"Sa kata Vinny nanti dia bakal ke sini bentar lagi. Lo gak papa kan kita tinggal." Alya bersuara, sembari menatap Sabrina yang duduk bersandar di atas ranjang.
Sabrina hanya mengangguk pelan, pandangan gadis itu tertuju pada layar ponsel.
"Bener?! Si Zoya tadi mana sih? Ngilang aja." Lisa ikut bersuara.
Sabrina mengangkat kepala nya, mata datar nya lalu menatap Lisa dan Alya bergantian. "Udah sih santai aja, gue juga udah mendingan. Sana cabut!"
"Duh Sa gue kalau gak ada kuis sekarang, gue pasti enemnin lo." Ujar Alya.
"Sama, gue juga kalau bukan permintaan Nyokap suruh ke cafe, gue pasti nemenin lo di sini." Ujar Lisa.
Sabrina mendesah pelan, "Ya udah sana cabut!"
"Kita pergi ya."
Sabrina mengangguk dan menatap punggung Alya dan Lisa yang menghilang di balik pintu. Kini di ruangan ini hanya tinggal dia seorang diri, di temani dengan televisi yang menyala. Sabrina mengarahkan pandangan nya ke luar jendela, menatap taman yang di penuhi oleh pasien-pasien juga suster di sana.
"Makan dulu Sa. Trus minum obat lo."
Suara itu membauat pandangan Sabrina teralih, dia langsung saja menemukan Gevan yang sudah duduk di kursi samping ranjang nya, dengan membawa sebuah kotak yang dia yakin berisi makanan.
"Lihatin gue gak akan bikin lo kenyang." Ujar Gevan seraya mengangkat kepala nya, mata nya langsung saja bertemu dengan Sabrina.
Sabrina masih memperhatikan mata Gevan yang entah kenapa terlihat beda. "Lo kenapa? Muka lo murung gitu." Ujar nya dingin.
Gevan terdiam sesaat, tangan nya yang tadi mengarahkan sendok ke mulut Sabrina seketika turun begitu saja. Dia lalu mengalihkan pandangan nya ke arah lain. "Gue---gue minta maaf."
Sabrina mengerutkan dahi nya, "Kenapa?"
"Zoya bener ini gara-gara gue. Harus nya semalam, gue gak minta lo untuk nganterin gue." Gumam Gevan dengan kepala sedikit mennduk.
Sabrina masih diam dengan pandangan terus tertuju pada Gevan.
"Coba aja semalam lo gak nganterin gue, pasti kejadian nya gak kayak gini." Lirih Gevan, bahkan tidak berani menatap mata Sabrina.
Sabrina tersenyum miring, senyum yang terlihat samar. "Lo bisa merasa bersalah juga?"
Gevan diam, dan itu membuat Sabrina berdecak. "Udah lah Van, semua udah terjadi, penyesalan lo gak akan bikin lengan gue yang sobek tiba-tiba sembuh gitu aja." Ujar Sabrina seraya mendesah pelan.
Gevan masih saja diam, seperti nya dia benar-benar di kuasai rasa bersalah.
Sabrina lagi-lagi mendesah, lalu meraih sebelah tangan Gevan, baru lah cowok itu menoleh ke arah nya. "Gue malas lihat lo kayak gini. Bukan nya lo yang bilang kalau gue itu cewek jadi-jadian?"
Gevan hanya diam, mata nya terkunci oleh sorot mata milik Sabrina. "Hal kayak gini aja belum seberapa buat gue." Lanjut Sabrina. "Jadi jangan mengasihani gue, apalagi mengasihani diri lo sendiri."
Gevan benar-benar tertegun dengan ucapan Sabrina, di tambah gadis itu tidak melepaskan tangan nya, membuat jantung nya semakin berdetak cepat.
Untuk sesaat ruangan itu hening dan hanya sorot mata kedua nya lah yang berbicara. Sampai deheman seseorang terdengar, membuat kedua nya tersadar.
"Eheemm---"
Gevan dan Sabrina menarik tangan mereka bersamaan dan memoleh ke sumber suara. Di ambang pintu sana, sudah berdiri Vinny dengan memasang wajah dingin seperti biasa.
"Gue cabut dulu." Gevan berdiri dari duduk nya, dan meletakkan kotak makanan yang di bawa nya tadi di atas nakas, lalu berlalu meninggalkan kamar rawat tersebut.
Sabrina berusaha menetralkan nafas nya yang mendadak tidak beraturan saat bersama Gevan tadi. Sampai pandangan nya tertuju pada Vinny yang sudah berdiri di samping nya.
"Apa?" Tanya Sabrina datar, karna Vinny yang terus menatap nya.
Vinny menarik nafas nya sejenak dan melepaskan jaket kulit yang dia pakai. "Enggak. Gimana kondisi lo? Sorry gue baru dateng. Nyokap minta di supiran lagi."
Sabrina terkekeh pelan, "Cari aja supir buat nyokap lo!"
"Ck, come on Sa, dia mintan stock brondong."
Jawabna malas Vinny membuat Sabrina tertawa pelan. Tawa yang sangat jarang terdengar di depan umum.
"Sa---" Vinny menatap serius pada Sarbina. "Lo gak tau siapa yang nyerang lo semalam?" Tanya nya dengan nada serius.
Sabrina terdiam, benak nya kembali memutar kejadian semalam. Tujuh orang itu menggunakan topeng muka, dia tidak bisa melihat wajah mereka sedikit pun.
"Kejadian ini, sama persis dengan dulu waktu lo masih kelas 2 SMP. Right?"
Ucapan Vinny lantas membuat Sabrina menoleh pada gadis itu. Tampak Vinny menaikkan sebelah alis nya. Ya, Vinny benar, dia baru sadar jika kejadian ini sama persis dengan kejadian 7 tahun lalu, dia juga pernah di keroyok orang hingga kaki nya mengalami cidera parah waktu itu.
"Itu udah lama banget Vin." Sabrina bersuara pelan.
"Iya. Tapi kenapa terulang lagi? Lo rasa ini dejavu gak sih? Gak berniat nyari siapa dalang di balik p*********n semalam?" Vinny menaikkan sebelah alis nya.
Sabrina terdiam sejenak, "Ini baru yang pertama----"
"Dan akan ada yang kedua, ketiga, keempat----sampai nyawa lo melayang." Potong Vinny sengit, dia lalu mengeluarkan ponsel nya dan memberikan nya pada Sabrina.
Sabrina meraih ponsel itu dengan begitu banyak pertanyaan di kepala nya. Dia lalu menatap layar tersebut yang menampilkan sebuah foto, seingat nya itu adalah mobil yang menghalangi nya kemarin malam.
"Lo harus hati-hati. Ini di sengaja, siapa pun orang di balik ini, yang jelas dia orang yang sangat mengenal lo."
Sabrina mengangkat kepala nya, mata nya langsung saja bertemu dengan mata dingin Vinny. "Lo gerak cepat banget."
Vinny tersenyum miring, "Gue gak mau, kita kecolongan kayak kasus Zeta dulu, sampai akhir nya membuat lo dan Zeta meregang nyawa di rumah sakit." ucap nya dengan penuh penekanan.
"Ck, gimana sih lo Van? Cuarang lo! Harus nya di sini!" Zoya memprotes dan memindahkan bidak milik Gevan mundur dari posisi awal.
"Bener itu Zoy! Lo bisa ngitung gak sih?" Gevan kembali memindahkam bidak nya ke tempat semula.
Sabrina mengusap rambut nya dengan gusar, lalu menatap kepada dua manusia yang sejak tadi ribut hanya karna memainkan monopoli. Dia lalu merubah posisi berabring nya menjadi duduk bersandar.
"Van---udah bener di situ lo mah gimana sih?"
"Di sini yang bener Zoy."
"Tapi bener di sini, lo masuk penjara Gevan."
"Enggak, di sini yang bener."
"Lo curang."
Sabrina mendesah kasar mendengar perdebatan tersebut. Dengan kesal di lempar nya tutup gelas yang ada di atas nakas, ke arah meja tempat Zoya dan Gevan bermain monopoli.
"Woiii!! Berisik lo berdua!!"
Prang..
