BAB I
“Valeri, akhir pekan pulanglah ke rumah. Ada yang ingin mama bicarakan.”
“Ya ma.”, sambil memejamkan mata aku menjawab mama.
“Kau baru bangun?"
Mamaku berteriak di seberang sana.
“No, aku sudah siap untuk pergi ke kampus.”
Sontak aku menendang selimut dan terduduk di atas ranjang.
Begitulah mamaku, hobinya hanya marah-marah. Dan aku…hobiku bermain game. Jika ada waktu senggang aku selalu bermain game.
Kebetulan aku kuliah semester akhir dan sedang membuat skripsi, jadi ada banyak waktu luang bagiku untuk bermain game.
“Val…oi Val”, teriak cowok bertubuh gempal mengejar di belakangku.
“Emmm….”
Aku menjawab sambil melihat gawai.
“Kalo main game jangan sambil jalan. Nanti nabrak.”
Ini Donny, teman 1 kampus yang beda jurusan. Dia jurusan ekonomi dan hobinya juga main game.
“Apa Don? Lagi seru nih.”
“Gimana skripsi lu? Kita ngobrol sambil makan yuk. Kelas gw da selesai nih.”
“OK…cafe yang biasa ya?”, jawabku sambil sekilas melihat ke arah Donny.
Aku dan Donny adalah sahabat dari SMA. Kami masuk universitas yang sama tapi berbeda jurusan. Donny manajemen dan aku teknik mesin. Jarangkan ada cewek yang ambil jurusan teknik?
Mamaku saja sempat menentang karena jurusanku tidak lazim untuk wanita, tapi papa yang sangat menyayangiku selalu memenuhi keinginanku karena aku adalah anak semata wayangnya. Kenapa juga aku mengambil jurusan teknik mesin? Karena menurut aku jurusan itu yang paling keren dan hanya sedikit mahasiswi yang berminat.
Sesampainya kami di resto seberang kampus aku memesan nasi goreng dan ice lemon tea, sedangkan apa yang dipesan Donny, aku tidak memperhatikan. Aku sibuk membaca artikel tentang cara menamatkan gameku ini.
Sebagai penggila game, mencari ‘jalan keluar’ dari masalah kebuntuan game secara online adalah hal lumrah.
“Val, maen terus. Gw mau ngomong nih.”
“Ya…apa?”, aku menaruh hp-ku dan memperhatikan Donny yang sedang sibuk makan kripik yang sebelumnya sudah dia bawa dari luar cafe.
“Bentar lagi kan kita mau lulus. Lu mau kemana?
“Ya pasti kerjalah. Kemaren gw uda liat-liat lowongan. Tapi kebanyakan ada di luar pulau dan luar negeri”
“Emang orang tua lu ijinin lu pergi?”
Pembicaraan kami tertunda karena pelayan resto yang membawa pesanan kami.
“Makasih ya.”
Pelayan itu membalas ucapanku dengan tersenyum.
“Entah, belum dicoba. Tapi kapan lagi ada kesempatan liat negeri orang.”
“Enak ya lu bisa pergi. Abis lulus gw disuruh jaga toko bokap. Hahhh….sedih banget.”
Kami makan sambil saling bercerita kesana kemari. Dari soal keluarga sampai soal game.
Aku bukan cewek yang suka dandan. Aku juga tidak terlalu suka berteman dengan wanita, cukup sekedar kenal karena satu kelas aja. Berteman dengan wanita banyak susahnya. Dari soal make up, gosip, pacar, mantan, PMS dan lain-lain yang serba rumit hanya membuat aku pusing.
Temen aku cuma Donny aja.
Tidak ada sakit hati diantara kita walau kadang kami sering saling cuek kalo lagi main game.
Besok pagi aku bangun pagi-pagi hanya untuk pulang ke rumah orang tuaku.
Yup, aku tinggal di apartemen sebelah kampus. Sebenarnya aku bisa sih kalo harus pulang pergi dari rumah ke kampus, tapi mamaku yang terlalu rewel itu mengatakan, “Bahaya anak gadis pulang pergi jauh begitu, sewa apartemen aja. Toh cuma 4 tahun.”
Jadi lah aku hidup sendiri selama 3 tahun ini. Karena otakku lumayan encer, ga perlu lah kuliah sampe 4 tahun, 3.5 tahun aja cukup. Walau aku penggila game, tapi aku tahu waktu. Kalau mau ujian aku akan mengesampingkan game dan belajar giat.
Kasihan orang tua sudah keluar banyak uang untuk aku seorang ini.
“Pa…ma…aku pulang.”, aku berteriak sambil membuka pintu depan rumahku.
Sudah beberapa bulan aku tidak pulang.
Tata letak benda-benda, mulai dari perabotan sampai lukisan , masih sama seperti terakhir kali aku menginjakan kaki di rumah ini.
Kami bukan keluarga kaya raya, cuma serba berkecupukan dengan jabatan papa sebagai manager area.
Jadi rumahku lumayan besar.
“Eh anak kesayangan papa sudah pulang.”
Aku berlari ke dalam pelukan papa yang menyambut kedatanganku.
“Ma…anak kita sudah pulang.”
Papa memanggil mama yang pasti sedang di dapur saat aroma masakan mama semerbak memenuhi lantai 1 rumahku.
Mamaku keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi ayam panggang.
“Ayo makan dulu nak. Mama masak kesukaan kamu nih.”
Memang tidak ada yang seenak masakan mama. Sudah berbulan-bulan aku hanya makan seadanya karena hidup sendiri jadi aku malas masak.
Aku makan dengan lahap seperti orang baru buka puasa. Orang tuaku hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku yang tidak seperti gadis pada umumnya.
Selesai makan kami duduk-duduk di ruang keluarga.
Mamaku memulai pembicaraan.
“Gimana kuliah kamu? Kapan selesainya?”
“Lagi skripsi ma. Bentar lagi juga selesai.”
“Ada yang mama papa mau bicarakan.”, wajah mamaku mulai serius.
“Kenapa nih? Kok aku jadi takut ya. Mama papa ga lagi sakit kan?”
Papa hanya diam sambil meminum teh herbal yang dibuatkan mamaku.
“Habis selesai kuliah mama mau kamu menikah dengan anak teman arisan mama.”
“What?!? No! Emang kita hidup dijaman apa? Masih ada jodoh-jodohan gini. Lulus kuliah aku mau kerja.” jawabku dengan nada yang sedikit meninggi.
“Pa…aku ga mau nikah dulu. Buat apa papa kuliahin aku kalau buat langsung nikah. Mending aku SMA aja.”, aku merajuk sambil memeluk tangan papaku.
“Iya nih mama. Anak belum juga lulus uda disuruh nikah.”
Papa memang the best lah, dia selalu mendukung apapun yang aku mau.
“Jangan terus membela anakmu. Manjakan saja terus.”, mama melirik ke arah papa dan papa langsung terdiam.
“Memang kamu mau kerja jadi apa? Jurusan kamu aja ga jelas gitu."
“Aku uda lamar kerja ma. Tinggal tunggu panggilan aja.”
Aku bohong sih, padahal belum.
“Tapi mama sudah keburu janji sama temen mama. Besok mereka mau datang untuk ketemu kamu. Dandan yang cantik ya.”
“Emang ga pernah mau kalah nih. Siapa yang janji siapa yang susah.”
Aku hanya memasang wajah cemberut dan mamaku hanya tersenyum saja karena merasa sudah menang.