ENAM BELAS

3197 Kata
Zeta melirik pada Sabrina yang duduk di samping nya, sejak tadi pandangan gadis itu tampak lurus dan kosong ke depan sana. Tangan gadis itu sudah kembali dia perban, karna sempat mengeluarkan darah lagi. "Sa! Lo gak papa kan?" Zeta bersuara pelan, tanpa mengalihkan pandangan nya dari Sabrina. Sabrina melirik singkat pada Zeta. "emang gue kenapa?" Tanya nya. Zeta berdecak dan merubah posisi nya menjadi ikut menatap ke depan. Dimana ada hamparan danau di depan mereka. "Elo mah, di tanya selalu balik nanya, bukan nya di jawab." Sabrina menarik nafas nya secara perlahan. "Gue sendiri gak tau, entah gue baik-baik aja, atau justru sebalik nya." Dia bergumam. "Sa---" "Selama ini harapan gue gak banyak kok Zi. Gue cuman pengen ketemu sama nyokap gue, paling gak sekali seumur hidup." Zeta tertegun mendengar gumaman lirih Sabrina. Dia mengerti bagaimana kondisi perasaan gadis ini sekarang. "Orang-orang bilang gue harus mensyukuri apa yang gue punya sekarang, tapi nyata nya---" Suara Sabrina terhenti sejenak, "Gue gak punya apa-apa." Lirih nya. Sabrina lalu menoleh pada Zeta yang tampak sedikit menunduk, entah apa yang teman nya itu pikirkan. "Lo gak perlu jadi orang lain untuk bela gue Zi." Ucapan Sabrina lantas membuat Zeta mengangkat kepala nya, menatap ke mata gadis itu. "Maksud lo?" "Bukan lo yang harus ngelindungin gue. Tapi gue yang harus ngelindungin lo. Ini urusan gue." ujar Sabrina. Zeta memasang wajah datar nya, detik berikut nya mendorong kepala Sarbina ke samping cukup kuat. "Suka-suka gue lah!! Kenapa lo yang jadi ngatur gue!!" Ketus nya. Sabrina memejamkan mata nya, menahan kegeraman. "Terus aja Zi! Terus aja lo dorong kepala gue!! Lo orang ketiga yang ngelakuin ini ke gue!!" Geram nya. Zeta terkekeh pelan, "Lagian elo nyebelin! Lo juga sering ikut campur urusan gue!!" "Urusan lo juga urusan gue!!" "Ya udah berarti urusan lo juga urusan gue!!" Balas Zeta tidak mau kalah. Sabrina menghela nafas nya, "Serah lo deh. Tapi serius ya, muka lo nakutin banget tadi." Ujar nya di sertai senyuman tipis. Zeta ikut tersenyum dan menundukkan kepala nya sejenak, lalu kembali menatap lurus ke danau yang tampak tenang tersebut. "Lo bukan nya gak punya apa-apa." Dia bersusra lirih. Sabrina menoleh pada Zeta yang menatap lurus ke depan. "Lo cuman belum bisa menempatkan hati lo." Lanjut Zeta dan ikut menoleh pada Sabrina. Sabrina mengerutkan dahi nya, sementara Zeta menaikkan sebelah alis nya lalu mengerling kan mata nya ke arah belakang Sabrina. Sabrina mengerutkan dahi nya, lalu menoleh ke belakang. Di sana ada Gevan dan Malvin yang berdiri. "Ck, gak usah aneh-aneh lo Zi." Gumam nya, dan kembali menatap ke depan. Zeta tersenyum geli, lalu meraih tangan Sabrina. "Tinggal di rumah gua aja yuk!" dia bersuara serius. Sabrina termangu sejenak, "Gak Zi." "Kenapa? Gue yakin si medusa sama anak nya itu masih di sana." "Gue gak takut sama mereka." "Gue tau. Tapi paling gak sampai luka lo sembuh dulu, tuh lihat muka lo yang lebam bekas di gebukin aja belum sembuh. Trus udah di tambah sama bogeman bokap lo." Sabrina tertegun menatap mata Zeta, "Gue gak papa. Gue cuman butuh waktu sendiri." "Tapi---k" "Pulang Zi! Gak usah khawatirin gue!" "Sa---" "Kasih gue keponakan." Zeta membulatkan mata nya mendengar ucapan Sabrina, terlebih gadis itu mengucapkan nya dengan wajah super datar. "Iih apaan sih lo?!" Zeta menghentakkan tangan Sabrina yang tadi dia pegang. Sabrina terkekeh pelan melihat wajah kesal Zeta, di campur dengan pipi yang memerah karna malu. "Vin bawa istri lo pulang. Kurung aja di kamar, daripada berubah jadi singa menakutkan." Sabrina bersuara menatap Malvin sesekali melirik Zeta yang memasang wajah kesal. Malvin ikut tersenyum tipis, lalu meraih tangan Zeta. "Yuk pulang!" "Malvin!!" Zeta merengek. "Sayang!" Malvin mengerlingkan mata nya ke arah Gevan yang ada di samping nya. Zeta yang seakan mengerti, lalu menerima uluran tangan Malvin. "Ya udah! Tapi ya Sa! Kalau lo mau pulang ke rumah lo itu, mending lo harus ada pelayan deh di sana." "Gak usah Zi. Gue bisa hidup sendiri juga." Ujar Sabrina santai. "Gak mau tau!! Pokok nya harus pakai pelayan!!" Ujar Zeta keras kepala. Sabrina mendesah pelan. "Zi gue---gak punya kadidat pelayan." "Suruh Nina aja di rumah lo. Iya kan Vin?" Tanya Zeta sembari menaik turunkan alis nya pada Malvin. "Sayang Nina kan aku tugasin jadi pelayan pribadi kamu." Ujar Malvin sembari merengkuh pinggang Zeta. "Ya paling gak sampai Sabrina sembuh dulu. Lo setuju kan Van? Gak mungkin kan Gevan nginap di situ. Kecuali kalau Gevan mau nikah sama Sabrina hari ini." Ujar Zeta dengan memasang wajah polos tak berdosa nya. Sabrina lantas membulatkan mata nya, sementara Gevan menggaruk tengku nya yang tidak gatal. Lalu melirik Sabrina yang juga melirik nya "Apaan!! Gak mau!!" Protes Sabrina. "Ya udah kalau gitu lo harus mau, Nina tinggal di rumah lo dulu sampai lo sembuh." Ujar Zeta santai. "Ya Vin?" Malvin menghela nafas nya, tidak ada pilihan lain selain mengangguk. "Ya udah. Nanti gue antar Nina ke rumah lo Sa." Zeta tersenyum sumringah lalu mengecup pipi Mavin. Membuat cowok itu tersenyum dan balas mengecup bibir Zeta. Sabrina dan Gevan yang melihat itu hanya memutar bola mata mereka jengah. "Udah ah sana!! Pulang!!" usir Gevan. "Bilang aja lo mau berduaan sama Sabrina!!" Balas Malvin santai, tanpa mengurangi wajah datar nya. "Mulut lo lemes banget sih!!" Gerutu Gevan. "Gak usah kasih jatah entar Zi." Ujar nya pada Zeta. "Gak usah ngasut Zeta lo! Tuh takenin dulu!" Malvin menunjuk pada Sabrina, seraya mendorong pundak Gevan. Zeta terkekeh seraya tabgan nya di tarik pergi oleh Malvin. Kini, hanya tinggal Gevan dan Sabrina yang di selimuti keheningan.  Malvin melirik Zeta yang sejak tadi menatap ke luar jendela mobil, tanpa mengeluarkan suara apa pun. Tangan nya terangkat dan mengelus kepala istri nya tersebut dengan lembut. "Lihatin apa sih di luar? Mending lihatin aku, lebih mempesona daripada jalanan yang kamu lihat." Ujar Malvin. Zeta seketika tekekeh mendengar ucapan super pede dari Malvin. "Apaan sih? Kayak yang beneran ganteng aja." Ledek nya, seraya menatap ke arah Malvin yang juga ikut terkekeh pelan. "Lagian kamu nyuekin aku daritadi. Emang kamu mikiran apa sih?" Tanya Malvin, dan kembali memfokuskan pandangan nya ke arah jalanan, sementara sebelah tangan nya menggenggam tangan Zeta. Zeta diam sejenak, bayangan kejadian yang menimpa Sabrina tadi berputar di benak nya. "Aku---aku khawatir sama Sabrina Vin." Dia bergumam pelan. "Kan Sabrina nya udah gak papa sayang." Balas Malvin dengan suara santai nya. "Tapi tetap aja, aku khawatir. Kamu gak tahu aja sih gimana dua medusa itu, mereka udah nyuci otak Om Tama buat benci sama Sabrina." Suara Zeta berubah kesal. Malvin melirik Zeta, "Sayang gak boleh ngomong gitu ah. Om Tama itu gak benci sama Sabrina, dia---" "Kok kamu jadi belain om Tama sih?" Zeta berdecak kesal, dan menatap tajam pada Malvin. Malvin menghela nafas nya melihat raut wajah kesal milik Zeta, lalu di rengkuh nya pundak Zeta sampai masuk ke dalam dekapan nya, membuat istri nya itu bersandar di d**a bidang nya. Pandangan Malvin kembali fokus pada jalanan yang tidak terlalu ramai itu. "Sayang, gak ada orang tua yang gak sayang sama anak nya. Mungkin aja emang ada masalah internal antara om Tama sama Sabrina, yang gak kita tahu." Malvin bersuara lembut, dengan tangan kiri yang tidak berhenti mengusap kepala Zeta. "Vin masalah mereka itu dari dulu cuman karna om Tama gak mau ngasih tau dimana ibu Sabrina sebenarnya." Balas Zeta, sedikit mendongakkan kepala nya menatap Malvin. "Iya aku tahu, tapi pasti ada alasan kan di balik itu. Nah masalah nya di sini, om Tama gak mau ngasih tau ke Sabrina, mungkin lebih tepat nya belum mau sayang." Ucapan Malvin ada benarnya juga, Om Tama dan Sabrina itu adalah dua orang yang sama-sama keras. Bahkan Zeta ingat, dulu mereka pernah bertengkar hebat di depan nya, bahkan sampai Om Tama menampar dan memukul Sabrina. Mengingat itu membuat Zeta merinding sendiri. Malvin melirik Zeta saat merasakan istri nya itu menggeliat di dalam dekapan nya, ternyata Zeta tengah menyembunyikan wajah di dalam d**a bidang nya. Dia tersenyum dan mengecup puncak kepala Zeta. "Kamu kenapa sayang?" Tanya Malvin, dengan tangan membelai rambut istri nya itu. Zeta menggeleng di dalam d**a bidang Malvin, tanpa mengangkat kepala nya. "Emang aku gak boleh meluk kamu?" Tanya Zeta, baru lah mengangkat kepala nya menatap Malvin, "Kamu masih marah sama aku soal kejadian kemarin?" Tanya nya dengan nada pelan. Malvin melirik Zeta sekilas yang sudah duduk tegak kembali di samping nya, istri nya itu tampak menatap nya dengan sorot sendu, sarat akan rasa bersalah. "Kamu punya kepribadian ganda ya?" Tanya Malvin seraya menghentikan mobil nya di pinggir jalan, tanpa mengalihkan padangan dari Zeta. Zeta mengerutkan dahi nya mendengar ucapan Malvin. "Maksud kamu?" "Ya, tadi kamu marah-marah di rumah Sabrina, udah kayak singa yang menyeramkan. Sekarang, kamu manis banget, beda jauh kayak tadi. Atau emang bener kamu punya kepribadian ganda?" Malvin mencondongkan wajah nya ke arah Zeta. Zeta memasang wajah datar nya mendengar pertanyaan Malvin itu, lalu menatap dingin pada mata Malvin yang berjarak kurang dari sepuluh senti dari nya. "Ihhh Malvin!!! Ngeselin banget sihhh!!!" Detik berikut nya tatapan dingin itu berubah menjadi teriakan nyaring yang memenuhi mobil, membuat Malvin meringis dan spontan menutup telinga nya. "Sayang! Kok suara kamu udah mirip Lisa sih?!" "Biarin!! Kamu sih ngeselin banget bilang aku berkepribadian ganda!" Zeta memberengut dan memasang wajah cemberut nya, menatap ke depan. "Cie istri nya Malvin ngambek." Malvin mulai menggoda Zeta dan mencolek-colek dagu istri nya itu. "Ck, apaan sih?! Kata nya aku berkepribadian ganda!!" Kesal Zeta, menghindari tangan Malvin. "Sayang aku cuma bercanda, masa iya kamu berkepribadian ganda sih, kamu kan istri manis aku." Dia lalu mengedipkan sebelah mata nya kepada Zeta. Zeta yang mendengar ucapan Malvin mau tidak mau wajah nya bersemu merah. "Ih kamu mah godain aku mulu tau gak!" "Ya gimana dong, aku seneng aja gitu lihat muka kamu kalau udah merah gini. Gemes." Sahut Mvin, serya mencubit kedua pipi Zeta dengan gemas, lalu mendaratkan kecupan di bibir istri nya itu yang selalu menggoda iman. Zeta tersenyum, kini pandangan nya beradu dengan Malvin dengan begitu dekat. Tangan suami nya itu kini menyentuh pipi kiri nya dan memberikan elusan yang terasa begitu lembut di sana. Mata nya terkunci oleh mata Mavin yang menatap nya lekat. "Cinta aku ke kamu itu gak akan pernah hilang, entah kamu punya kepribadian ganda atau apa pun itu. Bagi aku kamu tetap yang sempurna di mata aku." Ujar Malvin dengan suara lembut nya, sembari membelai wajah Zeta. Zeta tersenyum dan memeluk tubuh kekar Malvin, menyembunyikan wajah nya di d**a bidang suami nya itu, tempat ternyaman nya selama ini. "Tapi ya sayang, jujur loh aku sebenarnya juga ikut takut sama kamu yang kayak gitu." Zeta mengurai pelukan nya dari Malvin, lalu menatap suami nya itu. "Emang iya?" "Iya. Terakhir aku lihat kamu serem kayak gitu udah lama banget, waktu pertama kali kita ketemu, yang kamu nendang kepala Dara." Sahut Malvin, seraya otak nya kembali memutar balik kejadian waktu pertama kali Malvin melihat tanduk Zeta. Zeta terkekeh mendengar ucapan Malvin, "Vin aku gak akan main-main sama orang kayak gitu. Kalau baik, aku bisa lebih baik dari yang orang-orang bayangin. Tapi kalau ketenangan aku udah di usik, aku bisa lebih dari yang kamu lihat." Balas Zeta, dengan tatapan lekar pada Malvin. Malvin terdiam dengan sorot mata terkunci oleh tatapan tajam mata Zeta. Tangan nya terangkat dan mengelus pipi Zeta dengan lembut. "Sayang, yang penting aku gak mau kamu kenapa-kenapa. Jadi apa pun yang terjadi nanti nya, kamu harus tetap ngomong sama aku. Oke?" Zeta tersenyum dan mengangguk, lalu ikut membalas genggaman tangan Malvin di tangan nya. "Tetap jadi istri manis aku." Suara Malvin terdengar lembut, selembut tatapan nya. "Gak janji." Baals Zeta denhan polos. Malvin mengerutlan dahi nya, "Kok gitu. Kan kodrat nya istri itu harus patuh sama suami sayang."protes nya. Zeta menghela nafas nya, lalu mendekatkan wajah nya pada Malvin. "Lain cerita dong kalau kamu macem-macem. Apalagi sampai selingkuh, trus lirik-lirik cewek lain di belakang aku. Awas aja sampai kamu kayak gitu! Kamu juga bisa aku sunat dua kali!" Malvin menelan saliva nya mendengar kalimat terakhir Zeta, terlebih tatapan tajam istri nya itu yang menusuk mata nya. "Serem banget sih sayang. Kalau sunat dua kali. Ntar habis dong." Balas nya. "Nah maka nya, kamu jangan macem-macem." Zeta mencubit pipi Malvin cukup kuat. "Ck, ya ampun sayang. Aku gak mungkin lah kayak gitu." "Iya deh percaya." Gumam Zeta seraya mengulum senyum nya melihat ekspresi kicut Malvin. "Aku sayang nya cuman sama kamu. Cinta nya juga sama kamu." Malvin mengecup bibir Zeta sekilas, lalu beralih ke kening istri nya itu. Zeta tersenyum, dia akan selalu percaya dengan Malvin. Suami nya ini tidak mungkin melakukan hal yang nanti akan membuat nya kecewa. Dia sudah memilih Malvin sebagai imam nya, itu tanda nya dia harus bisa menempatkan kepercayanan kepada Malvin sepenuh nya. Terlebih melihat begitu banyak perjuangan yang cowok ini lalukan untuk nya dulu. Saat dia menderita Post Traumatict Stress Disorder, kelumpuhan, berlanjut dengan kelainan jantung. Malvin masih setia bersama nya, dan Zeta menyukuri itu. Sekarang tepat pukul enam sore, sudah hampir seharian penuh Sabrina menghabiskan waktu nya bersama Gevan. Mulai dari ke dokter mencek kondisi lengan nya, nonton bioskop, jalan-jalan di taman, hingga akhir nya sampai di depan sebuah pasar malam yang di penuhi oleh hampir isi nya anak-anak semua. "Lo tau sehari ini gue udah lo bawa ke tempat yang gak pernah gue suka!" Sabrina menatap dingin pada Gevan yang berjalan di samping nya dengan kedua tangan yang di masukkan ke saku celana. "Masalah nya lo gak protes Sa! Tanda nya lo mau kan?" Gevan melirik pada Sabrina dengan sebelah alis terangkat. Sabrina diam dan mengalihkan pandangan nya ke depan. Jelas dia mau mengikuti kemana pun cowok itu pergi, daripada harus pulang secepat itu ke rumah. "Lagian elo juga sih! Di tawarin nginep di rumah Zeta gak mau, gue suruh nginep di rumah Zoya juga gak mau, nginep di rumah Vinny juga gak mau, Lisa sama Alya juga gak mau. Oh atau lo mau nginep di apartemen gue?" Gevan menghentikan langkah nya, lalu menatap Sabrina dengan mata menggoda ke arah gadis itu. Sabrina ikut menghentikan langkah nya, dan membalas tatapan cowok itu dengan sorot dingin mata nya. "Gila lo! Sama yang sejenis aja gue gak mau, apalagi sama lo!" balas nya datar. "Kenapa lo gak mau nginap di rumah temen-temen lo. Selama ini kan kalau mereka susah lo yang peling repot, kenapa sekarang lo yang susah mereka gak mau nampung lo?" Suara Gevan terdengar sinis dan dingin kali ini. "Mereka gak kayak gitu." Balas Sabrina tidak terima, "Gue gak suka lo ngomong ngejelekin mereka kayak gitu di depan gue. Bukan mereka yang gak mau nampung gue! Tapi gue yang gak mau ngerepotin orang, cukup saat gue mati aja gue ngerepotin orang!!" ujar nya dengan penuh penekanan. Gevan terdiam dengan mata tak berkedip pada Sabrina. Dia bisa melihat kilat amarah di mata gadis itu, "Sorry! Gue gak bermaksud kayak gitu. Gue cuman---" "Zoya tu sekarang lagi sibuk persiapan turnamen balapan nya, Vinny lagi sibuk ngurus nyokap nya yang minta di setirin terus, Lisa bantuin nyokapnya di cafe, Alya yang tambah gak mungkin, dia lagi pusing nurutin kemauaan nyokap nya buat jadi dokter. Ya kali gue gangguin mereka. Zeta? Gue gak mau dia mikir berat karna gue." Sahut Sabrina mengalihkan pandangan nya ke arah lain, enggan untuk menatap mata Gevan. Suasana di antara mereka hening sesaat, dan hanya terdengar hiruk pikuk pasar malam di sini. Hanya Gevan yang sesekali melirik Sabrina yang menatap tanpa ekspresi ke depan. Namun, dia bisa merasakan bahwa sebenarnya perasaan gadis itu terluka, tapi dia tidak pernah mau mengungkapkan itu kepada teman-teman nya. "Perasaan terluka karna bokap lo?" Gevan bertanya dengan nada pelan. "Lo tau hampir seumur hidup, gue merasa gak pernah punya siapa-siapa di dunia ini. Entah dari rahim siapa gue lahir. Sampai akhir nya gue ketemu sama Zeta, dia menawarkan warna baru dalam hidup gue, mengusir kelabu yang selama ini nutipin diri gue. Lo pikir gue baik-baik aja?" Gevan tertegun mendemgar suara bergetar Sabrina, telebih melihat mata gadis itu yang seakan menahan tangis. "Terlalu lama Van. Capek tau gak." Lirih Sabrina dengan tatapan lekat ke arah mata Gevan. Gevan masih terdiam, merasa bersalah dengan pertanyaan nya tadi. "Sa gue---" ucapan nya terhenti saat Sabrina berjalan lebih dulu memasuki pasar malam tersebut, meninggalkan nya seorang diri. "Lo mau masuk gak?" Tanya Sabrina memutar tubuh nya, menatap Gevan di sana. Gevan terdiam sejenak, dia tahu Sabrina berusaha mengalihkan pembicaraan mereka tadi. Dia