"Kok signal punyaku susah banget, yang kamu malah banyak banget," gerutu Kisha saat mendudukkan dirinya di sebelah Gara yang tengah menonton film layar lebar.
"Mau telepon siapa memang?"
Kisha melirik Gara sebal karena Gara lebih fokus pad filmnya. "Mau telepon Dita, Ga."
Gara hanya menganggukkan kepalanya pelan.
"Gara, ish!"
Gara mendesah pelan berbalik menghadap padanya. "Kenapa, Manis? Kamu lapar, ya?" tanya Gara begitu polos seolah dia tidak mendengar keinginan Kisha tadi.
"Gara... Aku serius," rengek Kisha hampir habis kesabarannya. "Dita pasti khawatir aku pergi sudah dua hari nggak ada kabar," ucapnya memasang wajah murung.
"Belum tentu," sahut Gara cuek.
Kisha merengut menatap sebal Gara yang malah berbalik kembali menonton film. Gara memang benar. Dirinya sangat betah di tempat ini, tetapi mengingat Dita yang pasti kesepian tidak ada dirinya membuatnya harus segera cepat pulang. "Ga," Kisha menarik lengan Gara mengguncangnya pelan.
Gara menoleh menatapnya datar. "Hem?"
"Kamu kok kayak nggak suka Dita? Padahal kamu tahu kalau Dita itu keluarga aku satu-satunya yang masih tersisa." Kisha sedang berusaha membujuk Gara agar membawanya pulang. "Besok antar aku pulang, ya? Lain kali kita kemari lagi?"
Gara memebenarkan posisi duduknya menghadap padanya menatapnya lekat, kemudian menangkup pipinya lembut. "Sekali kamu keluar dari sini, kamu celaka. Kamu dalam bahaya, Sha," ungkap Gara mengundang kerutan di keningnya.
"Dalam bahaya? Maksud kamu?"
Gara mengembuskan napas berat. "Cukup kamu melupakan kita dulu. Dan sekarang biarkan aku menjaga kamu sampai kamu benar-benar aman, ya?" bisik Gara lembut di depan wajahnya.
Kerutan di kening Kisha semakin dalam. Melupakan kita dulu? "Memang kita sebelumnya pernah bertemu?" pertanyaan itu malah dijawab dengan senyum getir dari bibir Gara. Apa dirinya melupakan sesuatu? Apa itu? Apa Gara masuk ke dalamnya?
"Gara..." Kisha menahan pergelangan tangan Gara yang akan menjauh. "Melupakan kita apa maksudnya?" Jantung Kisha berdebar. Dia merasa denyutan pedih dalam dadanya. "Gara..."
"Apa kita seorang teman dulu?"
Gara menatap nanar padanya tersenyum miring. "Kita lebih dari sekedar teman, Manis," jawabnya kemudian beranjak dari duduknya berlalu begitu saja.
Kisha memang merasa tidak asing dengan netra abu milik Gara. Tingkah laku selengean Gara pun tidak lepas dari bayangannya. Seolah-olah memang Gara sudah lama masuk dalam hidupnya. Kisha rasanya ingin menangis. Apa yang sebenaranya terjadi padanya?
***
Mata tajam Gara tak lepas memerhatikan Kisha yang duduk merenung di sofa. Jemarinya mencengkram kuat kayu pembatas. Bibirnya terkatup rapat, sementara rahangnya mengetat kuat.
Dering ponsel membuatnya melepaskan pandangannya pada Kisha. Gara segera menyingkir menuju balkon kamar untuk menjawab telepon.
"Ya?"
"Ada beberapa file yang sudah kami kirimkan via email mengenai perkembangan perintah bos."
"Lalu?"
"Wanita yang bernama Aira hamil dan dari kemarin dia menuntut pertanggung jawaban pada Pria yang bernama Ringga. Kami sudah menyadap titik-titik yang bos minta."
Gara menyeringai mendapatkan angin segar untuk menciptakan drama yang memukau.
"Habisi Aira dan buat sialan itu menjadi pelakunya. Bagaimana pun caranya. Buat mereka menderita."
"Baik, bos."
"Bagaimana perkembangan di rumah Kisha?"
"Sejauh ini tidak ada hal yang berkaitan dengan Nona Kisha."
Seringaian Gara semakin lebar.
"Bagus. Amankan berkas-berkas milik Kisha dan bawa padaku."
Gara langsung memutuskan sambungan telepon. Dia akan membantu Aira untuk menghabisi dirinya sendiri tanpa repot-repot harus bunuh diri atau aborsi.
"Lelaki pengecut seperti itu mana mau tanggung jawab," geramnya mendengkus sebal.
"Gara?"
Gara menoleh ke belakang mendapati Kisha tengah menatapnya gamang. "Ada apa?" Gara melangkah mendekati Kisha yang bergeming di ambang pintu. "Aku pikir kamu masih cari signal buat hubungin adik kamu," sarkasnya tak suka.
Jelas Gara tidak suka karena wanita itu sangat licik. Dia membuat rencana besar untuk menghancurkan Kisha. Tidak tahu saja mereka siapa Ex itu.
Ada untungnya Gara menyembunyikan identitasnya begitu ia menggeluti dunia bawah tanah ini. Gara bisa menghabisi lawannya tanpa mereka tahu. Makanya, saat si banci itu memberikan potret dirinya pada si Ex. Sungguh Gara ingin sekali tertawa keras mengejek si pengecut yang beraninya hanya memerintah orang lain untuk menghabisinya.
"Gara..."
"Ini," Gara menyodorkan ponselnya pada Kisha. "Pakai ponselku dan beritahu kalau kamu masih hidup sehat jiwa dan raganya," ucap Gara masih bernada sarkas.
Kisha menatapnya ragu. "Ambil ini Atau aku berubah pikiran? Setelah selesai menghubungi adikmu kita membuat roti kemudian melihat sunset nanti."
Manik cokelat gelap Kisha berbinar mengangguk antusias. Kisha langsung meraih ponsel yang disodorkan Gara. Tersenyum senang. "Makasih," ucapnya kemudian mengecup pipinya sekilas sebelum akhirnya berlalu dari balkon.
Gara tersenyum miring. "Saat kamu tahu siapa Dita sebenarnya. Aku yakin kamu pasti akan sangat terluka, Kisha."
Gara tidak khawatir ketahuan memberikan ponselnya pada Kisha, karena ponsel itu hanya ponsel biasa. Hanya digunakan untuk menelepon bukan untuk mengirim pesan dan lainnya.
Sejauh mana dua orang manusia laknat itu ingin menyakiti Kisha. Maka dirinya terlebih dahulu memberikan mereka rasa sakit yang tidak terampuni kesakitannya.