Gevan dan Zoya terperanjat saat tutup gelas besi itu mendarat sempurna di tengah-tengah monopoli mereka.
"Yahh!! Elo kenapa sih? Tuh lihat berantakan kan?!" Protes Zoya.
"Tauk Sa. Gak tau bentar lagi gue menang itu." Gevan ikut memprotes.
Sabrina mendesah kasar dan menatap tajam kedua nya. "Udah sana ah! Pada pulang lo berdua!! Berisik tau gak, gimana gue bisa tidur kalau suara lo berdua berisik mulu!" Ketus nya.
Gevan dan Zoya saling pandang satu sama lain. "Ya udah suruh dia aja tuh yang pulang." Ujar Gevan sembari menunjuk Zoya.
"Eh lo yang pulang! Gue tetap di sini." Balas Zoya menunjuk Gevan.
"Lo dong Zoy, besok lo kuliah."
"Elo Gevan. Lo juga kuliah."
Sabrina mendengus dan menjatuhkan kepala nya ke kepala ranjang. Lama-lama dia berada di tengah manusia tidak berguna itu dia bisa pusing tujuh keliling.
"Udah deh lo berdua balik. Gak usah ada yang di sini." Ujar Sabrina seraya menghela nafas nya pelan. "Lo pulang Van! Lo juga pulang Zoy."
"Sa, kalau gue balik, siapa yang jagain lo di sini. Gue---"
"Gue gak perlu di jagain! Udah deh gak usah pada lebay lo berdua." Sabrina memotong suara Gevan. Dia lalu menatap mata cowok itu. "Lo udah dari kemarin malam nemenin gue Van. Pulang sana! Istirahat!" suara nya berubah pelan.
Gevan diam dengan pandangan tertuju pada Sabrina. Sampai Zoya mendorong lengan nya. "Tuh denger! Lo di suruh pulang." dia lalu melirik sinis ke arah Zoya yang menaik turunkan alis nya.
"Lo juga!!" Semprot Sabrina ke arah Zoya, yang seketika membuat Zoya mendengus, sementata Gevan tertawa pelan.
"Kok lo jadi ngusir gue sih Sa. Gak papa lah gue di sini, gue gak akan kenapa-kenapa, lo gak usah mengkhawatirkan kesehatan gue." Balas Zoya memasang wajah polos nya.
"Geer tingkat setan lo! Siapa yang khwatir sama lo! Peduli amat gue sama apa yang terjadi sama lo!" Timpal Sabrina santai.
Zoya menatap menggoda pada Sabrina. "Oh jadi cerita nya lo nyuruh Gevan pulang, karna khwatir dia kenapa-kenapa?"
Ucapan Zoya lantas menhuat Sabrina terdiam, dia melirik singkat pada Gevan lalu mengalihkan pandangan nya ke arah lain. Seperti nya dia salah bicara.
"Van tuh dia khawatir sama lo!" Zoya mencolek lengan Gevan yang juga tampak salah tingkah, sama seperti Sabrina. Ekspresi kedua nya lantas membuat Zoya tertawa. "a***y!! Gue geli ngelihat ekspresi kalian!! Malu-malu kucing! Tapi asli nya mau!!" Dia semakin gencar menggoda kedua nya.
Sabrina yang kesal melempar bantal nya ke arah Zoya, dan tepat mendarat di kepala gadis itu. "Berisik lo! Sana balik!!" Teriak nya.
Zoya masih saja tertawa, tidak takut sama sekali dengan gertakan Sabrina. Senentara Gevan hanya diam dengan pandangan tertuju pada Sabrina. Dia lalu berdehem, dan bangkit berdiri.
"Ya udah gue balik dulu. Kalau ada apa-apa, lo telfon gue ya." Ujar Gevan tanpa memutus pandang nya dari Sabrina.
Sabrina mengangguk samar, tanpa melirik Gevan. Jujur, sebenarnya dia menyembunyikan kegugupan yang kembali datang. Tidak, dia tidak boleh memiliki perasaan kepada Gevan. Tidak boleh.
Gevan tersenyum singkat dan mengusap puncak kepala Sabrina, sebelum akhir nya berlalu keluar ruangan tersebut setelah memberikan tatapan membunuh pada Zoya yang masih saja tersenyum menggoda ke arah nya.
"Cie Sabrina jatuh cinta. Jagoan nya PopGirl jatuh cinta!" Zoya kembali menggoda Sabrina setelah hanya tinggal mereka berdua di dalam ruangan itu.
Sabrina hanya diam, tidak menanggapi godaan Zoya.
"Apa kabar sama motto hidup lo yang gak mau punya cowok itu hm? Gevan cocok tau sama lo, respon baik kek. Ini enggak jutek amat lo!" Zoya berpindah duduk di samping ranjang Sabrina.
Sabrina berdecak malas, "Apaan sih lo? Gak jelas!"
"Membohongi perasaan sendiri tu gak baik Sa." Ujar Zoya sok bijak.
Sabrina menatap Zoya seraya menyeringai. "Oya? Trus apa kabar sama lo yang membohongi perasaan lo terhadap---aww!! Sakit b**o!!" Suara Sabrina berubah menjadi ringisan saat Zoya mendorong kepala nya hingga membentur kepala ranjang dengan kuat.
Zoya menatap datar pada Sabrina. "Mulut lo tuh! Asal ngomong!"
"Lah kan emang bener! Lo itu membohongi perasaan terhadap---"
"Gue bogem lo Sa ngomong sekali lagi!" Zoya menunjukkan kepalan tangan nya di depan wajah Sabrina, yang seketika membuat Sabrina tertawa.
"Kok jadi lo yang galak dari gue sih?" Ujar Sabrina.
"Karna otak lo tu mulai somplak setelah di gebukin!" Zoya memukul pelan kepala Sabrina dengan jari telunjuk nya.
"Udah sana pulang ah! Gue mau istirhat!" Usir Sabrina, seraya merubah posisi nya menjadi berbaring, meringis saat lengan kanan nya kembali berdenyut.
Zoya membantu Sabrina berbaring, "Istirahat aja kali! Gue juga gak bakal ganggu."
"Ya lo ngapain di sini? Mending lo pulang! Tidur! Besok kuliah."
"Gue kan mau jagain lo Sa."
"Alah! Sok manis lo!" Cibir Sabrina membuat Zoya terkekeh. "Bilang aja lo menghindari omelan tante lo! Biar bisa bolos kan lo besok! Mangka nya lo jadiin gue kambing hitam nya."
Zoya tersenyum lebar dan mengacak rambut Sabrina. "Lo tu emang pinter banget! Gak salah gue jadiin lo temen Sa."
"b*****t!" Gumam Sabrina, dan kembali membuat Zoya tertawa.
"Lagian ya Sa, kalau lo sampai di serang orang lagi gimana? Yang ada lo langsung ko id kalau gak ada gue."
"Serah lo deh Zoy. Yang enak di elo aja." Desah Sabrina sembari memejamkan mata nya.
Sementata Zoya tersrnyum tipis dan mengusap kepala Sabrina sebentar. Sebelum akhir nya berbaring si sofa dekat ranjang tersebut, mengistirahatkan diri nya yang seharian ini lelah karna dipenuhi jadwal tes drive motor nya, sebelum balapan final tiga bulan lagi.
Sabrina membuka mata nya, lalu melirik Zoya yang sudah tertidur di sofa. Ck, gadis itu memang mudah tertidur.
Zeta menuruni tangga dengan perlahan, mata nya langsung saja tertuju pada Malvin yang tampak duduk di atas kursi tengah berkutat dengan laptop nya. Sejak pulang tadi siang, Malvin mendiami nya.
"Malvin." Zeta menjatuhkan b****g nya di samping Malvin. Lalu menatap suami nya itu yang masih belum menggubris panggilan nya.
"Malvin kamu sibuk ya?" Tanya Zeta, kali ini ikut menatap ke arah laptop yang menyala memperlihatkan ada tulisan di sana. Seperti nya skripsi Malvin.
Malvin masih belum menggubris Zeta, dia masih memfokuskan pandangan nya ke layar laptop.
"Malvin! Kamu kok nyuekin aku sih? Sibuk banget ya." Zeta bergumam pelan dengan wajah di tekuk, tangan nya meraih lengan Malvin dan menggoyang-goyang kan nya.
"Malvin jawab dong. Kamu marah ya sama aku?"
Malvin masih diam, bahkan tidak melirik Zeta sama sekali. Tangan nya sibuk mengetik di atas keyboard laptop.
Zeta berdecak kesal dan menjatuhkan kepala nya di paha Malvin, mengangkat tangan cowok itu hingga berada di atas bahu nya. Dengan seperti ini Zeta bisa melihat wajah Malvin dengan jelas. Namun sayang, Malvin masih mengabaikan nya dan terus fokus ke layar laptop.
"Malvin jawab dong! Kanu mah diemin aku dari tadi siang. Kamu marah sama aku? Ya udah aku minta maaf kalau gitu." Zeta kembali bersuara dan menatap mata Malvin, tangan nya terangkat menyentuh rahang kokoh suami nya itu.
"Malvin! Jawab dong. Malvin." Zeta mulai mencolek-colek dagu Malvin.
Malvin berdecak dan memundurkan wajah nya dari jangkauan Zeta. "Ck, apaan sih?! Ganggu banget!!" Ketus nya.
Zeta menjatuhkan tangan nya, menatap kesal ke arah Malvin yang membentak nya barusan. Dia spontan bangkit dari berbaring di paha Malvin.
"Gak usah ngebentak bisa kali!" Balas Zeta ketus, dan bangkit berdiri.
Malvin yang melihat itu mengusap gusar wajah nya. Dia tidak bermaksud membentak Zeta. Dengan cepat di tarik nya tangan Zeta hingga jatuh ke pangkuan nya.
"Maksud aku gak gitu sayang. Hey! Maaf aku gak bermaksud bentak kamu sayang." Malvin memeluk Zeta, mengabaikan pemberontakan Zeta yang berusaha mendorong tangan nya.
"Apaan sih?! Lepas!! Bukan nya aku ganggu!! Ya udah sekalian aja aku pergi dari sini!!! Kapan perlu dari rumah ini!!!" Zeta bersuara kesal dan terus berusaha melepaskan pelukan Malvin.
"Jangan dong sayang! Aku minta maaf, aku gak bermaksud gitu. Kamu denger dulu dong sayang." Malvin semakin mengeratkan pelukan nya di pinggang Zeta. Hingga istri nya itu berhenti membetontak.
Malvin menjatuhkan dagu nya di pundak Zeta, posisi nya kini tengah memeluk Zeta dari belakang yang duduk di pangkuan nya. Di kecup nya ceruk leher istri nya itu. "Maaf ya. Kamu gak ganggu kok." Bisik nya serak, dan mengecup pipi Zeta lama.
Zeta masih memasang wajah kesal nya, sampai Malvin memutar tubuh nya menjadi berbaring di atas pangkuan cowok itu dengan lengan Malvin sebagai bantalan nya. Seperti seorang ibu yang sedang memangku anak nya.
Zeta terkunci oleh tatapan mata Malvin yang begitu lekat menatap nya. Sesekali dia memejamkan mata nya saat Malvin mengecup bibir nya dengan rakus, lalu berpindah ke ceruk leher nya, lalu ke seluruh area wajah nya. Tak jarang Malvin meninggalkan gigitan ringan di pipi nya. Kelakuan Malvin itu membuat Zeta terkekeh karna merasakan geli.
"Maaf ya, aku gak bermaksud nyuekin kamu, aku cuman kesel aja." Ujar Malvin seraya membelai rambut Zeta yang sedikit menutupi wajah istri nya itu.
"Kesel kenapa?" Tanya Zeta, tanpa merubah posisi nya.
Malvin menarik tubuh Zeta, hingga tubuh Zeta menempel sempurna di dads bidang nya dengan kedua kaki yang melingkari pinggang Malvin. Persis seperti seorang anak yang menempel pada ayah nya. Kepala Zeta jatuh di atas pundak Malvin.
"Kamu bikin aku cemburu Zi. Plus, takut." lirih Mavin sembari mengusap punggung Zeta dengan lembut.
Zeta mengangkat kepala nya dan menatap wajah di depan nya. "Juna?" Tanya nya, saat sadar kemana arah pembicaraan Malvin tadi.
Malvin menangkup wajah Zeta, dan menatap mata itu lembut. "Gak salah dong aku takut perasaan kamu ke Juna tunbuh lagi? Atau Juna yang belum bisa move on dari kamu Zi, aku bisa lihat itu di mata Juna ssat dia natap kamu."
Zeta menghela nafas nya, lalu memegang tangan Malvin yang ada di pipi nya. "Malvin. Kamu tu berlebihan, gak mungkin lah aku kayak gitu. Lagian kita udah lama gak ketemu gak mungkin perasaan Juna masih sama."
"Bisa jadi. Dia kan cinta mati sama kamu. Kamu gak inget dulu gimana dia berusaha rebut kamu dari aku?" Malvin bersuara cepat, kali ini terlihat kilatan emosi di sorot mata nya.
Zeta terdiam menatap mata Malvin. "Zi, cowok kalau udah kecintaan sama cewek dia pasti ngelakuin apa pun buat dapetin hati cewek itu lagi. Dan Juna tadi---"
"Vin itu tadi cuman sapaan biasa." Ujar Zeta.
"Dan kamu merespon baik sapaan itu." Desis Malvin.
Zeta mendesah pelan, "Cemburu kamu berlebihan tahu gak. Tadi itu cman---"
"Berlebihan kamu bilang? Kamu pikir aku bisa santai gitu aja saat istri aku ketemu dan berinteraksi sama mantan nya? Kamu gak pernah lihat berita apa, kalau sekarang banyak pebinor hah?!"
Zeta memasang wajah cengo nya mendengar ucapan Malvin. "Pebinor? Bukan nya pelakor?" tanya nya polos.
"Gak! Pebinor sekarang juga lagi hits!!" Ucap Malvin cepat, memasang wajah kesal nya.
Zeta manggut-manggut, "Oh, aku baru tau." Gumam nya pelan, sedikit menunduk berusaha mencerna ucapan Malvin tadi.
"Sayang!! Lihat aku dong!" Zeta terkejut saat Malvin menangkup wajah nya dengan cepat dan cukup kuat. "Pokok nya aku gak mau lihat kamu ketemu sama Juna lagi!" Tekan nya menatap intens ke mata Zeta.
"Ihh Malvin." Zeta melepaskan tangan Malvin di wajah nya. "Siapa yang ketemu sih? Tadi itu cuman gak sengaja, kebetulan Malvin. Kamu aja yang cemburu nya lebay, orang cuman sapaan biasa aja." Balas nya menatap Malvin dengan kerutan di dahi nya.
"Tetap aja Zi. Dari mata jatuh ke hati. Atau sekalian aja aku batalin kerjasama dengan perusahaan Juna. Biar sekalian---hmmp."
Zeta membekap mulut Malvin dengan tangan nya. "Gak boleh! Profesional dong Vin, masak masalah kayak gini doang kamu mau snagkut pautin sama kerjaan! Gak usah lebay deh!! Aku aja yang ngelihatin kamu di grepe grepe sama sekretaris kamu itu, aku biasa aja!! Gak aku suruh kamu pecat kan!!"
Malvin melpaskan tangan Zeta di tangan nya. Menatap kesal pada istri nya itu. "Siapa yang di grepe-grepe? Sembarangan kamu! Dia aja yang kegatelan sama aku! Yang penting aku gak ngerespon dia kan?! Gak kayak kamu yang malah ngerespon MANTAN kamu itu!" Ujar nya kesal, dan menekankan kata mantan.
Zeta mencubit pipi Malvin dengan kencang. "Kan cuman ngomong Malvin!!" Geram nya.
"Tetep aja gak boleh!"
"Trus kalau dia ngomong aku diemin gitu?! Di kira sombong dong!"
"Yang penting gak usah di respon!"
Zeta memutar bola mata nya malas. "Dasar cemburuan!" ketus nya.
"Biarin! Nama nya juga sayang." Gumam Malvin pelan, dan membelai rambut Zeta. "Cemburu itu tanda nya takut kehilangan Zi. Aku gak mau kehilangan kamu, ngertiin perasaan aku kek."
Zeta menatap Malvin yang menekuk wajah nya. Dia tidak bisa menyembunyikan senyum geli nya melihat ekspresi Malvin yang begitu lucu di mata nya. Ternyata cowok berbadan kekar, muka sangar, bisa kayak gini ya.
Zeta menangkup wajah Malvin, membuat mata cowok itu kini terarah pada nya. "Aku heran sama kamu. Kok kamu bisa sampai kayak gini nya sih ke aku? Aku pernah dengar cerita, biasa nya cowok kalau udah berumah tangga itu perasaan nya terhadap istri nya lambat laun akan berkurang."
Malvin terkekeh, dan mencubit pipi Zeta dengan gemas. "Teori darimana itu sayang? Buat aku gak ada teori kayak gitu. Kalau sayang ya sayang aja. Kalau cinta ya cinta. Gak ada istilah setelah dan sebelum menikah. Rasa sayang dan cinta aku ke kamu itu tetap sama, mungkin berunah. Tapi berubah semakin mencintai kamu setiap hari nya."
Zeta tidak bisa menyembunyikan senyum di wajah nya mendengar apa yang barusan keluar dari bibir Malvin.
"Jadi jangan salahin aku, kalau aku takut kehilangan kamu. Aku gak mau kamu pergi ninggalin aku. Punya istri secantik kamu itu, harus was was. Soal nya banyak yang mau." Sambung Malvin dengan mata yang tampak kesal.
Zeta terkekeh, "Iya deh. Suka nya kamu aja kayak gimana. Bukan nya aku cuman di suruh patuh sama segala aturan kamu?"
Malvin tersenyum dan menarik Zeta ke dalam pelukan nya. "Makasih ya sayang. Aku cinta kamu, selama nya."
Zeta tersenyum di balik pelukan tersebut, sembari memejamkan mata nya, menikmati kenyamanan di dalam dekapan hangat Malvin.
Malvin mengurai pelukan nya, saat menyadari bahwa istri kecil nya itu telah tertidur di pundak nya. Dia tersenyum melihat mata Zeta yang sudah terpejam, di kecup nya bibir istri nya itu dan mulai menggendong nya menuju kamar.
"Nina! Tolong kamu bereskan! Dan antar ke ruangan kerja saya!" Titah Malvin pada Nina dengan suara dingin seperti biasa nya, tanpa melirik wanita tersebut. Karna mata nya sibuk memperhatikan wajah terlelap istri nya.
"Baik Tuan." Balas Nina sopan, lalu menatap punggung Malvin yang berlalu menaiki tangga.
"Lihatin apa kamu?"
Nina tersentak saat Mbak Lilis menepuk pundak nya. "Eh Mbak. Itu Tuan!" Ujar nya sembari tersenyum dan mulai membereskan meja yang tadi di perintahkan Malvin.
"Kenapa?" Tanya Mbak Lilis dan ikut membantu Nina.
"gak tau Mbak. Saya suka aja ngelihat Non Zeta sama Tuan Malvin, manis banget mereka. Tuan Malvin kayak nya cinta banget sama non Zeta ya mbak." Ujar Nina sembari tersenyum tulus.
Mbak Lilis terkekeh. "Asal kamu tau Nina, Den Malvin itu cinta banget sama Non Zeta, dia selalu menjaga Non Zeta dengan baik, dia tidak mau sedikitpun ada luka di tubuh Non Zeta. Jadi, kamu yang di tugaskan sebagai pelayan pribadi nya Non Zeta, jangan sampai melakukan kelalaian kalau kamu gak mau di pecat dari sini! Karna Den Malvin pasti akan sangat marah."
Nina mengangguk mengerti, "Iya Mbak, saya akan menjaga Non Zeta dengan baik."
Ya, Nina akan melakukan itu. Karna, kalau bukan karna Zeta yang menolong nya saat itu, mungkin dia sekarang akan menjadi seorang wanita yang tidak mempunyai harga diri lagi. Dia akan mengabdi pada keluarga ini semampu yang dia bisa.