LIMA BELAS

2915 Kata
"Duh Non, kayak nya Tuan Malvin udah pulang deh. Ini mobil nya udah terparkir di sini." Nina bersuara khawatir, saat melihat mobil Mercedest Bent silver terparkir di depan garasi mobil, tepat nya di samping mobil Toyota Alpbard putih di sana. "Kita pulang nya kemalaman Non." Nina kembali bersuara. Sementara Zeta justru merapalkan do'a di dalam hati nya agar tidak mendapatkan amukan dari Malvin. Pasal nya ini sudah pukul 9 malam, lewat dua jam dari waktu batas pulang nya. "Udah dong Na, jangan nakut-nakutin." Zeta memegang lengan Nina yang ber jalan selangkah di depan nya. Menyeret kaki nya yang masih terasa ngilu. Mereka berjalan perlahan memasuki rumah besar tersebut. Nina melangkahkan kaki nya lebih dulu, di susul oleh Zeta di belakang nya yang sejak tadi mencengkram lengan nya cukup kuat. Dia tau, nona muda nya ini pasti takut. Langkah kedua nya sama-sama terhenti saat seseorang berjalan menuruni tangga dengan baju kaos putih di lapisi celana pendek selutut, dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana. Zeta menelan saliva nya susah payah saat tatapan Malvin begitu terlihat dingin ke arah nya. "Darimana?" Malvin bersuara saat jarak nya kurang satu meter dari Zeta berdiri. "Dari---" Zeta meremas tangan Nina yang ada di samping nya, membuat wanita itu menoleh ke arah nya. "Dari---dari rumah Sabrina." Jawab Zeta pelan, memberanikan diri menatap Malvin. "Sama siapa?" Tanya Malvin lagi, tanpa mengalihkan pandangan nya dari Zeta. "Sama Nina." Jawab Zeta pelan. Malvin menyeringai tipis, lalu mengeluarkan ponsel nya. "Gak ada yang mau kamu jelasin?" di lempar nya ponsel tersebut ke arah Zeta yang langsung di sambut dengan sigap oleh istri nya itu. Zeta termangu saat menatap layar ponsel tersebut. Jantung nya mendadak berdetak lebih cepat, dan tangan nya kian gemetar. "Vin ini---" "Ke rumah Sabrina, di anterin mantan hm? Iya? Pantes mantan kamu telat masuk meeting tadi." Suara Malvin terdengar semakin dingin dan sinis secara bersamaam di telinga Zeta, tatapan cowok itu juga kian menajam dan mengintimidasi Zeta. "Vin aku---aku---" "Dari rumah pergi sama bodyguard. Di tengah jalan ketemu mantan, trus satu mobil sama mantan, di telpon gak di angkat. Dan sekarang pulang jam 9 malam. Tau kata kelewatan gak?" Ujar Malvin santai namun terdengar tajam. Zeta semakin menunduk dalam diam, tangan nya sudah mengeluarkan keringat dingin. Sementara Nina yang melihat itu merasakan kasihan, dia dapat merasakan ketakutan Zeta yang begitu besar. "Tuan---tadi itu---" "Pergi dari sini!" Malvin memotong, kali ini menatap dingin pada Nina. "Tapi Tuan---" "Kamu mau pergi?! Atau saya pecat?!" Desis Malvin menahan emosi nya. Nina melirik sekali lagi pada Zeta yang mengangguk pelan ke arah nya. Dengan berat hati dia melangkah meninggalkan ruangan tengah tersebut. Kini tinggal, Malvin yang menatap dingin pada Zeta yang menunduk. Detik berikut nya, Malvin menarik nafas nya perlahan lalu menghembuskan nya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, dia langsung saja pergi meninggalkan Zeta. Zeta spontan mengangkat kepala nya dan menatap punggung Malvin yang menjauh menaiki tangga, rasa bersalah langsung saja menyelimuti Zeta. Tidak biasa nya Malvin seperti ini, biasa nya cowok itu akan marah besar dan bahkan menghukum nya. Tapi kali ini, Malvin justru diam dan pergi begitu saja. Namun Zeta tau, Malvin dalam kondisi menahan emosi. Dengan cepat dia berlari menyusul Malvin ke kamar, mengabaikan ngilu di pergelangan kaki kanan nya. "Malvin!" Zeta bergumam pelan, mata nya langsung saja tertuju pada Malvin yang berbaring dengan posisi memunggungi nya. "Malvin maafin Zeta. Aku bisa jelasin." Suara Zeta bergetar karna tangis yang mendesak ingin pecah saat Malvin masih pada posisi nya, tidak bergerak sama sekali bahkan saat Zeta sudah duduk di atas ranjang yang tersisa. "Malvin jangan diamin Zeta kayak gini dong. Malvin boleh marah, boleh mukul Zeta, boleh hukum Zeta. Tapi jangan diamin Zeta kayak gini." Cairan bening itu lolos di mata Zeta, tangan nya menyentuh pundak Malvin. Namun, tidak ada pergerakan apa pun oleh cowok itu. Malvin masih dengan posisi memunggungi nya dan tidak bersuara. Tangis Zeta semakin pecah karna hal tersebut, di jatuhkan nya kepala nya di atas lengan Malvin. "Malvin jawab dong, jangan diam aja. Zeta minta maaf." Suara Zeta berubah serak karna tangis nya, tangan nya memeluk pinggang kokoh milik suami nya itu. Zeta mengangkat kepala nya saat melihat mata Malvin terpejam dan nafas cowok itu beraturan. Di hapus nya air mata nya yang terus mengalir, lalu dia merebahkan tubuh nya di samping Malvin, menatap punggung suami nya itu, ini pertama kali nya Malvin tidur dengan memunggungi nya. "Malvin, maafin Zeta." Lirih Zeta, seraya berusaha menghentikan cairan bening itu agar tidak lagi mengalir. Bahkan dia sudah sesegukan karna menangis. Perlahan kantuk mulai menyerang Zeta. Mata nya mulai tertutup walaupun terus mengeluarkan cairan bening, dan masih sesegukan. Malvin membuka mata nya saat tak lagi mendengar suara isak tangis itu. Tangis Zeta tetap kelemahan nya selama ini, itu lah kenapa dia enggan memutar tubuh nya, selain rasa kecewa yang dia rasakan sekarang. Dia perlahan membalik dan mata nya langsung saja tertuju pada Zeta yang sudah lelap dalam tidur nya, mata gadis itu tertutup bahkan sesekali mengeluarkan air mata. Hati nya ikut perih melihat itu, tapi gejolak perasaan dalam diri nya menutupi hal tersebut. Rasa takut, kecewa kini memenuhi d**a Malvin. Kenapa Zeta tidak mengerti bahwa dia begitu takut kehilangan. Malvin menjatuhkan b****g nya di tepi ranjang tersebut. Mata nya tak lepas menatap Zeta yang tertidur lelap di sana. Setelah merasa cukup, pandangan Malvin lalu teralih pada kaki kanan Zeta yang memang terlihat memerah di sana. "Tadi Non Zeta sudah berusaha menolak Tuan, tapi karna kaki Non Zeta terkilir saat hampir di serempet mobil, pria itu bersikeras untuk mengantar Non Zeta. Selama perjalanan pun tidak ada interaksi yang berarti di antara mereka. Mungkin Tuan hanya salah paham, Non Zeta tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Dia mencintai Tuan." "Untuk telpon yang tidak di angkat. Ponsel Non Zeta saat pergi tadi memang tertinggal di rumah Tuan." Malvin merutuki diri nya yang gampang sekali di kuasi rasa marah dan cemburu. Harus nya tadi, dia membiarkan Zeta menjelaskan segala nya, bukan malah mendiami Zeta dan membuat istri nya itu menangis. Entah lah, perasaan Malvin tidak karuan saat mendapati foto dari bodyguard nya bahwa Zeta tengah berada dalam dekapan Juna. Dia merasa marah, dan cemburu. Namun, bukan itu lah yang mendominasi perasaan nya, melainkan rasa takut dan kecewa lah yang paling dominan di d**a nya. Dia takut, jika perasaan Zeta akan kembali tumbuh untuk Juna. Bagaimanapun juga, Juna pernah hadir di hati Zeta cukup lama. Tangan Mavin terangkat menyentuh pergelangan kaki Zeta, lalu memijat nya dengan perlahan agar tidak menganggu tidur istri nya itu. Namun, seperti nya gagal, saat Zeta begerak pelan di sertai dengan ringisan. "Ssttt---Aww!!" Zeta terpekik tertahan, seraya terjaga dari tidur nya. Pekikan itu memhuat Malvin tersentak dan spontan menatap Zeta yang sudah membuka mata nya. "Maaf! Apa sakit banget? Kita ke tumah sakit ya?" Dia bersuara khawatir dan membantu Zeta untuk duduk. Zeta masih diam, pandangan nya tertuju pada Malvin yang memasang wajah super khawatir. "Malvin---kamu---maaf aku---" "Jangan di bahas. Apa kaki kamu masih sakit? Kita ke rumah sakit sekarang ya?" Malvin memegang pipi Zeta dan menghapus air mata istri nya itu. Zeta menggeleng perlahan, lalu menjatuhkan kepala nya di atas pangkuan Malvin. "Malvin, aku mohon maafin aku. Aku bisa jelasin kenapa bisa sama Juna tadi siang. Aku---" "Sayang! Nina udah jelasin semua nya. Jadi, gak ada yang perlu kamu jelasin lagi. Aku yang minta maaf, karna bersikap cuek ssma kamu tadi." Malvin mengusap kepala Zeta dengan lembut. "Tapi kamu harus tau Zi, aku hanya takut kehilangan kamu. Kamu harus ngerti perasaan aku." Lirih Malvin. Zeta mengangkat kepala nya kembali, mata nya langsung saja bertemu dengan Malvin. Dia lalu memeluk tubuh kekar suami nya itu dengan erat, "Aku minta maaf." Malvim mengecup puncak kepala Zeta. "Sudah sayang. Sekarang kamu tidur lagi ya, biar kaki kamu aku yang pijitin." dia membantu Zeta kembali berbaring. "Vin! Temenin." Zeta menahan tangan Malvin. "Sayang! Aku harus ngobatin kaki kamu dulu. Biar gak---" "Malvin!!" Malvin menghela nafas nya, sifat manja istri nya kembali keluar. Dia lalu membaringkan tubuh nya di samping Zeta, dan merentangkan sebelah tangan nya pada Zeta. Zeta langsung saja masuk ke dalam dekapan Malvin dan bersandar di d**a bidang suami nya itu, dengan tangan Malvin yang mengusap kepala nya dengan ritme yang begitu pelan, sesekali Malvin mengecup kepala nya. "Aku terlalu mencintai kamu Zi, sampai aku gak bisa berpikiran jernih karna rasa takut yang begitu mendominasi." lirih Malvin. Zeta memejamkan mata nya, dan terlelap di dalam dekapan Malvin. Sebelah tangan nya ikut membalas pelukan Malvin, membuat cowok itu tersenyum dan ikut memejamkan mata nya. Sabrina mengalihkan pandangan nya dari jendela pada seseorang yang baru saja membuka pintu kamar nya. Wajah mya semakin berubah pandang, saat kini sosok pria paruh baya yang amat dia benci berdiri di depan nya. "Bagaimana kondisi kamu?" Tanya Tama, dengan ekspresi tidak terbaca. Sabrina diam dan mengalihkan pandangan nya lurus ke depan, dimana kini sinar matahari memasuki celah-celah kamar nya. "Tidak usah