"Sa lo yakin mau pulang sekarang? Inget kondisi lo dong?!" Zoya bersuara, sembari menatap Sabrina yang duduk dengan kaki berjuntai ke bawah ranjang.
"Bawel banget sih lo! Udah sana urusin administrasi gue aja!!" Suruh Sabrina, tanpa melirik Zoya.
Zoya mendengus dan mendorong kepala Sabrina ke samping, "Enak banget mulut lo nyuruh-nyuruh gue!"
"Ck, gak nyuruh, minta tolong b******k!!" Desis Sabrina menatap dingin pada Zoya.
Zoya mendengus, lalu meraih jaket nya. "Ya udah lo tungguin Gevan di sini."
Sabrina kembali menatap Zoya. "Gevan? Lo nelfon dia?"
"ya iya lah, trus lo mau di bawa pulang pakai apa? Naik motor? Gila kali lo!" Dengus Zoya.
"Kan bisa lo pesen taksi online kenapa harus---"
"Ck, udah deh lo bawel banget sih! Lagian ya, biar lo tu keseringan ketemu sama Gevan. Trus jadian, nikah kayak Zeta sama Malvin. Kenapa---"
Bruukk...
Sabrina langsung saja melayangkan bantal di samping nya, dan tepat mendarat di depan wajah Zoya. Bukan nya sakit, gadis itu justru tertawa menggoda nya.
"Salting bilang aja." Guman Zoya, seraya mengedipkan sebelah mata nya pada Sabrina, sebelum akhir nya berlalu keluar ruangan tersebut.
Sabrina mendengus setelah kepergian Zoya, lalu mengalihkan pandangan nya pada sepatu milik nya yang berada di samping sofa. Harus nya tadi dia meminta Zoya untuk memakai kan nya sepatu itu, karna tangan kanan nya yang masih begitu sakit untuk di gerakkan. Sebenarnya kata Azka dia belum boleh pulang, memikirkan luka lengan nya yang masih basah. Namun, bukan Sabrina nama nya jika mematuhi semua itu.
Pulang ke rumah? Ck, tidak mungkin, Sabrina akan lebih nyaman jika tidak di dalam rumah tersebut. Rencana nya dia akan menginap di rumah Zoya beberapa hari sampai luka nya sembuh benar.
Sabrina dengan perlahan turun dari ranjang tersebut, dan berjalan menuju sofa. Sesekali dia meringis merasakan denyutan di lengan nya kembali.
"Arghh--sstt." Sabrina meringis saat dia berusaha meraih sepatu nya dengan tangan kanan.
Detik berikut nya sebuah tangan merebut sepatu tersebut, membuat Sabrina spontan mengangkat kepala nya dan mata nya langsung saja terpusat pada Gevan yang berjongkok sembari memasangkan sepatu ke kaki nya.
"Gue bisa sendiri!" Sabrina menahan tangan Gevan yang siap memasukkan kaki nya ke dalam sepatu.
Gevan mengangkat kepala nya, mata nya langsung saja bertemu dengan Sabrina. "Gak usah gengsi! Gue tau lo butuh bantuan!" Perlahan di singkirkan nya tangan Sabrina yang memegang lengan nya.
Sabrina hanya diam saat Gevan memasangkan sepatu tersebut. Pergerakan tangan cowok itu begitu pelan dan lembut. Mata nya tak lepas dari wajah Gevan yang tampak tekun mengikatkan tali sepatu tersebut.
"Ada saat nya lo gak butuh bantuan orang. Dan ada saat nya lo butuh bantuan orang." Ujar Gevan, tangan nya memegang kedua kaki Sabrina yang sudah terpasang sepatu dengan sempurna.
Dia lalu mengangkat kepala nya, menatap lekat ke mata Sabrina. Lebam di wajah gadis itu membuat dia salfok, dan seketika tersenyum.
"Kok lo manis ya kalau babak belur kayak gitu." Goda Gevan.
Sabrina mendesah, dan menjauhkan kaki nya dari pangkuan Gevan. "Ck, thanks." gumam nya pelan.
Gevam tersenyum dan bangkit dari posisi berjongkok nya, sembari mengusap puncak kepala Sabrina dengan lembut.
"Kenapa pulang sih? Lo kan belum sembuh." Gevan duduk di samping Sabrina.
"Gue gak sakit."
"Iya tau. Tapi lengan lo itu masih basah, masih harus mendapatkan perawatan intensif di sini."
Sabrina menoleh pada Gevan yang duduk di samping kanan nya. "Gue baik-baik aja."
Gevan mengangguk seraya menghembuskan nafas nya perlahan. "Bokap lo lagi ke London." gumam nya, dengan pandangan lurus ke depan.
Sabrina spontan saja menoleh kembali pada cowok itu. Menatap dingin ke mata Gevan yang kini juga menoleh ke arah nya. "Dia nelfon gue dua hari yang lalu, dia belum bisa pulang karna cuaca di sana gak memungkinkan untuk penerbangan." jelas Gevan pelan.
Sabrina kembali menatap lurus ke depan, mata nya memang menatap dingin, namun hati nya bergejolak penuh kemarahan yang tertahan. "Sejak kapan lo berurusan sama dia?" Tanya nya datar.
Gevan diam sejenak, mata nya tak lepas dari Sabrina. "Belum lama."
"Jangan pernah berurusan dengan dia lagi." Ujar Sabrina mempertahankan suara dingin nya, walaupun sebenarnya dia ingin berteriak meluapkan emosi dalam d**a nya.
"Kenapa? Dia bokap lo kan?"
"Dia bukan bokap gue." Jawab Sabrina sakartis tanpa melirik Gevan.
"Sa! Dia---"
"Lo jauhin dia atau lo pergi jauh dari hadapan gue selama nya!!" Suara Sabrina naik satu oktaf, dia menatap tajam ke arah Gevan.
Gevan terdiam karna ucapan Sabrina barusan. Mata nya tidak berkedip menatap mata Sabrina yang sarat akan emosi di sana.
"Gue gak bisa jauhin lo." Lirih Gevan.
Sabrina diam sejenak, "Kenapa?"
"Karna---karna gue nyaman sama lo." Gumam Gevan.
"Walaupun lo siap gue bogem setiap dekat gue?"
"Gue rasa, gue udah kebal." Balas Gevan memasang wajah polos nya.
Sabrina tidak bisa menyembunyikan kekehan geli nya. "Tapi kayak nya untuk satu minggu ke depan, gue belum bisa bogemin orang."
Kini giliran Gevan yang terkekeh, "Berarti gue juga punya waktu satu minggu, gak kena bogeman lo."
Sabrina menunduk sejenak, sebelum akhir nya menoleh pada Gevan kembali. Mata nya menatap lekat ke mata cowok itu.
Gevan berusaha mengalihkan pandangan nya dari Sabrina, karna sejak tadi gadis itu menatap nya tanpa berkedip. Sial, dia kembali salting dan di randa kegugupan.
"Gue pikir cuman cewek yang bisa merah gitu muka nya. Ternyata cowok lebih parah." Sabrina tersenyum miring tanpa mengalihkan pandangan nya dari Gevan.
Gevan berdehem pelan, "Apaan sih lo? Gue---apa ya---hmmm."
Sabrina mengalihkan pandangan nya ke arah lain, menyembunyikan senyum tipis nya di sana. Dia tahu, Gevan sedang menaham gugup karna di tatap nya lama tadi.
Sementara Gevan merutuki diri nya yang lagi-lagi melting karna tatapan mata Sabrina. Dia menarik nafas nya terus, menenangkan jantung nya yang kembali berdetak cepat tak karuan.
Seperti nya, dia memang sudah termakan akan posena Sabrina.
Malvin yang tengah menikmati teh panas nya, seketika menoleh saat mendengar langkah seseorang menuruni tangga. Tampak di sana, Zeta sudah rapi dengan menyandang sebelah tas nya.
"Mau kemana kamu?" Tanya Malvin, tanpa mengalihkan pandangan nya dari Zeta.
"Mau ke kampus lah." Balas Zeta, setelah meneguk s**u putih yang di berikan Nina tadi.
Malvin terkekeh pelan, lalu menarik tangan Zeta agar duduk di pangkuan nya. "Ke kampus?" Tanya nya sembari mengusap bibir Zeta dengan lembut. "Kamu pikir aku gak tau kalau kamu sekarang libur."
Zeta mengerutkan dahi nya, "Enggak, kan emang ada jadwal hari ini."
"Zeta sayang! Aku tau kalau sekarang dosen kamu tu ke luar kota, dan gak ada dosen pengganti." Ujar Malvin tersenyum ke arah Zeta. "Jadi jangaan bohong."
Zeta langsung saja memberengut dan menjatuhakn kepala nya di d**a bidang Malvin. "Kamu kok tau sih?"
"Apa yang aku gak tau tentang kamu? Aku tau semua nya." Bisik Malvin sembari mengecup puncak kepala Zeta. "Jadi sekarang, kamu gak boleh kemana-mana, cukup duduk manis di rumah dan tunggu aku sampai pulang kerja." Di belai nya rambut Zeta, dan di tatap nya lekat mata istri nya itu.
Zeta tampak berpikir, sebuah ide terlintas di benak nya agar dia dapat izin keluar rumah. "Aku mau jenguk Sabrina aja deh. Boleh ya?" Dia menatap Malvin dengan binaran di mata nya, dan memainkan kancing baju bagian atas Malvin yang tidak di kaitkan.
Malvin tersenyum, "Enggak boleh."
Wajah Zeta langsung saja berubah lesu, "Kok gitu sih? Boleh dong, masak di larang jenguk Sabrina. Kata Zoya tadi, dia udah pulang ke rumah."
"Ya udah berarti Sabrina baik-baik aja kan, gak usah di jenguk dia juga pasti ngerti."
Jawaban santai Malvin lantas membuat Zeta kesal, dia langsung saja bangkit dari pangkuan Malvin. "Kok kanu egois sih?! Ketimbang jengung Sabrina aja gak boleh!!" Dia menjerit.
Malvin langsung saja memasang wajah datar nya, mendengar suara tinggi Zeta. "Duduk!" titah nya dingim.
"Gak mau!" Ketus Zeta, dan membuang muka dari Malvin. Dia benar-benar kesal sekarang.
Malvin menarik nafas nya sejenak, berusaha meredam emosi nya agar tidak lepas di depan Zeta. Dia tidak mau sebenarnya terlalu keras dengan Zeta, karna dia tau persis Zeta itu tidak bisa di keraskan. Jika dia mengikuti emosi dan amarah nya, tidak menutup kemungkinan nanti nya dia akan main tangan mengingat Malvin bukan lah sosok yang mempunyai kesabaran besar. Dia tidak ingin itu terjadi, yang berujung Zeta malah minta cerai dari nya.
"Sayang! Bukan nya aku ngelarang kamu. Aku gak larang kok, tapi gak hari ini ya." Bisik Malvin tepat di telinga Zeta, dia kini memeluk pinggang ramping Zeta dari belakang, menjatuhkan dagunya di pundak Zeta.
"Kenapa gak boleh sekarang?" Tanya Zeta seraya menoleh menatap Malvin.
"Karna aku gak bisa antar. Aku ada meeting pagi ini. Besok aja ya?"
"Gak mau! Aku mau nya sekarang Malvin! Kamu kok jadi nawar-nawar gini sih?!" Kesal Zeta sembari menghentakkan kaki nya.
Mvin menghela nafas nya kembali, meeting nya pagi ini memang tidak bisa di tinggalkan. Karna ini bersangkutan dengan kerja sama perusahaan nya dengan perusahaan Juna, yang tengah mengurus project besar.
"Sayang!"
"Aku mau sekarang Malvin!!"
Malvin mendesah kasar, lalu memutar tubuh Zeta agar menghadap nya. "Zi aku gak tenang biarin kamu pergi sendiri."
"Gak papa Malvin."
"Aku gak mau! Aku gak akan konsen nanti!"
"Ya turus gimana?!"
"Besok aja sayang!"
"Gak mau!!"
Malvin mendesah gusar, berdebat dengan Zeta tidak akan usai jika dia tidak mengalah. "Oke oke. Kamu boleh pergi, tapi sama Nina! Setuju oke! Gak setuju gak usah pergi!!" Ujar Malvin final.
Zeta melirik Nina yang berdiri di samping meja makan, yang sejak tadi menyaksikan perdebatan mereka. "Ya udah." Gumam nya.
"Ya udah apa?" Tanya Malvin menatap Zeta yang menunduk dengan kedua tangan berada di atas d**a bidang nya.
"Ya udah pergi sama Nina." Balas Zeta.
Malvuin tersenyum dan mengecup puncak kepala Zeta. "Nanti di anterin sama mereka ya!"
Zeta mengikuti arah telunjuk Malvin, di sana berdiri dua orang bodyguard kepercayaan suami nya itu. "Loh kan kamu---"
"Protes sekali lagi, mending kamu aku kurung di kamar! Gak usah kemana-mana sampai besok!" Gertak Malvin.
Zeta memberengut dan hanya pasrah dengan nasib nya yang menjadi korban ke posessivan tingkat dewa Malvin.
"Jangan cemberut dong sayang." Malvin menarik pelan dagu Zeta agar mendongak ke arah nya, dia tersenyum lalu mengecup bibir istri nya itu yang tampak manyun.
"Kamu resek!"
"Itu nama belakang aku sayang." Goda Mavin.
"Ih apaan sih?!"
"I love you too sayang." bisik Malvin sembari mengecup pipi Zeta.
Zeta tersenyum geli seraya menyembunyikan wajah nya di d**a bidang Malvin. Tangan nya sibuk mengelus perut sixpack Malvin yang tertutupi kemeja.
"Gak usah mulai Zi, kamu mau aku batal ke meeting karna ini hmm?" Malvin bersuara serak, dan memeluk erat tubuh Zeta.
Zeta tersenyum di dalam dekapan tersebut. Tangan nya beralih memeluk tubuh kekar suami nya itu. "Kamu aja yang mesum."
"Sentuhan kamu itu selalu buat aku gila Zi." Bisik Malvin s*****l di telinga Zeta.
Zeta meremang dan mendorong d**a bidang Malvin, lalu berlari menuju kamar nya kembali. Malvin terkekeh menatap punggung Zeta yang berlalu menaiki tangga.
Dia tau, pasti Zeta akan menyembunyikan wajah nya di bawah bantal, karna dia yang baru saja menggoda istri kecil nya itu.
Menggemaskan.
"Hati-hati Sa! Ntar lo ke sandung!" Gevan sejak tadi tidak melepas lengan kiri Sabrina, guna menuntun gadis itu menuju kamar yang berada di lantai atas.
"Ck, apaan sih lo?!" Sabrina menepis tangan Gevan. "Yang sakit itu lengan gue! Bukan kaki gue!!" Semprot nya, menatap kesal ke arah Gevan yang sejak tadi menuntun nya berjalan.
"Kan gue waspada Sa! Emang lengan lo yang sakit, tapi kondisi tubuh lo kan masih lemah. Mana tau ntar kalau lo jalan, lo bisa jatuh. Trus lengan lo kenapa-kenapa lagi, habis itu---"
"Habis jtu lo gue tendang dari sini!" Potong Sabrina geram, "Lo lupa kaki gue gak sakit! Kalau tangan gue gak bisa ngebogem elo! Kaki gue masih bisa nendang lo dari sini!"
Gevan menelan saliva nya susah payah, melihat tatapan tajam Sabrina ke arah nya. "Di perhatiin cowok ganteng malah nolak." Guamm Gevan pelan.
Sabrina tidak menanggapi gumaman tersebut, dia menjatuhkan b****g nya di atas kasur empuk milik nya itu. Dia memang memutuskan untuk pulang ke rumah nya, berhubung pria paruh baya itu tidak ada di Indonesia sekarang.
"Mau ngapain lo?" Tanya Sabrina seraya menaikkan sebelah alis nya menatap Gevan yang mulai duduk di depan nya, dengan kursi yang ada di sana.
"Lo lupa kata dokter Azka, kalau perban lo ini harus di ganti satu kali dalam 5 jam." Ujar Gevan dan perlahan membuka jaket yang di kenakan Sabrina.
Sabrina menahan tangan Gevan, membuat cowok itu memandang ke arah nya. "Gue bisa sendiri!" Ujar nya dingin.
Gevan menghela nafas nya, lalu menjauhkan tangan nya dari lengan Sabrina. Memperhatikan gadis itu yang mulai membuka jaket dengan perlahan, sesekali dia dapat melihat Sabrina menahan ringisan di sana.
Gevan mendesah pelan, "Ck, kapan sih lo berhenti jadi orang yang gengsian?" ujar nya, lalu menarik pelan lengan jaket yang masih menutupi lengan kanan Sabrina.
Sabrina hanya diam, saat Gevan mulai membuka perban di lengan nya dengan perlahan, lalu meneteskan obat merah di sana dan membaluti kembali dengan perban yang baru.
"Kalau gue pikir-pikir kenapa ya orang-orang yang nyerang lo waktu itu, berniat untuk menghabisi lo? Lo punya musuh?" Gevan menatap Sabrina setelah perban tersebut terbalut sempurna.
Sabrina hanya diam dan mengalihkan pandangan nya pada perban di lengan nya.
"Sa!" Sabrina tersentak saat Gevan menyentuh pundak nya. "Lo harus hati-hati setelah ini, mungkin aja itu orang yang berniat buruk sama lo." Ujar Gevan dengan nada serius.
"Kalau mereka niat baik sama gue, mereka gak akan gebukin gue sampai masuk ruamh sakit kayak gini. Karna mereka punya niat buruk mangka nya gue kayak gini." Sabrina bersuara dingin sedingin tatapan nya.
Gevan menghela nafas nya, "Lo gak takut kalau sewaktu-waktu lo di serang lagi, trus gak ada orang yang tiba-tiba nyelamatin lo." di tatap nya lekat mata elang milik gadis itu.
Sabrina merubah posisi nya menjadi bersandar di kepala ranjang. Pandangan nya lurus ke depan.
"Kalau lo lupa dulu gue pernah nyaris kehilangan nyawa karna nyelamatin Zeta." Sabrina bergumam. "Kematian bukan sesuatu yang terlalu buruk." lanjut nya pelan.
"Iya, itu bagi siapa yang menemui ajal nya. Tapi apa lo pernah mikir, bahwa kematian adalah hal terburuk bagi orang yang di tinggalkan?"
Sabrina menoleh pada Gevan, "Lo lihat rumah ini? Sepi, apa beda nya di sini dengan di kuburan nanti."
"Bukan nya lo yang gak mau menerima kehadiran bokap lo di sini?" Ucap Gevan sakartis.
Sabrina mendesah kasar, lalu merubah posisi nya menjadi berbaring. "Tutup pintu nya nanti kalau lo ke luar!" ujar nya, seraya memejamkan mata.
Gevan memasang wajah melongo nya atas perintah Sabrina itu. Terlebih gadis itu dengan santai memejamkan mata, mengabaikan kehadiran nya.
"Gak sopan banget sih lo ninggalin tamu kayak gini?!" Protes Gevan.
"Lo itu tamu tak di undang! Gak perlu di temenin!" Balas Sabrina santai tanpa membuka mata nya.
Gevan mendesah kasar atas jawaban Sabrina itu. Kadang gadis ini bisa menjelma menjadi orang paling menyebalkan dalam waktu tertentu. Kadang juga bisa menjadi singa betina yang haus akan mangsa.
Gevan kembali mengalihkan pandangan nya pada Sabrina, deru nafas gadis itu mulai beraturan, menandakan Sabrina telah terlelap dalam tidur. Dia tidak bisa menyembunyikan senyum di wajah nya, saat melihat wajah damai Sabrina, tidak ada raut dingin, jutek, dan sorot mata yang mematikan di sana.
Namun, sorot mata itu lah yang sering membuat Gevan salting sendiri. Di sini dia berperan sebagai cowok, tapi kenapa saat bersama Sabrina dia dominan seperti cewek yang doyan salting?
Gevan terkekeh, saat mengingat setiap moment konyol nya jika di dekat Sabrina. Gadis ini, terlalu kuat dan berani di mata nya.
Entah kapan perasaan ini hadir, yang jelas perasaan ini selalu menuntun Gevan kepada Sabrina.
"Gue berharap suatu saat nanti lo bisa buka hati lo buat gue. Mungkin lama, tapi gue akan tunggu saat itu." Gumam Gevan, tangan nya terangkat mengusap puncak kepala Sabrina. Setelah itu menarik selimut hingga sebatas pinggang gadis tersebut.