menghela nafas sejenak, lalu berjalan menyusul Sabrina di depan sana. "Lo tau kenapa gue ngajak lo ke sini?" Gevan membuka suara nya, seraya melirik Sabrina. Sabrina menggeleng samar, tanpa membalas tatapan Gevan, dia hanya sibuk menatap anak-anak yang berlalu lalang menaiki wahana di temani oleh orang tua mereka. Sungguh beruntung. Dia ingat, dulu masa kecil nya tidak pernah sebahagia anak-anak itu, dia hanya menghambiskan waktu di rumah, sesekali keluar itu pun hanya sekedar mencari anak laki-laki yang bisa dia pukuli. Hanya untuk apa? Untuk melampiaskan kekesalan nya. "Karna ini tempat Malvin sama Zeta jadian." Sabrina spontan menoleh pada Gevan. "Apa hubungan nya sama lo yang bawa gue ke sini?" "Ya mana tau kita bisa nyusul jejak nya Malvin Zeta?" Gevan membalas dengan memasang wajah santai nya. Sementara Sabrina terdiam untuk sesaat dengan pandangan terus pada Gevan yang juga menatap nya dengan lekat. Bruukkk.. Sabrina tersentak saat tubuh nya tanpa sadar menabrak seseorang yang berjalan berselisihan dengan nya. "Nengok depan maka nya." Kekeh Gevan, seraya mengacak pelan rambut Sabrina. Sabrina memutar tubuh nya menatap seorang wanita paruh baya yang baru saja tidak sengaja di tabrak nya. Wanita yang tampak seuasia dengan mama Zeta, namun terlihat mata nya lebih sayu. Untuk sesaat Sabrina terdiam saat mata nya bersitatap dengan mata wanita itu yang terkihat kosong namun sorot bola mata nya tetuju pada nya. Sabrina melirik Gevan yang berdiri di samping nya, cowok itu mengangkat bahu nya seakan mengerti dengan arti tatapan Sabrina. "Tante! Tante baik-baik aja? Ada yang sakit?" Gevan angkat suara, bertanya pada wanita yang terus menatap Sabrina dengan sorot mata yang terlihat kosong sebenarnya. "Buk---" "Eca---Eca---" Wanita itu bersuara lirih dengan tangan yang terangkat menyentuh pipi Sabrina, membuat gadis itu spontan memegang tangan Gevan, mata nya juga tidak lepas dari wanita tersebut. Gevan yang melihay itu juga heran, saat wanita itu memanggil Sabrina dengan nama Eca. "Buk dia---dia bukan Eca---dia." "Eca---" Wanita itu semakin gencar menyentuh Sabrina yang malah mematung di tenpat nya berdiri. "Buk Lusi." Tak lama tampak seorang wanita yang lebih muda berusia 30 an tampak datang dengan tergesa-gesa menghampiri wanita yang masih memegang pipi Sabrina tersebut. "Ya ampun Buk, saya nyariin ibuk daritadi." Ujar wanita berseragam putih itu, persis seperti seorang suster. "Eca---ini Eca." Wanita itu tersenyum ke arah suster tersebut, dia semakin mendekat pada Sabrina. "Buk---ibuk tenang---dia bukan Eca." suster itu memegangi tangan wanita yang bernama Lusi itu, seraya memberikan pengertian. "Bukan---bukan Eca?" Tanya waniat tersebut dengan raut wajah berubah sendu. Suster itu menggeleng pelan, lalu menatap pada Gevan dan Sabrina. "Maaf mas, mbak kejiwaan ibu ini memang terganggu. Maaf jika mengganggu waktu nya, saya permisi dulu." pamit suster tersebut, seraya menggiring wanita paruh baya itu untuk pergi yang terus bergumam nama Eca. Sabrina masih mematung di tempat nya, dengan mata yang mengikuti kepergian wanita yang tadi memanggil nya Eca. "Dia ngira lo anak nya kali Sa." Gevan bersuara, memecah lamunan Sabrina. Sabrina mengangguk samar, "Iya kali." gumam nya dengan pandangan lurus ke arah bawah. "Ya udah yuk!" Gevan menarik tangan Sabrina untuk kembali berjalan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN