah Jihan kembali yang sedang melakukan percakapan kecil dengan pengunjung café. “Gue gak tau.”
“Hah? Apa maksud lo dengan gak tau?”
Alvin menghela nafas kembali kemudian menatap Gibran dan Bastian secara bergantian. “Kalian tau alesannya. Harus gue jelasin lagi?”
Gibran menghela nafas panjang kemudian menatap Alvin dengan tatapan serius. “Vin ... Emang lo gak nyaman sama Jihan? Maksud gue ... emang lo gak ngerasain sesuatu yang spesial? Padahal dari semua yang lo lakuin, kita bertiga; gue, Bastian sama Laura udah bisa baca. Lo tertarikkan sama Jihan?”
“Gak bisa cuma modal tertarik.”
Gibran bersedekap, kemudian menatap Alvin lamat. “Vin ... percaya deh, dengan lo punya pasangan, lo bisa lebih enjoy terlebih pasangan yang udah buat lo nyaman dan lo ngerasa dia zona nyaman lo. Kayak lo ke Jihan sekarang. Kurang apa lagi dia?”
Alvin menarik nafas panjang seraya menatap ke arah Jihan lagi. “Gak ada. Kalo boleh gue jujur, Jihan itu ideal type gue banget. Dia bener-bener sosok cewek yang gue cari karena ada satu hal yang bikin gue nyaman di deket dia.” Alvin menatap Gibran dan Bastian lagi sebelum menatap Jihan. “Dia gak pernah berusaha mengorek sesuatu tentang kehidupan pribadi gue yang sama sekali gak bisa gue banggain. Dia gak pernah tanya-tanya apapun yang menyangkut privasi gue.”
Alvin menarik nafas, menjeda ucapannya sekilas. “Seperti yang lo bilang ... emang bener, Jihan zona nyaman gue. Tapi buat naekin status hubungan kita ... gue gak yakin.” Alvin menatap Gibran dan Bastian kembali sebelum berujar perlahan.
“Gue gak mau mempersulit hidup Jihan dengan menarik Jihan masuk dalam kehidupan gue. Jihan ... berhak hidup sama cowok yang dia cintai dan yang bisa bahagiain dia. Buat sekarang ... gue pengen jagain dia sekuat yang gue bisa.” Lanjut Alvin.
Gibran dan Bastian tak mampu mendebat lagi. mereka hanya bisa mengangguk kecil. menghormati keputusan Alvin.
Alvin kembali menatap Jihan yang kini sedang memegang sebuah kertas kecil. hendak membacakannya.
“Ada sebuah surat dari ... hm ternyata surat tanpa identitas pengirim dan penerima, biar saya bacakan.” Ujar Jihan seraya menyunggingkan senyuman.
“Mentari pagi tak akan pernah mampu menggantikan hangatnya hatiku ketika melihat senyumanmu. Suara angin berhembus tak akan pernah mampu menggantikan merdunya suara indahmu dan teduhnya langit karena tertutup awan tak akan pernah mampu menggantikan tatapan teduhmu. Dari kali pertama aku melihatmu, hingga saat ini. Semuanya tak pernah berubah, masih tetap sama seperti saat pertama kali kita berjumpa. Sekalipun kau tak bisa menjadi milikku dan sekalipun sekarang kau sudah bersama orang lain. Tapi ijinkanlah perasaanku tetap ada sampai saatnya tiba perasaan itu hilang tanpa kusadari. Ijinkanlah perasaan itu tetap bersemayam dalam dadaku. Namun ada satu hal yang harus kau harus tau, cintaku ... bukanlah cinta biasa.”
Jihan tersenyum setelah membacakan surat itu. “Surat yang sangat indah. Semoga bisa surat ini bisa tersampaikan pada siapapun yang seharusnya menerima surat ini. Baiklah kita lanjut lagu selanjutnya sesuai dengan nuansa dari surat ini ... Bukan Cinta Biasa. Untuk siapapun kamu pemilik surat ini. Percayalah suatu saat kau bisa menemukan orang yang kau cintai dan mencintaimu.”
Alvin pun ikut tersenyum mendengar suara syahdu Jihan setelah membacakan surat tersebut.
.
.
.
Kali ini kusadari
Aku telah jatuh cinta
Dari hatiku terdalam
Sungguh aku cinta padamu
.
Cintaku bukanlah cinta biasa
Jika kamu yang memiliki
Dan kamu yang temaniku seumur hidupku
.
.
.
Suara sorakan tiba-tiba menggema, café terdengar begitu gaduh oleh sorakan para pengunjung ketika seseorang datang mendekat ke arah panggung, membawa satu buket bunga mawar berwarna putih yang kemudian orang itu berikan pada Jihan.
Mata Alvin menatap nyalang pada pemuda itu. Rahangnya mengatup dengan kedua tangan terkepal sempurna. Menahan gejolak emosi yang mendadak serasa tersulut, membakar seluruh dadanya. Andai ini bukan café dan tidak banyak orang, ia pasti tak sungkan sudah menghabisi pemuda itu.
“Erlangga.” Desis Alvin setengah menggeram.
Sementara itu Gibran dan Bastian saling melirik melihat tingkah Alvin. Heran dengan tingkah sahabatnya itu yang tidak berkorelasi dengan ucapan yang baru saja mereka dengar.
Jika memang tak memiliki perasaan apapun, seharusnya Alvin tak akan pernah merasakan apapun bukan ketika melihat Jihan bersama orang lain? Apalagi merasakan cemburu. Tapi Alvin? Tak mungkin juga kan Alvin akan semarah itu ketika seseorang mendekati Jihan jika bukan karena cemburu? Dan tak mungkin Alvin merasa cemburu jika tak memiliki perasaan berlebih pada Jihan. Tapi ...
Gibran dan Bastian hanya mampu menghela nafas. Sebab mereka tahu sendiri seberapa rumitnya kehidupan Alvin.