Tujuh

1052 Kata
Motor besar Gara berhenti di tengah hutan lindung tepat di hadapan rumah kecil bertingkat yang terlihat begitu indah. Pandangan Kisha tak berhenti menatap sekitar yang sangat sunyi tidak ada tetangga sama sekali. Debur ombak menjadi pengiring kesunyian. Kisha masih bertahan duduk di atas jok motor.   "Kamu nggak mau turun?"   Kisha tersadar dari lamunannya menatap Gara dari pantulan kaca spion. "Kita dimana, Gara?" mengingat jarak tempuh yang lumayan memakan waktu lebih dari empat jam.   Gara menoleh ke belakang hingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Kita ada di villa pribadiku sih. Kalau lagi senggang butuh tempat buat melepas penat ya datang ke sini," jelas Gara seolah tahu apa yang ada di pikirannya.   Kisha masih bergeming karena bingung harus bagaimana, dan tiba-tiba tubuhnya terangkat ke atas lalu berpijak di atas tanah.   "Tapi, Gara. Dita bisa khawatir. Ini terlalu jauh." Iya. Kisha khawatir nanti adiknya mencemaskan kepergian dirinya yang tiba-tiba. "Mana aku nggak bawa baju ganti. Nggak mungkin kan kalau kita pulang malam-malam?" mengingat perjalanan yang tadi dilalui lumayan ekstrim dan juga sepi jarang pengendara yang melewat.   Gara tersenyum lembut menenangkan menepuk bahunya dari belakang. "Tenang. Ada pakaian Ibuku yang tertinggal di sini, siapa tahu cukup, kan? Udah. Adik kamu juga udah dewasa, nggak mungkin dia menangis tengah malam karena nggak ada yang ngelonin," canda Gara terpaksa membuat Kisha tersenyum meski sedikit khawatir dengan adiknya.   "Di sini ada signal, kan? Aku mau kabarin Dita dulu," Kisha mengambil ponselnya dari dalam tas untuk memastikan jika signal di ponselnya penuh.   "Ada kok, coba saja hubungi," ujar Gara datar kemudian berlalu meninggalkan Kisha begitu saja.   Kisha melongo melihat perubahan sikap Gara sebelum akhirnya tersadar menggelengkan kepala segera menekan nomber adiknya untuk dihubungi. Sulit terhubung.   Kisha mendesah pelan. Tubuhnya meremang saat udara dingin membelai kulitnya. Kisha bergidik ngeri segera menyusul Gara masuk ke dalam rumah kecil itu.   Teras yang terbuat dari kayu menimbulkan bunyi berderit ketika diinjak. Kisha membuka jaket kulitnya perlahan sambil matanya melirik ke segala penjuru. "Gara?" Kisha masuk ke dalam yang lumayan gelap tidak ada penerangan.   Suara lantai berderit membuat Kisha merinding ketakutan. "Gara?" Kisha takut gelap. Kemana perginya Gara?   Suara gemuruh terdengar dari lantai atas. Kisha mendongakkan kepalanya terus berjalan menatap langit-langit rumah. Persis seperti film horor.   "Udah teleponnya?"   Kisha terlonjak kaget mendengar suara berat Gara yang muncul tiba-tiba dari belakangnya. "Gara!" sentaknya terkejut.   Gara terkekeh pelan menekan saklar lampu yang berjejer di dinding. "Kaget?" godanya menaik-turunkan alisnya.   Wajah Kisha merah padam karena marah dikejutkan seperti itu. "Nggak lucu, Gara!"   Gara menghentikan kekehannya mendekat ke arah Kisha. Sedangkan Kisha sudah menutup wajahnya karena rasa takut yang tiba-tiba merundunginya.   "Hei, Kisha... Bukan maksud aku," Gara berdiri di hadapan Kisha meraih tangan Kisha. "Kamu menangis? Ya ampun... Aku beneran minta maaf, Sha. Aku nggak maksud--"   Kisha tidak tahu mengapa dia sangat takut dengan kejadian barusan. Kisha merasa bahwa ia pernah mengalami hal mengerikan yang melibatkan suasana seperti tadi. Kisha melepaskan tangannya kemudian memeluk Gara erat. Kisha mencengkram erat kaos Gara menangis teredam dalam dekapan Gara.   "Aku takut, Gara..."   "Maaf. Aku tadi ngecek dulu saklar lampu kamar. Aku nggak tahu kalau kamu bakalan ketakutan gini. Aku minta maaf, ya?" suara Gara begitu lembut sarat akan rasa bersalah. Dan yang bisa Kisha lakukan hanya menganggukkan kepalanya.   ***   "Jadi kamarnya cuman ada satu dan itu di lantai atas?" tanya Kisha yang langsung diangguki olehnya. Kisha sudah lumayan tenang dan juga meminta maaf padanya karena terlalu berlebihan.   Kisha sedang membereskan dapur, ruang tengah dan rencananya kamar tidur. Namun alangkah malang telinganya yang harus mendengar pekikan nyaring Kisha yang terkejut saat dirinya memberitahu hanya ada satu kamar yang bisa dipakai dan itu hanya ada di lantai atas.   Villa kecil ini memang peninggalan kedua orangtuanya yang telah meninggal karena pembunuhan sadis yang dilakukan oleh pembunuh bayaran. Saat itu yang ada dalam pikiran Gara remaja adalah membalaskan kematian kedua orangtuanya. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa dibalas dengan nyawa. Begitu pikir Gara dulu.   Dengan berani Gara menghentikan pembunuh bayaran itu dan meminta untuk mengangkatnya menjadi anak buahnya. Semua tidak semudah yang dibayangkan. Nyatanya Gara harus menerima banyak siksaan yang membekas hingga saat ini. Gara memakai cara halus dengan mengikuti semua peraturan pembunuh itu sampai akhirnya Gara bisa melenyapkan pembunuh itu dan juga orang yang memerintahkan pembunuh itu melenyapkan kedua orangtuanya.   Dari sana Gara mulai merintis karirnya di dunia hitam. Gara menjual narkotika dari yang awalnya hanya untuk membayar iuran sekolah, sekarang berubah semakin pesat. Gara bukan lagi penjual. Melainkan pembuat, dan juga pengedar. Untuk urusan bagian bawah, dia sengaja mengerahkan anak buahnya.   20 tahun dia bergelut dengan kerasnya dunia hitam. Dan sekarang Gara sudah berusia 34 tahun. Gara berubah drastis. Dia tidak suka main perempuan. Dan sampai detik ini Gara juga masih perjaka. Terdengar seperti omong kosong memang, tetapi memang kenyataannya Gara melakukan itu semua hanya karena dendam semata yang malah membuatnya kecanduan dengan darah.   Gara menerima permintaan menghabisi musuh yang memerintahkannya dan setelah musuhnya lenyap, Gara akan melenyapkan juga yang memerintahkannya. Adil, bukan?   Seperti sekarang, Gara tidak akan melenyapkan Kisha, tetapi dia akan melenyapkan orang yang memerintahkannya melenyapkan Kisha.   Suara dering ponsel terdengar menghentikan Gara yang tengah asyik memandangi Kisha yang sibuk membersihkan lantai atas yang tidak lain adalah kamar.   Gara melihat layar ponselnya sekilas kemudian bergantian melirik Kisha. "Sha, ada yang telepon. Aku ke bawah dulu buat jawab teleponnya. Nggak masalah, kan?"   Kisha menoleh dengan kening yang mengerut dalam. "Ponsel kamu kok bisa terhubung. Aku menghubungi Dita berkali-kali susah banget," dumel Kisha tak terima.   Gara tersenyum lebar mengedik tak tahu. "Mungkin karena aku orangnya baik, jadinya semua itu selalu dilancarkan," jawabnya sekenanya.   Kisha mencebik. "Jadi menurut kamu, aku nggak baik begitu?"   Gara tertawa pelan. "Aku nggak ngomong begitu loh," ucapnya berkelit kemudian berlalu menuruni tangga saat Kisha siap melayangkan sapu lidi ke arahnya.   Sampai di bawah, Gara segera menjawab telepon dari anak buahnya.   "Ya?"   "Kami sedang membuntuti wanita yang bos bilang tadi."   Gara mengangguk menyeringai puas. "Bagus. Setelah tahu alamatnya, pastikan penyadap suara itu disimpan di kamarnya. Simpan juga penyadap suara di apartemen si banci itu, bagaimana pun caranya. Satu lagi, simpan di rumah Kisha. Di kamar Kisha dan juga adiknya. Pastikan semua beres dalam satu hari besok. Jangan sampai meleset," perintah Gara dengan nada datarnya dan juga manik abunya yang berubah begitu dingin.   "Baik, bos."   "Pantau terus. Jangan lengah."   "Siap, bos."   Sambungan terputus. Gara menggenggam kuat benda pipih itu. Senyum miring tersumir. Dia akan menciptakan drama yang tidak pernah terduga oleh mereka bertiga   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN