"Gimana tangan lo Sa?" Tanya Rendra sembari memperhatikan lengan Sabrina yang baru saja perban nya di ganti oleh suster.
"Gak papa." Balas Sabrina singkat.
"Serius? Kok bisa sih lo di serang orang-orang itu semalam?" Tanya Risky kali ni, menatap serius ke arah Sabrina yang duduk bersandar di kepala ranjang rumah sakit tersebut.
"Gue---"
"Sabrinnaaa!! Lo gak papa?!"
Semua orang yang ada di sana meringis dan memejamkan mata saat mendengar suata melengking milik Lisa tersebut.
"Duh!! Kebiasaan banget sih lo Lis teriak-teriak. Lama-lama b***k ni kuping guee!!" Kesal Risky.
"Ya elah snatai aja kali. Kalau kuping kalian kulitas bagus pasti gak bakalan rusak. Kayak Alya, 15 tahun ngedengerin suara gue. Kuping nya gak rusak-rusak. Ya gak Al?" Lisa tersenyum lebar sembari menyenggol lengan Alya.
"Mau gimana lagi. Di usir pun lo gak pergi-pegi." Dengus Alya, dan mengundang kekehan yang lain nya.
"Ya iyalah, orang Alya nyambung nya cuman sama lo! Nangis aja di pundak lo terus." Timpal Rendra.
"Nah iya. Mana bisa dia pisah dari gue. Ya gak Al." Lisa bersuara bangga.
Alya lagi-lagi mendengus, dan berjalan menuju ranjang Sabrina. "Suka-suka lo Lis. Sebahagia lo aja." pandangan nya lalu teralih pada Sabrina. "Gimana kondisi lo? Mendingan?"
Sarbina mengangguk singkat.
"Lo ya Sa, bikin orang panik tau gak. Untung aja Zeta bisa di cegat Malvin semalam biar gak ke sini."
Ucapan Alya lantas membuat Sabrina menoleh pada gadis itu. "Lo serius?"
Alya mengangguk, "Gevan ngasih tau Malvin."
Sabrina melirik sengit pada Gevan, menatap cowok itu dengan sorot mata membunuh. "Ember banger sih lo?!" Desi nya.
Gevan mendesah pelan, "Sorry, gue---"
"Kalau terjadi apa-apa, lo gak usah pakai ngasih tau Zeta segala. Gue gak mau dia---"
"Gak mau apa?"
Sabrina tertegun saat suara seseorang yang sangat di kenal nya hadir di ruangan tersebut. Dia menoleh ke arah ambang pintu, begitupun yang lain nya. Dia terdiam saat melihat Zeta berdiri di sana dengan tatapan dingin andalan nya. Di belakang Zeta ada Malvin yang merangkul pundak nya.
"Lo mau ngajararin orang buat bohong dari gue hah?!" Zeta berjalan mendekati ranjang Sabrina, mata nya tak lepas menatap gadis itu.
"Zi gue---"
Plak....
"Arrghh---"
"Zeta." Semua orang yang ada di sana terkejut saat Zeta tiba-tiba saja memukul pipi Sabrina yang di penuhi lebam, otomatis membuat gadis itu meringis. Bahkan ssmua yang ada di sana ikut meringis.
"Sakit Zi." Desis Sabrina menatap tajam ke arah teman nya itu.
Zeta mendesah, "Gak usah lebay! Itu tadi pelan banget. Nahan yang lebih parah dari itu aja lo bisa, masak di tabok segitu doang ngeringis. Kata nya jagoan!" balas nya santai.
"Ya tapi---lo lihat dong muka gue udah bonyok kayak gini. Malah lo tambahin!" Protes Sabrina.
"Nah iya---karna jtu. Enak muka babak belur kayak gitu? Nyawa lo ada berapa sih?" Zeta menatap kesal ke arah Sabrina.
"Satu lah." Bals Sabrina.
"Nah iya, karna nyawa lo satu lo harus pelihara tu nyawa. Kecuali nyawa lo sembilan, mati satu masih tinggal delapan! Kayak kucing." Desis Zeta sengit seraya mendorong kening Sabrina dengan jari telunjuk nya.
"Ya kali lo nyamain gue sama kucing." Gumam Sabrina.
"Justru karna lo emang gak kucing gak punya nyawa banyak." Balas Zeta.
Semua yang ada di sana terkekeh pelan melihat Zeta mengomeli Sabrina. Tak terkecuali Malvin yang kini berdiri di samping Gevan, dia hanya memperhatikan istri nya itu yang tengah mengomeli Sabrina.
"Iya iya. Lagian gue juga gak mau juga kayak gini." Gumam Sabrina.
Zeta menatap tajam pada Sabrina. Terakhir kali dia melihat Sabrina babak belur separah ini saat bertengkar dengan seorang cowok dulu, di jenjang SMP. Dia masuk uks, si cowok koma di rumah sakit.
"Kenapa lo bisa kayak gini? Lo cari masalah sampai di gebukin orang? Otak lo dimana? Di pake mangka nya!"
Sabrina menatap Zeta yang kini tengah menyidang nya, dia lalu melirik semua orang yang ada di sana yang tampak mengulum senyum. "Gak usah ketawa lo pada!!" Desis nya datar.
"Ehh--gue ngomong sama lo!!" Zeta menyentuh lengan kanan Sabrina, membuat gadis itu seketika terpekik.
"Aaa---Zi sakit!!"
Zeta yang melihat Sabrina meringis dan terpekik hebat, seketika terkejut. Dia langsung saja mengalihkan pandangan nya pada lengan Sabrina yang tertutupi baju rumah sakit.
"Lengan lo---"
"Iya Zi, lengan Sabrina kegores pisau orang-orang yang nyerang dia semalam." Alya memotong ucapan Zeta.
Zeta tidak bisa menyembunyikan ke kagetan nya. Dia lalu kembali menatap Sabrina. "Lengan lo sobek?" Tanya ny dengan nada khawatir kali ini.
Sabrina mengangguk pelan, seraya memegang lengan nya yang kembali terasa sedikit berdenyut.
"Sorry, gue gak tau lengan lo---"
"Gue gak papa Zi. Gak usah khawatir, bukan salah lo." Sabrina memotong suara khawatir Zeta.
Sementara Zeta melirik tajam ke arah Malvin, menusuk mata suami nya itu dengan tatapan tajam nya. Sedangkan Malvin yang di tatap seperti itu mengalihkan pandangan nya.
"Iiihhh!! Malvin!! Kamu ya bohongin aku!! Kata nya Sabrina gak luka parah!! Cuman babak beluar aja!! Ini lengan nya sampai sobek Malvin!!"
Zeta berteriak dan mencubiti perut Malvin sejadi-jadi nya. Malvin meringis dan berusaha menghindari cubitan Zeta.
"Sayang maaf. Iya aku salah. Itu supaya kamu gak khawatir lagi sayang." Ujar Malvin dan terus menghindari cubitan Zeta.
"Ayolo Malvin!! Terus Zi!! Cubit terus!!" Risky memprofokatori Zeta, sembari tertawa. Begitupun yang lain nya Ikut tertawa.
"Udah dong sayang. Sakit." Malvin memegangi tangan Zeta yang mrncubit nya. "Kan Sabrina nya juga baik-baik aja."
Zeta mendengus dan menghenpaskan tangan nya dari Malvin. Memasang wajah kesal nya.
"Mampus lo Vin! Gak dapat jatah lo ntar malam!! Bohongin istri!!" Celetukan Rendra semakin mengudang tawa yang lain nya.
"Puasa-puasa deh lo Vin!" Tanbah Risky.
"Diem lo!!" Gertak Malvin kepada kedua teman nya itu.
"Lo bener gak papa kan Sa? Kenapa lo bisa di serang sama mereka. Lo punya musuh hah?!" Zeta kembali menatap Sabrina kali ini lebih serius.
"Ck, gue gak tau Zi. Gue gak kenal sama mereka, mereka nyerang gue gitu aja." Balas Sabrina.
"Trus lo gak lawan?"
"Ya gue lawan lah. Cuman pas lengan gue ngeluarin darah banyak banget, tenaga gue mulai hilang." Gumam Sabrina, membalas tatapan Zeta.
"Lo juga sih Sa. Pakai acara pulang malam segala. Jalanan pasti sepi." Lisa bersuara.
"Nah iya. Ngapain sih lo pulang malam-malam?! Biasa nya kalau mau keluyuran malam lo ajak Zoya, atau gak Vinny. Ini kenapa sendirian?" Tambah Alya, ikut menatap intens pada Sabrina.
Sabrina melirik Gevan sekilas, "Gue---"
"Jangan tanya Sabrina nya Zi. Tanya Gevan nya." Semua mata langsung saja tertuju pada Zoya yang baru saja masuk.
Zeta mengerutkan dahi nya, lalu melirik Gevan. "Ngapain lo?"
Gevan hanya diam dan melirik ke arah Sabrina yang memasang wajah datar seperti biasa nya. Kini semua mata tertuju ke arah nya.
"Van jawab? Lo satu-satu nya orang yang semalam sama Sabrina kan?" Malvin angkat suara, mata nya tak lepas dari Gevan.
"Sabrina nganterin Gevan semalam." Zoya bersuara, karna Gevan yang hanya diam. Dia lalu menatap Zeta. "Karna itu dia pulang malam."
Gevan menggaruk kepala nya yang tidak gatal. Kini, Zeta menatap nya dingin dan tajam.
"Ya ampun Van!! Lo tu cowok, masak cewek yang nganterin sih?!" Rendra bersuara, dan ikut menatap Gevan.
"Tauk lo!! Harus nya lo yang nganterin Sabrina!!" Tambah Risky.
"Mobil gue rusak. Di bengkel!" Gevan untuk pertama kali nya bersuara. "Ya gue mana tau kejadian nya bakal kayak gini. Kalau gue tau, gue juga gak mau."
Sabrina menghela nafas nya, "Udah gak usah di perpanjang. Gue juga gak mati kan."
"Iya lo emang gak mati! Tapi hampir mati!" Desis Zoya, seraya melepaskan jaket kulit yang dia kenakan.
"Ya udah si. Mati tinggal di kuburin!"
Plakkk..
Jawaban santai Sabrina itu lantas menuai hadiah pukulan di kening nya dari Zeta. "Mulut lo!"
Sabrina menghela nafas nya dengan pandangan terus ke wajah Zeta yang tampak pucat di mata nya. "Lo sakit? Muka lo pucat gitu. Malvin nyiksa lo?" dia melirik Malvin dengan sebelah alis terangkat.
Malvin langsung saja memutar tubuh Zeta membalik ke arah nya. Benar saja, Zeta tampak pucat.
"Lo gak ngasih Zeta makan?" Zoya bersuara, ikut menatap Zeta yang memang tampak pucat dan lemas.
Malvin berdecak, dia lalu menarik tangan Zeta keluar ruangan Sabrina. "Mau kemana Vin?" Zeta mempertahankan kaki nya di samping ranjang Sabrina.
Malvin menatap lekat ke mata Zeta. "Makan! Kamu janji kan setelah ngelihat Sabrina kamu makan! Ya sekarang kan udah ngelihat Sabrina nya! Kamu harus makan!" tekan nya.
"Tapi---"
"Makan dulu Zi. Gue gak mau lo nemuin gue gak makan kayak gini." Sabrina bersuara. Bagi nya, kesehatan Zeta tetap prioritas utama, bagaimana pun kondisi nya.
Zeta mendesah, lalu membiarkan tangan nya di tarik keluar oleh Malvin. Jujur, sebenarnya dia juga sudah lapar.
Malvin menghentikan kegiatan makan nya, seraya melirik Zeta yang tidak menyentuh makanan nya lagi. Pandangan istri nya itu tampak lurus ke salah satu meja yang berada di dekat pintu masuk, memperhatikan sepasang manusia yang tengah makan di sana.
"Hey! Lihatin apa sih? Di makan sayang makanan nya." Malvin mengusap puncak kepala Zeta.
Malvin berdecak pelan saat Zeta tidak mendengarkan ucapan nya. "Kamu lihatin apa sih sampai gak makan kayak gini? Apa menarik nya pasangan di ujung situ?" ujar nya kesal.
Zeta melirik Malvin seraya tersenyum tipis, "Kamu lihat dong itu cewek yang di sana, dia hamil deh kayak nya."
Malvin mengikuti arah telunjuk Zeta, "Ya iya lah sayang, kamu gak lihat perut nya buncit gitu."
"Aku mau deh kayak gitu."
Malvin spontan menatap Zeta yang tampak tersenyum lebar nan begitu manis di mata nya. Dia menaikkan sebelah alis nya, lalu mengelus pipi Zeta dengan lembut. "Oya? Emang kamu gak takut gendut?"
"Enggak dong. Kayak nya seru aja kalau hamil, habis itu ngidam, habis itu ngelahirin, punya baby yang lucu." Zeta menatap Malvin dengan mata berbinar, seraya merapatkan kedua tangan nya di d**a, menunjuk kan ekspresi senang nya.
Malvin ikut tersenyum, dan mengecup pipi Zeta. "Aku pikir kamu gak mau punya anak."
"Ck, apaan sih? Aku mau tau. Tau gak aku sering ngebayangin kalau aku jadi ibu muda, pasti seru." Ujar Zeta bersemangat.
Malvin terkekeh dan mencubit gemas pipi istri nya itu. Lalu mendekatkan wajah nya ke arah Zeta, membuat ujung hidung mereka bertemu. "Kita harus berusaha lebih kuat lagi. Nanti malam kita main lagi." Bisik Malvin seraya mengedipkan sebelah mata nya.
Zeta mengulum senyum nya, bisikan Malvin sukses membuat semburat merah hadir di wajah nya. Di dorong nya wajah Malvin, lalu di sembunyikan nya wajah nya di kedua telapak tangan. Hal itu sukses membuat Malvin terkekeh, melihat aksi gemas Zeta.
"Kamu kenapa hey? Udah sering juga, masih aja malu-malu gemes gitu." Malvin mencolek-colek pipi Zeta, dengan sesekali mengelus nya.
"Ihhh kamu mah, doyan banget godain aku nya." Ujar Zeta di balik telapak tangan nya.
"Kamu ngomong apa sih? Gak kedengeran sayang, di buka dong tangan nya. Aku mau lihat muka kamu nih."
Malvin menarik tangan Zeta hingga terlepas dari wajah istri nya itu, di tatap nya lekat mata Zeta dengan senyuman yang tidak luntur di wajah nya. Dia bisa melihat dengan jelas semburat merah di sana.
"Aku yakin nanti kalau kita punya anak, gemes nya pasti kayak kamu." Ujar Malvin begitu manis, tangan nya tidak berhenti mengusap kepala Zeta.
Zeta tidak bisa menyembunyikan senyum nya, saat Malvin menatap nya begitu lembut. Di sandarkan nya kepala nya di lengan Malvin, sembari tangan kekar itu mengelus pipi nya.
"Kamu makan lagi ya." Malvin meraih sendok di piring milik Zeta.
"Aku kenyang Vin. Kita ke kamar rawat Sabrina aja lagi yuk." Ucap Zeta.
"Ya udah, habisin minum nya. Aku bayar dulu ya."
Zeta mengangguk, lalu menghabiskan jus strowberry nya sembari Malvin membayar makanan mereka. Zeta baru saja bangkit dari posisi duduk nya, bertepatan dengan seseorang tanpa sengaja menyenggol lengan nya cukup kuat.
Zeta terhuyung ke samping, dia nyaris terjatuh ke lantai kalau saja tangan nya tidak di tahan oleh seseorang. Zeta memutar kepala nya, mata nya langsung saja bertemu dengan pemilik tangan kekar yang menahan tangan kanan nya. Dia terdiam saat pemilik mata elang itu menatapi nya lekat.
"Hai mantan---terindah." Cowok bersetelan santai itu tersenyum sembari menaikkan sebelah alis nya.
"Juna." Zeta bergumam, dengan pandangan tidak percaya.
Juna yang melihat wajah cengo Zeta terkekeh pelan, dan mencubit pipi itu dengan gemas. Membuat Zeta terpekik pelan. "Ngelamun aja sih. Kenapa? Kaget lihat aku di sini?"
Zeta mengangguk dan memasang wajah polos nya. "Kok bisa?"
"Ya bisa dong sayang. Emang Indonesia punya kamu aja?" di usap nya puncak kepala Zeta dengan lembut.
Zeta berdecak dan menyingkirkan tangan Juna dari kepala nya. "Apaan sih? Jangan panggil gitu dong. Kita kan udah---"
"Udah apa? Udah mantan? Emang, tapi mantan terindah."
Jawaban santai Juna membuat Zeta tidak bisa menutupi kegugupan nya. Sudah cukup lama dia tidak bersitatap muka dengan cowok ini, terakhir saat di rumah sakit waktu dia di vonis lumpuh. Setelah itu, dia tidak bertemu lagi dengan Juna. Malvin mengatakan bahwa cowok ini pindah ke London.
"Serius Juna, kamu kok ada di sini?" Tanya Zeta tanpa mengalihkan pandangan nya dari Juna.
"Kamu ngapain di sini? Kita ketemu lagi loh, mana tau jodoh." Goda Juna sembari mengedipkan sebelah mata nya.
Zeta memutar bola mata nya malas. "Sabrina di rawat di sini."
"Sabrina bisa sakit?" Tanya Juna menaikkan kedua alis nya.
"Dia habis di gebukin orang kemarin. Tapi gak tau siapa. Atau jangan-jangan---" Zeta menyipitkan mata nya ke arah Juna.
Juna yang melihat itu tersenyum dan kembali mencubit pipi Zeta. "Kamu nuduh aku? Buat apa sih aku ngelakuin itu."
"Ya mana tau." Gumam Zeta pelan.
Juna tidak bisa menyembunyikan senyum nya, walau hanya senyuman tipis. Mata nya tidak beralih menatap dalam ke arah Zeta. Rasa nya sudah begitu lama dia tidak bertemu dengan gadis di depan nya ini. Juna tidak bisa berbohong, bahwa pesona Zeta masih begitu melekat di mata nya.
"Kamu sendiri di sini? Kamu udah gak sama Malvin lagi? Atau---"
"Kenapa kalau dia udah gak sama gue lagi? Trus kenapa juga kalau dia masih sama gue?"
Juna dan Zeta sama-sama menoleh ke asal suara dingin tersebut. Zeta tersentak sata melihat Malvin kini sudah berdiri berhadapan dengan Juna dnegan tatapan dingin nan tajam. Sementara Juna, mengukir senyum miring nya dengan mata tak kalah dingin dari Malvin.
"Malvin! Udah lama ya kita gak ketemu." Juna bersuara seraya menghela nafas nya.
Malvin hanya diam dengan pandangan tak lepas dari Juna.
"Ck, santai Vin, lo gak usah natap gue kayak gitu. Gue cuman nanya, kalau Zeta masih sama lo ya syukur. Kalau enggak, juga lebih syukur." Balas Juna dengan santai.
Sebelah tangan Malvin yang berada di dalam saku celana terkepal. Sedikit banyak nya, ucapan Juna mampu memancing emosi di dalam diri nya. "Buat apa lo di sini? Lo pasti udah dengar status Zeta itu sekarang apa." dia bersuara dingin.
Juna menarik nafas nya sejenak, dan memasukkan kedua tangan nya ke dalam saku celana, mata nya lalu teralih ke arah Zeta. "Hanya sekedar bernostalgia dengan mantan. Sekaligus, bertemu dengan mitra kerja."
Mvin mengerutkan dahi nya, dia seketika mengingat sebuah nama yang tertera dari dokumen kantor yang beberapa waktu lalu dia baca. "Lo---lo yang pegang perusahaan JN COMPANY?"
Juna tersenyum simpul ke arah Malvin. "Salam kenal CEO RN Group. Gue gak nyangka ternyata lo yang pegang perusahan RN sekarang." dia mengulurkan tangan nya pada Malvin.
Malvin tidak membalas uluran tangan tersebut, tangan nya justru meraih pergelengan tangan Zeta, namun tatapan nya masih dingin pada Juna.
Zeta yang melihat situasi mulai memanas, memegang lengan Malvin, guna meredakan emosi yang dia tau kini telah menguasai diri Malvin.
"Gue batalkan kerjasama perusahaan kita." Ujar Malvin dingin, dan membuat wajah Juna berubah datar.
"Vin apaan sih? Jangan dong!" Zeta menahan tangan Malvin yang siap membawa nya pergi. "Juna itu tadi cuman nolongin aku, tadi itu---"
Suara Zeta teredam saat tatapan dingin Malvin menghujami mata nya. Dia perlahan menunduk dan tidak bersuara.
"Lo tenang aja Vin, hubungan kita hanya sebatas kerjasama perusahaan. Dan Zeta---" Pandangan Juna tertuju pada Zeta. "---Dia cuman masa lalu gue." Lirih nya.
Malvin menyeringai ke arah Juna, "Entah itu masa lalu atau enggak. Gue gak peduli. Gue tegasin sama lo, jangan pernah melewati batas lo." Ujar nya dingin, setelah itu menarik tangan Zeta keluar dari kantin tersebut.
Juna terdiam dan pandangan nya mengikuti langkah sepasang manusia itu keluar dari kantin.