sok peduli dengan saya." Sabrina bersuara dingin, tanpa melirik lawan bicara nya. "Saya tidak membutuhkan itu." "Oya? Oke, saya lupa kalau kamu bisa hidup sendiri." Tama bersuara tak kalah dingin nya, mata nya tak lepas dari Sabrina. "Keluarlah!" Tama menyeringai saat mendapati Sabrina tidak melirik ke arah nya sedikit pun. "Apa sih yang kamu harapkan dari bersikap seperti ini? Sudah lah Sabrina, terima hidup mu yang seperti ini." Ucapan Tama yang terdengar begitu santai, mengundang tatapan tajam dari Sabrina. "Menerima? Ck, apa yang harus saya terima? Anda yang menikah lagi? Dan saya yang tidak mengetahui siapa ibu kandung saya?" Dia bersuara sinis. Tama menghela nafas nya dengan tenang, lalu memasukkan kedua tangan nya ke dalam saku celana dasar yang dia kenakan. "Kamu tau, siapa orang yang paling peduli sama kamu di dunia ini?" Dia menatap serius ke mata tajam Sabrina. "Saya. Gak ada yang benar-benar peduli dengan kamu kecuali papa." Tekan nya. Sabrina menyeringai di sertai dengan tawa sinis, namun selang beberapa detik wajah nya kembali berubah datar menatap Tama. Dia lalu bangkit dari posisi duduk nya di ranjang, kini berhadap-hadapan dengan Tama. "Oya? Apa saya harus kasih anda piala oscar karna acting anda yang luar biasa? Peduli? Bahkan itu tidak ada dalam kamus hidup anda, Right?" Sabrina bersuara merendahkan. "Kamu harus ingat Sabrina! Saya yang membesarkan kamu, tanpa seorang ibu. Jadi untuk---" "Karna itu saya tanya dimana ibu saya?!" Suara Sabtina meninggi, di sertai rahang nya yang mengeras. "Apa sesulit itu untuk anda menjawab nya?!" Tama terdiam melihat emosi yang terpancar di mata Sabrina. "Lupakan pertanyaan itu! Karna sampai kapan pun kamu tidak akan menuai jawaban nya!"   Tangan Sabrina terkepal, dia tidak lagi memerdulikan lengan kanan nya yang kembali berdenyut karna dia melampiaskam kemarahan nya pada kepalan tangan. Dengan langkah penuh emosi, Sabrina menyusul Tama dan menyentak tangan pria itu hingga kembali menoleh pada nya. "Dimana ibu saya?! Kalau dia mati, dimana kuburan nya?! DIMANA IBU SAYA?!!" Sabrina menjerit penuh emosi, dan menatap tajam ke arah Tama. Tama diam menatap dingin pada Sabrina. "Anda itu iblis!! Saya tau, Anda yang menyingkirkan ibu saya! Menjauhkan nya dari saya! Hanya karna ingin menikah dengan wanita ular itu!!" Suara Sabrina kian sarat akan kemarahan, tangan nya bahkan menunjuk pada seorang wanita yang baru saja datang dengan seorang gadis seusia nya. Tama mencengkram lengan kiri Sabrina, menyentak gadis itu ke arah nya. Rahang nya mengeras, karna emosi yang sudah terpancing. "Jaga ucapan kamu!!" Dia menggeram dengan gigi saling bergemelatuk. Sabrina mati-matian menahan sakit di lengan kiri nya yang di cengkram dan lengan kanan nya yang berdenyut karna luka yang belum terlalu kering. Tapi dia tetap menatap menantang pada Tama. "Camkan satu hal! Seseorang yang kamu panggil ibu itu sudah mati!! Sampai kapan pun kamu tidak akan pernah bertemu dengan nya!!" Tekan Tama, memperketat cengkraman nya. "Iya. Dia memang sudah mati! Dan anda lah pembunuh nya!" PLAK... BRUUKK... Satu tamparan melayang ke pipi Sabrina, membuat gadis itu terhuyung dan tersungkur ke lantai. Tepat nya dengan kepala yang nyaris membentur anak tangga pertama. d**a Sabrina sesak Dan sakit, menutupi rasa sakit di lengan nya. Tangan nya terkepal erat, mata nya menatap tajam ke depan sana. Sabrina tersentak berdiri, saat sebuah tangan menyentak tubuh nya dengan kasar. Dia langsung di hadapkan pada sosok wanita yang sudah dia anggap sebagai jelmaan iblis. "Sabrina!! Anak gak tau diri! Harus nya kamu bersyukur masih mempunyai orang tua yang peduli dengan mu!!" Wanita itu menjepit dagu Sabrina dengan kuat, membuat lebam di wajah nya yang belum sembuh kembali berdenyut sakit, di tambah dengan luka sobek di sudut bibir nya karna tamparan Tama tadi. "Dan belajar lah untuk menghormati saya sebagai ibu kamu!!" Tekan Merry dan menyentak dagu Sabrina hingga terlepas. Wanita itu adalah Merry, ibu tiri Sabrina---dan istri dari Tama. Dan gadis sinis di samping Merry itu adalah Hilda---anak kandung wanita tersebut, yang merupakan saudara tiri Sabrina. Sabrina menyeringai ke arah Merry tanpa rasa takut. "Untuk apa saya menghormati orang yang sebenarnya adalah jelmaan dari ular!!" Tekan Sabrina merendahkan. "Dan harus nya anda sadar! Anda dan anak anda yang tidak berguna ini, hanya parasit di hidup semua orang!!" Lamjut Sabrina penuh penekanan. "SIALAN!!! KURANG AJAR LO YA!!" Hilda berteriak dan bersiap melayangkan tangan nya pada Sabrina dengan emosi. Namun, sebuah tangan dengan cepat menangkap tangan nya, di sertai dengan cengkraman yang sangat kuat. Hilda meringis saat merasakan cengkraman yang luar biasa tersebut. Seseorang berdiri, seakan membentengi Sabrina. Seorang gadis dengan tatapan super dingin dan mata tajam yang begitu mengintimidasi. "Simpan tenaga lo nanti, ketika Sabrina pulih! Jangan jadi pengecut yang berani melawan orang tidak berdaya!" Zeta bersuara dingin, dnegan pandangan yang tidak lepas dari lawan nya. "Arghh---lepas---argg-sss---mama!" Hilda semakin berusaha melepaskan cengkraman kuat tangan Zeta di tangan nya yang justru semakin di perketat oleh gadis itu. Sementara Tama hanya diam kaku melihat kehadiran Zeta di sini. Dan Merry menatap khawatir pada putri nya yang tampak kesakitan. Gevan dan Malvin yang baru datang juga di buat kaget dengan tindakan Zeta. Namun, Gevan dengan cepat menahan tubuh Sabrina yang terhuyung ke arah samping, darah segar mulai mengalir di lengan gadis itu. "Sa kita ke rumah sakit." ujar Gevan panik dan khawatir. Namun, Sabrina menggeleng dan enggan beranjak dari tempat nya berdiri. "Lepaskan tangan anak saya!! Apaan kamu?!" Merry berteriak berang ke arah Zeta, dan berusaha mendorong tangan Zeta tersebut. Namun, Zeta justru lebih dulu mendorong wanita paruh baya itu hingga tersungkur ke arah pembatas tangga. "Diam!! Atau anda juga akan mengalami nasib seperti anak anda!!" Geram Zeta dan menunjuk tajam ke arah Merry. Pandangan nya lalu teralih pada gadis yang masih dalam cengraman maut nya. "Dan elo!! Lo masih ingat siapa gue kan?! Gue Zeta, gak akan pernah ngebiarin tangan busuk lo ini menyentuh teman gue!!! Lebih baik kedua tangan lo gue patahin dari sekarang!!" Zeta menggeram dan memelintir tangan Hilda dengan kuat. "Aarghhh!!!" Hilda terpekik kuat, saat Zeta memelintir tangan nya ke belakang. "Zeta hentikan!!" Tama bersuara khawatir. Namun, tidak membuat Zeta berhenti. Dia justru semakin menguatkan pelintiran nya. "Arghhh!!!" Hilda meringis kuat merasakan sakit di sekujur tangan kanan nya. Sementara Malvin yang melihat itu hanya diam tanpa melarang Zeta. Dia sangat tau bagaimana Zeta jika tengah di kuasai amarah besar seperti ini. Dia bisa berubah menjadi Zeta yang dulu. "Gue pernah peringatin lo dulu! Bahwa kalau lo bisa bersikap baik!! Maka gue akan bersikap jauh lebih baik!! Tapi kalau enggak!! Bisa lebih kejam!!" Bisik Zeta penuh penekanan di telinga Hilda, lalu mendorong gadis itu dengan kuat hingga membentur tubuh ibu nya di sama. Hilda menatap Zeta dengan menahan sakit, sementara Merry menatap tajam pada gadis itu. "Jangan coba-coba untuk---" "Untuk apa?" Zeta maju selangkah dengan tatapan tajam, lalu menarik krah baju wanita tersebut tanpa sopan santun. "Anda orang tua kan? Saya juga punya orang tua, dan saya sangat menghormati orang tua saya. Tapi kalau saya menghadapi orang tua yang gak punya sopan santun kayak anda! Untuk apa saya juga bermanis-manis dengan anda!" Zeta bersuara dengan jarak yang begitu dekat dengan wajah Merry. Merry menelan saliva nya melihat wajah Zeta yang begitu menakutkan. Menghilangkan aura lembut di dalam diri gadis itu. "Anda lihat dia!!" Zeta melepaskan cengkraman nya, lalu menujuk pada Sabrina yang berada dalam rangkulan Gevan. "Dia lagi gak berdaya, dan anda berani mengusuik dia. Tapi saat dia berdaya, anda yang akan dia usik!!" Zeta tidak melepaskan pandangan nya dari Merry. "Jangan main-main sama Sabrina!! Karna anda tau kenapa? Pada saat anda melakukan hal buruk pada Sabrina, maka saat itu hidup anda akan berubah 180°. Anda lupa, siapa penanam saham terbesar di butik anda?" Zeta menaikkan sebelah alis nya di sertai seringain. Merry seketika terkejut, dia mengingat sesuatu. Zeta adalah anak dari Desi Vanyarinda Rezaldi, seorang desaigner terkenal di seluruh asia tenggara. Dia juga anak dari Rezaldi, si pengusaha tersukses, dan terkaya se asia tenggara yang usaha nya bergerak dalam berbagai bidang. Jangan lupakan, bahwa keluarga Rezaldi adalah keluarga terhormat. Di tambah Zeta sekarang adalah istri dari pewaris tunggal perusahaam properti terbesar di asia tenggara milik Rahardian. Keluarga yang juga sama terhormat nya dengan Rezaldi.  Merry tahu tidak seharus nya dia melawan gadis di depan nya ini. Dia tanpa sengaja melirik pada Malvin yang berdiri di anak tangga pertama dengan memasang wajah dingin. Lalu kembali menatap Zeta. "Saya bisa saja, memutar nasib anda dari di atas menjadi paling bawah. Hanya dengan satu kali membalikkan telapak tangan. Anda lupa? Bahwa saya adalah sau-satu nya anak dari Desi Vanyarinda hm?" Zeta menatap rendah ke arah Merry, tidak terlihat sama sekali sosok lembut di diri gadis  itu. "Dan om!" Zeta berbalik menatap Tama, wajah nya berubah datar. "perhatikan pegerakan anda! Karna sedikit langkah, akan menentukan nasib om ke depan nya!" Ujar nya dingin. Tama terdiam menatap mata Zeta, sampai gadis itu berbalik dan berlalu membawa serta Sabrina dari hadapan nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN